Now playing : Tulus - Pamit
"Rasanya, memori itu sulit untuk dilupa. Berkali-kali aku mencoba, namun yang terjadi malah sebaliknya."
PS : Part ini kita balik ke beberapa hari yang lalu. Semoga kalian paham dan gak belibet ya, ehehe...
Sore itu adalah hari kedua Dea menjenguk Rion di rumah sakit. Pemuda itu sudah lebih baik daripada kemarin--meski masih terlihat pucat.
Dea menyalami Vayren seraya memberikan satu kotak bekal berisi masakan mamanya. Tak lupa Dea menyampaikan salam dari mamanya untuk Vayren. Vayren tersenyum seraya berterimakasih dan pamit untuk ke kantin sebentar. Mengisi perutnya sambil menghirup udara segar.
Selepas kepergian Vayren, Dea menarik kursi yang berada di samping brangkar Rion, lalu duduk di sana. Ia menatap lurus perban yang melilit kepala Rion. Setelahnya, gadis itu menghela napas gusar.
"Lo kenapa sih bisa sampai gini?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Dea. Kemarin saat ke sini ia lupa menanyakan alasan Rion sampai kecelakaan karena situasinya tidak tepat.
Rion tersenyum miring. Kilasan memori yang membuatnya tersungkur ke aspal kembali tercetak jelas di ingatannya. Setelah memastikan Vayren tidak ada di ruang rawatnya, Rion mulai buka suara. Menceritakan keluh kesah yang selama ini dirasakannya pada Dea.
Semuanya berawal saat Rion beserta Deni dan Putra menghabiskan sore mereka di sebuah coffe shop ternama. Saat itu ketiganya baru pulang sekolah. Melepas penat selama berjam-jam berkutat dengan pelajaran.
Rion dan Deni berjalan menuju meja di sudut ruangan. Tepat berbatasan dengan kaca transparan yang mengarah ke luar. Sementara Putra berjalan menuju tempat barista untuk memesan.
"Anjir, cape banget gue, Yon. Bu Sinta kalo ulangan bikin pusing. Udah mah soal banyak, beranak pinak pula. Gak tahu apa kalo kepala gue mau meledak!" Deni mengeluarkan kekesalannya pada Bu Sinta selaku guru yang mengajar ilmu pengetahuan alam. Gaya mengajarnya yang kelewat menyebalkan membuatnya terkenal di seluruh jurusan IPA. Bahkan tak jarang murid yang kesal padanya memanggil guru itu dengan sebutan singa.
"Kok gue biasa aja, ya?" Rion pura-pura berpikir. Membuat Deni tak tahan untuk menjitak kepalanya.
"Sakit anjir!" Rion mengaduh lalu balas menjitak kepala Deni. Beberapa kali mereka saling membalas jitakan, pukulan, bahkan umpatan kasar.
"Udah-udah, kalian kayak bocah, aja!" Putra yang baru datang melerai perebedatan antara Deni dan Rion. Pemuda itu tak mau menjadi pusat perhatian karena kegaduhan dua sohibnya yang kekanak-kanakan.
Daripada kembali bersiteru dengan Deni, Rion lebih memilih memandang ke luar kafe. Awalnya biasa saja, tidak ada yang aneh. Sampai dua orang yang keluar dari mobil hitam menarik perhatian Rion. Satu orang adalah seorang wanita yang memakai dress berwarna biru langit dengan kacamata hitam bertengger manis menutupi matanya. Sementara satu orang lainnya adalah seorang pria dengan kacamata hitam dan tuxedo senada khas pekerja kantoran yang berwibawa. Dari mobil dan tuxedo yang dikenakannya Rion jelas tahu siapa dia. Itu Vino, ayahnya. Dan wanita itu adalah wanita yang ditemuinya beberapa kali sedang bersama dengan ayahnya. Namun yang jadi pertanyaan, siapakah wanita yang sering bersama ayahnya itu?
"Waktu itu gue gak berpikir yang macem-macem. Gue percaya sama Ayah." Rion menyeka air mata yang tiba-tiba keluar membasahi pipinya. Suaranya serak. Seperti menahan isakan dan amarah yang bercampur menjadi satu.
Mendengar itu Dea bungkam. Napasnya terasa tercekat. Tak tahu harus bereaksi bagaimana. "Kalo lo belum siap cerita, nggak papa kok. Gue bisa nunggu," ujar Dea pengertian.
Rion menggelengkan kepalanya. "Gue harus cerita sampai tuntas," tegasnya.
Kedua orang itu masuk ke dalam kafe. Memilih tempat yang tak jauh dari tempat Rion dan kedua sahabatnya. Rion masih mengawasi mereka. Ia tidak berpikir yang macam-macam. Mungkin itu adalah salah satu klien ayahnya di kantor yang mengharuskan mereka membahas projek kerjasama di tempat-tempat yang berbeda. Sebagai penghilang suntuk karena setiap hari di kantor, mungkin?
Beberapa menit berlalu, Rion masih memperhatikan dua orang yang kini sedang mengobrol itu. Hingga pesanan yang datang mengalihkan atensi Rion dari ayahnya dan seorang wanita tadi. Ia menyesap moccacino pesanannya seraya berceloteh ria bersama Deni dan Putra. Kembali menghiraukan pikiran buruk yang mencoba masuk ke dalam pikirannya.
Saat tatapannya ia kembalikan pada objek yang sedari tadi menyita perhatiannya, kejadian mengejutkan membuat Rion bungkam. Ayahnya memeluk wanita itu seraya mengelus puncak kepalanya pengertian. Bagai seorang suami pada istri tercintanya. Bahkan, Vino mengecup kening wanita itu sambil terus mengelus puncak kepalanya penuh sayang.
Melihat itu hati Rion seperti terhimpit batu besar. Rasanya sesak. Amarahnya tak bisa dikendalikan. Rasanya saat itu juga Rion ingin menghampiri Ayahnya dan menampar pria paruh baya itu. Memakinya dengan umpatan kesal dan membuat Vino menyesal. Namun, kakinya mendadak lemas. Tidak bisa digerakkan. Rasanya terlalu sesak hingga membuatnya tak bisa melakukan apapun. Bahkan sekadar berdiri pun rasanya Rion tidak memiliki tenaga. Katakan dia pengecut, namun jika berada di posisinya bukankah kalian akan melakukan hal yang sama? Bahkan semua itu terjadi secara tiba-tiba. Membuat segala amarah menggunung dan menyisakan kekecewaan yang mendalam.
Sampai ayahnya dan wanita itu pergi, Rion tetap duduk seraya menahan amarah yang kian memuncak di hatinya. Dadanya sesak, napasnya memburu. Rion tak menyangka Vino mengkhianati kepercayaan dia dan mamanya.
Sejak hari itu, Rion dan ayahnya tak pernah bertegur sapa.
✨✨✨
Rion menatap pantulan wajahnya dan Dea di layar ponsel. Sebelum mengantar Dea pulang, keduanya menyempatkan berfoto untuk mengukir momen yang mereka ciptakan hari ini. Menyimpannya sebagai memori yang kelak akan dikenang di kemudian hari.
"Suatu saat nanti, foto ini jadi bukti kalo kita adalah sahabat selamanya." Perkataan Dea tadi siang membuat Rion menarik sudut bibirnya membentuk senyuman.
Kilasan memori yang selalu menghantuinya bisa sedikit mereda hanya dengan berbagi dengan Dea. Tanpa Dea, pemuda itu tak tahu harus berbagi dengan siapa. Menceritakan pada mamanya pun rasanya tidak mungkin. Ia tidak mau membuat mamanya sedih dan kecewa. Terlebih membuat wanita itu terluka karena ayahnya. Cukup dirinya saja yang merasakan sakit dikhianati, mamanya jangan. Sebisa mungkin Rion akan menutupi apa yang dia lihat dari mamanya.
Rion menutup ponsel seraya merebahkan tubuhnya di kasur. Ia menatap langit-langit kamar dengan nanar. Tuhan, jika boleh meminta, Rion tak pernah mau berada dalam situasi yang menyesakkan dada. Dipenuhi rasa amarah yang kian memuncak tanpa tahu bagaimana cara meredakannya. Namun, jika itu memang sudah takdir, Rion takkan melawan. Ia menerima semua yang sudah digariskan Tuhan untuknya. Tapi jika boleh memohon, cukup beri dirinya kekuatan dan ibunya kebahagian. Rion takkan meminta lebih. Seperti meminta Vino untuk memberi penjelasan dan kata maaf padanya--yang takkan mungkin terjadi. Cukup rasa bahagia. Karena baginya, kebahagiaan Vayren adalah yang utama.
✨✨✨
Holla!^^
Udah buka semuanya? Buka sama apa nih? Jangan bilang sama senyum manisnya Rion, nanti diabetes! WkwkYey! Akhirnya bisa double up. Huhuu aku seneng banget!
Kalian gak penasaran lagi kan sama masalah Rion? Atau penjelasannya masih kurang? Feel-nya dapet nggak?😂
Semoga kalian suka ya!
Vote dan comment yang banyak, biar aku semangat lanjutnya!Krisarnya juga aku tunggu. Karena berguna banget buat aku.
Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca.See u next chap!
Salam Hangat,
FirdhaSN
[9 Mei 2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever be a Friend [Completed]
Novela Juvenil#Challenge30gp Note : Kuharap kalian membaca hingga akhir, tidak penasaran di awal saja. :) Sebuah kejadian klise membuat Rion dan Dea menjadi sahabat dekat. Keduanya dipertemukan semesta untuk saling melengkapi satu sama lain. Tak hanya itu, masala...