Yi Sib Song

1.7K 96 26
                                    

Araya berdiri tanpa berkata apapun. Berjalan meninggalkan Ellen dan teman-temannya. Ia menangis dalam diam. Sekuat mungkin ia sembunyikan itu agar tidak seorang pun melihat dirinya menangis. Terutama Ethan yang masih terpaku ditempatnya.

Ellen berlari lalu menahan tubuh Araya dengan memeluknya dari belakang. Tangisnya pecah dan terdengar sesegukan. Araya menatap langit yang kini sama gelap dengan hatinya lalu menarik nafasnya sedalam mungkin. Seakan ia tengah rakus menghirup udara malam untuk sekedar mengisi paru-parunya yang terasa kosong. Ia berusaha melepaskan tangan Ellen yang melingkar kuat di perutnya.

"Lepas Len" Kata Araya. Ellen hanya menangis lalu menggeleng kuat. "Lepas!" Kali ini Araya mencengkram tangan Ellen. Ia tak sabar untuk melepaskan diri. Bahkan tubuhnya meronta.

Tubuhnya berhasil terlepas. Ia lalu berbalik menghadap Ellen.

"Apa lagi Len? HAH? APA LAGI?!" Seru Araya setelah mengusap air matanya.

"Pa. Mama bisa jelasin. Itu semua..."

"ITU SEMUA APA? KAMU MAU BILANG ITU SEMUA NGGAK BENER?!" Sergah Araya lalu terkekeh. "Kamu tau? Masih banyak foto dan video kamu yang aku dapet. Saat kalian kencan di luar. Pergi ke puncak. Bercinta disana. Lalu kalian tidur lagi di kamar apart Ethan saat aku dinas keluar kota dan keluar negri kemarin. Aku tau Len kalian sering tidur bareng. Tapi aku masih punya hati Len buat nggak tayangin itu semua di video itu. Supaya kamu nggak lebih malu dari sekarang. Dan. Aku sengaja undang mereka hari ini. Karna aku mau mereka jadi saksi...." Araya menjeda. "Saksi perceraian kita!" Lanjutnya dengan tegas.

Semua orang terperangah. "Ai-Meung ( Weh Bro)" Panggil Poey.

"Tam mai? (Kenapa?)" Tanya Araya. Poey yang ditatap dengan mata sedih itu. Hatinya luluh lantah dan ikut sakit. Ini bahkan lebih hancur dari yang ia lihat saat Ellen meninggalkannya dulu. Sena menarik tangan Poey dan berisyarat agar dia tetap diam.

"Nggak Pa. Mama nggak mau cerai. Mama mohon Pa" Ujar Ellen kelimpungan sambil bersimpuh dihadapan kaki Araya. Sementara tangannya memegang erat tangan suaminya itu. Araya menghempaskan Ellen lalu hendak kembali pergi.

Ellen berhasil meraih kaki Araya dan menahannya pergi. Kejadian yang dramatis itu berlangsung beberapa saat dengan perdebatan ini itu.

"Ellen" Suara berat itu menyita perhatian semua orang. Ethan memanggil Ellen.

"Kamu nggak pantas mengemis. Lepas dia dan nikah denganku. Tinggalin manusia jadi-jadian itu" Kata Ethan.

BUAGHH

"AI-SAT (BANGSAT)!!! LO PIKIR KARNA SIAPA ARAYA BEGITU?! HAH?!" Seru Forth setelah memukul Ethan dengan sangat amat keras. Ia sudah berusaha menahan diri sejak awal untuk tetap tenang dan hanya memperhatikan. Tapi, Araya yang sudah dianggap adik oleh dirinya dan Istri tampannya-Beam. Membuat Forth tidak bisa lagi diam mematung.

Pukulan telak yang dilontarkan Forth berhasil membuat Ethan tersungkur di lantai. Sementara bibirnya sudah robek dan berdarah. Membuat Beam tercengang. Sudah lama sekali ia tidak melihat Forth marah. Tidak. Ia bahkan tak pernah melihat Forth semarah itu.

Forth sudah mencekik leher Ethan agar kepalanya tetap tertahan disana dan bersiap menonjok Ethan lagi dengan tangan kanannya yang ia kepal dan keraskan. Lalu Araya menahan tangan Forth. Ia tersenyum sambil menyingkirkan tubuh Forth dari atas tubuh Ethan. Forth yang seakan terhipnotis dengan tatapan Araya yang tak pernah ia lihat langsung menurut.

Ethan menatap mata Araya yang kini juga menatapnya. Aura gelap dan dingin yang menyelimuti Araya tak mampu ia sembunyikan dengan senyum yang masih mengulas diwajah tampannya itu.

Araya mengulurkan tangannya pada Ethan. Berniat menarik Ethan untuk bangkit.

Ethan pun meraih tangan Araya yang sudah dingin itu. Ia bisa merasakan Araya menggenggamnya erat hingga Ethan yakin jika Araya menariknya satu kali ia akan langsung berdiri. Tapi, perlahan senyum di wajah Araya hilang. Dan Araya menatap Ethan tanpa ekspresi apapun.

DUAGHHHH

"Akkhh" Ethan memekik pilu.

Semua orang tertegun. Araya yang terlihat begitu meyakinkan akan membantu Ethan. Dengan wajah tanpa ekspresi. Araya justru menendang tepat pada ulu hati Ethan tanpa melepaskan tangan Ethan yang ia genggam erat. Bukan. Itu lebih kepada cengkraman. Hal itu membuat tendangan Araya terasa berpuluh-puluh kali lipat lebih sakit.

Araya masih menatap Ethan tanpa gurat apapun yang menggambarkan perasaanya saat ini. Entah itu marah atau sedih. Tidak ada. Tidak terlihat. Ia lalu melepaskan tangan Ethan.

Tak lama. Mengalirlah darah segar yang kental berwarna merah pekat dari belahan bibir Ethan. Ia masih meringis kesakitan.

Poey. Selama menjadi sahabat Araya. Tak sekalipun ia mendapat kesempatan melihat Araya semarah itu seperti malam ini. Bahkan teman-temannya saat ini meragukan apakah yang dihadapan mereka itu benar-benar Araya atau iblis yang keluar dari neraka.

Araya duduk disisi kiri Ethan. Menatapnya lekat. Ia mengeluarkan ponselnya. Menekan volume dengan full. Lalu ia memutar sebuah rekaman suara melengking yang memekakan telinga. Ethan menggelinjang dengan sisa tenaganya. Pasalanya Araya menempelkan lubang speaker ponselnya tepat di lubang telinga Ethan. "Akkhh stop!" Pekik Ethan.

Araya menghentikan itu. Sedetik kemudian ia menampar tepat dilubang telinga Ethan dengan amat sangat sangat sangat keras. Hingga telinga Ethan berdengung dan terasa gendang telinganya seperti pecah. Ia bahkan tidak mampu mendengar apapun untuk waktu yang lama.

Cuih

Araya meludah tepat diwajah Ethan. Pemuda yang berada dibawah kakinya itu berusaha bangkit. Tapi kaki Araya menahan kepalanya intuk tetap berbaring di lantai.

"Firman" Panggil Araya pada salah satu bodyguardnya yang entah sejak kapan ada disana. Firman mengangguk. Seolah sudah paham. Ia memberikan sebuah paper bag.

Dengan santai Araya mengeluarkan sepasang sepatu. Ia tidak lagi menginjak Ethan. Ia mengganti sepatunya lalu membersihkan tangannya dengan cairan hand sanitizer. Tentu saja Araya sudah tau akan jadi seperti ini.

Ethan duduk sambil sibuk mengusap telinganya yang terasa basah. "Sial!" Serunya. Bibir Araya mengulas senyum tipis saat melihat darah ditangan Ethan yang ia gunakan untuk mengusap telinganya.

"Beresin semuanya" Kata Araya sambil menepuk bahu Firman. Pria yang memiliki tubuh lebih tinggi dari Araya itu mengangguk.

Araya melenggang tanpa dosa. Meninggalkan area atap serta teman-temannya. Secepat kilat ia menghilangkan diri dari pandangan mereka untuk pergi kesuatu tempat yang sudah ia rencanakan.

📍📍📍


Bangkok, Thailand.
Pukul 10:05 waktu setempat.

Araya baru saja tiba. Dirumah megah khas tradisional Thailand ini ia memijakkan kakinya. Para pelayan yang memakai baju seragam khas keluarga itu, mempersilahkan tuan muda nya masuk kedalam rumah tersebut.

Nyonya Som yang semula sedang asik berbincang dengan Bibi Pong dan beberapa pelayan lainnya di pendopo halaman belakang, langsung melangkah keruang utama saat mendengar anaknya datang seorang diri.

Senyum manis terulas di wajah Som yang semakin menua. Ia duduk dikursinya saat Araya terlihat baru saja selesai melakukan sembah sujud pada foto mendiang ayahnya.

Masih dengan posisi salam sujud. Araya mengarahkan tubuhnya pada Som dan Pong.

"Khun ma na luk? (Kamu datang, nak)?" Suara Som terdengar sangat lembut. Araya mengangkat tubuhnya lalu menatap Som. Ia masih tetap duduk dilantai. Araya mengangguk.

"Mee arai na luk? (ada apa, nak)?" Kali ini Pong bicara. Ia menatap Araya dengan khawatir. Insting keibuannya berkata sesuatu telah terjadi.

Araya tak menjawab. Ia merundukkan kepalanya lalu menangis sejadi-jadinya. Som dan Pong saling menatap bingung. Keduanya menghampiri Araya lalu memeluknya tanpa berkata apapun.

Araya 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang