|✨|23. Pelukan

133 33 16
                                    

Now playing : Rosa - Rapuh

"Tunggu waktu yang tepat. Aku tahu kamu kuat."

Dalam kamarnya, Dea merenung sambil menatap langit-langit kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam kamarnya, Dea merenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya terus dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang membuat dadanya sesak. Pernyataan Rion tadi pagi terus muncul seperti kaset rusak.

Semesta, mengapa setelah kehilangan Rion perasaannya baru dibuka? Mengapa perasaan ini muncul saat kehilangan sudah di depan mata?

Dea mengacak rambutnya frustasi. Pikiran-pikiran itu terus menghujamnya tanpa ampun. Tidak peduli perasaan Dea sedang baik-baik saja atau tidak.

Drittt ...

Suara pintu kamar yang dibuka menghentikan gerakan Dea. Dari sana muncul Zein dengan kaos hitam dan celana pendek seraya mengerutkan dahinya.

Zein mendekat, menatap adiknya dengan kening masih berkerut bingung. "Kenapa?" tanyanya seraya duduk di bibir kasur.

Dea meunduk sambil menggeleng. Dia tidak mau Zein tahu perasaannya pada Rion. Dia terlalu malu untuk mengatakannya.

"Kenapa?" tanya Zein lagi. Kali ini memaksa Dea untuk berterus terang. Melihat Dea sefrustasi itu membuatnya tak tahan untuk diam saja.

Dea terus menunduk. Dia tidak menjawab pertanyaan Zein. Hanya deru napasnya yang sesekali terdengar memburu. "Lagi ada masalah?" tanya Zein lagi, tak mempedulikan Dea yang hanya diam sedari tadi.

"Kalo ada masalah, cerita sama Abang." Zein menarik Dea dalam dekapannya. Seketika, isak tangis Dea mulai terdengar. Dia memeluk Zein dengan erat. Seperti tak mau melepaskan pemuda itu barang sedetik pun.

Zein membalas pelukan Dea sambil mengusap-usap punggung gadis itu dengan pelan. Melihat Dea yang biasanya ceria menjadi sedih membuat dadanya sedikit sesak. Sesering apa pun dirinya bertengkar dengan Dea, dia tetaplah adik kecil baginya. Tidak ada yang boleh menyakiti Dea.

Beberapa menit berlalu, hanya diisi dengan Dea yang terus menangis. Kaos hitam yang dikenakan Zein menjadi basah.

"Kenapa?" Zein bertanya lagi setelah tangis Dea mereda. Gadis itu mengurai pelukan mereka, lantas mengusap air mata yang masih tersisa di pipinya.

"Bang, salah nggak kalo aku suka sama Rion?" kata Dea sambil terus menunduk. Dia tak mau menatap netra hitam milik Zein. Takut pemuda itu menertawainya.

Zein tersenyum. Dia tidak kaget dengan ucapan Dea. Mengenal Rion sejak tiga tahun lalu membuatnya paham. Kedekatan Rion dan Dea jelas tidak wajar. Namun selama ini dirinya bungkam. Tak ingin mencampuri yang bukan urusannya. "Nggak. Nggak ada yang salah. Kenapa?" tanya Zein berusaha mengorek informasi lebih dalam.

"Tapi Rion udah punya pacar, Bang." Dea berujar lagi. Kali ini suaranya sedikit lebih pelan.

Raut wajah Zein menjadi datar. Dadanya sesak. Dia kembali menarik Dea dalam pelukannya, seraya mengusap puncak kepala gadis itu dengan sayang. "Kamu nggak salah. Waktunya aja yang kurang tepat," ujar Zein menenangkan.

Forever be a Friend [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang