|✨|01. Permulaan

513 94 123
                                    

Now playing : BTS - Fake Love

"Pada lembar kisah baru yang menceritakan kisahku, semoga luka dan lara bisa berakhir menjadi bahagia."

Matahari pagi sudah mulai naik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari pagi sudah mulai naik. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul enam tepat. Tapi, seorang gadis masih terbaring di atas kasurnya yang empuk. Tak lupa dengan selimut bergambar doraemon yang menutupi seluruh tubuhnya.

Keri-ibunya menatap gadis itu dengan tatapan malas. Kebiasaan putrinya yang sering bangun telat susah untuk diubah. Apalagi sebabnya adalah menonton drama hingga dini hari.

Keri membuka gorden kamar putrinya dengan perlahan. Sinar matahari pagi mulai menyusup melalui celah jendela kamar yang terbuka. Samar-samar, angin pagi berembus dingin.

"Deaaa! Bangun!" Keri menyibak selimut Dea lalu memukul bahu gadis itu pelan, mencoba membangunkannya. Tapi Dea tidak bergeming, hanya menjawab dengan gumaman singkat lalu kembali menarik selimutnya.

Keri menghela napas. Sepertinya pagi ini perlu tenaga yang ekstra untuk membangunkan putri bungsunya. Dia menatap ke sekeliling kamar, lalu tersenyum simpul saat menemukan sebuah ide yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

Menarik napas sejenak, Keri mulai menyiapkan strategi. Dia mendekat ke arah Dea lalu berseru tepat di telinganya, "Dea! Ada gempa!"

Mendengar kalimat seruan dengan nada yang memekakkan telinga, membuat Dea refleks membuka mata lalu beringsut dari kasur dan berlari menuju pintu keluar. Ia tidak peduli dengan selimut yang terbawa oleh tubuhnya karena saking paniknya.

Tiba di depan pintu, sebuah tawa menggelegar membuat Dea menghentikan langkah. Niat awal keluar menuju lantai bawah berubah menjadi putar arah. Dia masuk ke dalam kamarnya lalu menatap Keri dengan kesal. "Ih, Mama! Kan Dea jadi kaget! Gak lucu tahu nggak?!" hardik Dea dengan napas terengah-engah.

Keri yang melihat itu tak henti tertawa. Sejak kecil, Dea memang selalu takut akan gempa. Meski tidak pernah merasakannya, Dea jelas tahu bagaimana rasanya hanya karena melihat siaran berita di televisi. "Lagian kamu dibangunin susah banget. Udah sana mandi. Tuh lihat jam dinding udah pukul berapa," ucap Keri setelah meredakan tawanya.

Menurut, Dea mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi dengan tergesa. Kalo sudah begini, bisa dipastikan Dea akan telat masuk. Mampus!

✨✨✨

Dea turun dari ojek online dengan gusar. Setelah membayar, ia segera berlari menuju sekolahnya. Beruntung gerbang sekolah belum ditutup oleh Mang Ujang.


"Telat lagi?" tanya seorang pemuda tinggi dengan setelan jas hitam khas petugas OSIS. Dea berhenti melangkah lalu menghela napas, berat. Meski gerbang belum ditutup, tapi tetap saja ia termasuk murid telat. Peraturan di SMA Renjana memang sangat ketat. Tak heran jika murid-murid yang bersekolah di sini hanyalah murid terpilih. Dea segera memberitahu nama dan letak kelasnya agar bisa langsung dicatat oleh petugas OSIS lain yang berjaga.

"Kenapa?" tanya pemuda itu lagi. Alih-alih menjawab, Dea hanya mendengus lalu mulai berjalan menuju barisan istimewa. Tak memedulikan si pemuda yang sudah menatapnya dengan heran.

Setelah 30 menit berdiri di lapangan, ditemani cahaya matahari yang mulai bergerak tinggi, akhirnya upacara selesai. Membuat seluruh murid bernapas lega. Tapi beda halnya dengan Dea yang harus menerima hukuman terlebih dahulu. Dia mengembuskan napasnya, lesu.

"Ra? Temenin gue jalanin hukuman, ya? Ayo dong. Lo kan bestie gue." Dea berucap seraya memamerkan puppy eyes-nya. Berharap Rara-sang sahabat mau diajak susah.

"Hm ... maaf ya, De. Bukannya gue gak mau nemenin, tapi gue belum ngerjain PR. Gue gak bohong, De. Serius deh," balas Rara sambil tersenyum, memamerkan sederet giginya yang rapi.

Dea berdecak, sahabatnya terkadang setega itu. Tapi ia juga tidak bisa melarang Rara untuk pergi. Akhirnya, Dea hanya menitipkan tas miliknya pada Rara.

Sepeninggal Rara, Dea mulai menjalani hukumannya. Berlari mengelilingi lapangan upacara sebanyak 5 putaran. Lelah? Jelas! Apalagi matahari bersinar sangat terik. Seperti mengejeknya karena bangun terlambat.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," ujar seseorang dari arah belakang. Dea yang baru menyelesaikan hukumannya menoleh, mendapati seorang pemuda yang duduk di pinggir lapangan sambil menyodorkan sebotol minuman isotonik kepadanya. Sejak kapan dia duduk di sana?

Dea menerima minuman itu lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Lalu ikut duduk di samping pemuda itu. "Lo 'kan tahu gue selalu penasaran tiap lihat drama Korea. Semalam gue selesain satu judul. Eh kebablasan sampai jam 3 pagi."

Pemuda di sampingnya berdecak, lalu mengacak pelan rambut Dea. Menyalurkan semangat dan wejangan agar gadis itu tidak mengulanginya lagi.

"Makasih buat minumannya, Pak Rion yang baik hati," ucap Dea cengengesan.

Pemuda yang dipanggil dengan sebutan Rion itu menangguk. "Sama-sama," ucapnya. "Yuk, ke kelas. Bentar lagi pelajaran dimulai." Rion berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Dea. Setelahnya keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Sambil sesekali tertawa saat melihat hal lucu di sekelilingnya.

✨✨✨

Hallo!
Part ini nggak aku ubah banyak. Cuma benerin yang kurang enak dibaca aja. Sekalian nostalgia sama awal cerita mereka, wkwk

Gimana? Kalian nostalgia juga? Hehe ...

See u next chap!

Salam hangat,
FirdhaSN
[25 April 2020]

Revisi
[25 September 2020]

Forever be a Friend [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang