61

1.8K 160 0
                                    


Sepuluh tahun yang lalu,

Marvella membuka salah satu ruangan VVIP yang ada di Mount Elizabeth Hospital, Singapura. "Grandmamma!"

Iliona yang sedang duduk di sofa terkejut saat mendengar cucu perempuannya berteriak. "Marvella kamu tidak boleh berteriak disini."

Marvella mengangguk dan setengah berlari ke dalam ruangan sepi itu . "Hari ini Papa mengijinkanku untuk datang karena aku dapat nilai sempurna di Kuis Matematika kemarin!"

"Grandmamma senang mendengarnya. Apa kamu langsung kesini setelah dari bandara?" tanya Iliona kepada Marvella.

Marvella mengangguk dan melepas tas kecilnya. "Grandmamma tahu, kemarin aku dan Sarah makan sate di Senayan."

Iliona kemudian melihat Sarah, pengasuh Marvella sejak bayi berjalan dengan pelan dan menundukkan kepalanya. "Hm, jangan sering – sering makan diluar, Sayang. Kamu sudah makan siang?"

"Sudah. Grandmamma, dimana Atha?" Marvella mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan namun ia tidak mendapati Atha yang sedang ia cari.

Iliona menjawabnya dengan sabar. "Dia sedang terapi."

Marvella kemudian menggeser posisi duduknya untuk lebih dekat dengan neneknya. "Kapan aku bisa mengajak Kanianatha ke rumah? Grandmamma, aku sangat senang sekali saat tahu dari Papa kalau dia akan tinggal bersama aku. Boleh aku sekamar dengan dia?"

"Kalau dia sudah bisa berjalan, Sayang." Iliona kemudian menatap cucu perempuannya. "Dan kamar kalian akan dipisah, Sayang. Sometimes, kalian bisa tidur bergantian di kamar kalian masing – masing."

"Paham, Marvella?"

Marvella menjawab dengan antusias. "Siap, Grandmamma."

____

"Ben, everything alright?" tanya Kanianatha setelah ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang dibawa Indira. Baju yang tengah ia pakai tampak basah di beberapa bagian dan Atha mengeringkan seadanya dengan handuk yang sedang ia pegang.

Benedict Canale, fotografer ternama yang sudah sering bekerja sama dengan Atha menjawab dengan santai. "Iya. Semuanya aman."

Atha berdecak pelan. "Good, sekarang hujan deras dan kita harus mengubah konsepnya."

Cuaca mendung yang bergelayut sejak pagi tadi, berubah menjadi hujan deras. Ben dan krunya menjadi riuh menyelamatkan kamera dan peralatan pemotretan mereka. Model – model segera berteduh ke sebuah rumah berlantai satu yang digunakan sebagai base mereka. Indira dan beberapa orang lainnya segera membereskan baju – baju dan beragam aksesoris agar tidak rusak. Dan karena hujan yang turun, tidak ada yang bisa dilakukan Atha untuk melanjutkan pemotretannya. Ia kemudian duduk di salah satu kursi dan meregangkan kakinya.

"Sudah aku bilang untuk melakukannya di studio," kata Ben sambil mengeluarkan ponselnya.

"Aku dan Chalondra sudah sepakat untuk melakukannya di outdoor. Ada alasan kenapa aku selalu mengawasi semua dengan detail. Aku ingin memastikan semuanya – all of this, sesuai dengan apa yang aku pikirkan."

Sementara itu, Indira yang tengah membantu para model untuk melepaskan baju yang dipakai terkejut saat menyadari seseorang meneleponnya. Ia kemudian beranjak ke bagian dapur, dimana ruangan itu adalah ruangan yang sepi dari sekian ruangan yang ada di rumah berlantai satu ini, yang digunakan sebagai markas mereka hari ini. Ia mengangkat panggilannya, "Halo, Pak."

"Eh, sedang hujan, Pak. Itu sebabnya disini terdengar ramai," jawab Indira setelah ia mendengar keheranan dari Raditya.

"Hujan? Bagaimana dengan pemotretannya?."

Indira menjawab, "Ya dibatalkan, Pak. Hujan deras sekali sejak satu jam yang lalu, suasana chaos karena hujan mendadak itu hingga membuat Mbak Atha sempat terpeleset. Mbak Atha sepertinya sekarang sedang berbicara dengan Benedict. Katanya untuk merubah konsep. Kan tidak mungkin dilanjutkan dengan cuaca seperti ini. Konsep yang dipakai kan outdoor."

Raditya kemudian teringat dengan kaki Atha. "Dia terpeleset?"

"Tanahnya licin, Pak. Saya dan yang lainnya kan harus menyelamatkan baju dan lainnya. Mbak Atha juga sempat kewalahan, apalagi Ben."

Raditya mendesah pelan, "Dia baik – baik saja?"

"Basah kuyup, Pak. Sudah saya beri handuk dan pakaian kering."

Raditya mengerutkan keningnya, ia melonggarkan dasi yang ada di leher kemejanya. Ia kemudian memutar kursinya untuk menghadap ke jendela besar yang menghiasi kantornya. "Bisa kamu kirim lokasinya?"

"Eh, untuk apa, Pak?"

"Indira, kamu adalah satu – satunya orang yang saya percaya untuk memberikan kabar tentang bos kamu itu. Bisa kamu kirim alamat lokasinya?" ulang Raditya sekali lagi sembari memanggil Caleb lewat telepon kantornya untuk menyiapkan mobil.

___

DiaforetikáTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang