86

1.5K 122 1
                                    

Satu bulan kemudian,

Atha turun dari mobilnya setelah ia selesai memarkirkan sendiri mobil di basement. Hari ini Kandiya memintanya datang ke rumah untuk makan siang bersama. Sementara itu Atha baru saja kembali dari studionya untuk mengambil beberapa prototype baju yang akan dipasarkan tiga bulan lagi. Atha mendongakkan kepalanya saat ia melihat sosok yang memanggil namanya dari balkon lantai dua. "Marvella!"

Marvella Tjahjadi baru saja pulang dari California setelah menyelesaikan studi magisternya di Stanford. Kemarin ia baru sampai di Indonesia dan hari ini baru bisa bertemu dengan saudaranya itu. Marvella turun dari lantai dua, ia terlihat memakai kaus yang dipadukan dengan jeans, serta bergegas memeluk Atha yang sudah merentangkan tangannya.

Sementara itu, Atha tertawa pelan saat melihat Marvella yang begitu antusias. Tahun ini, Marvella pulang selama beberapa minggu sebelum ia kembali ke California dan melakukan internship di salah satu kantor business consulting.

Marvella membawa Atha ke kamarnya setelah Atha menemui ibu mereka. "Hari ini aku bisa menemani kamu ke rumah sakit?"

"Kamu sudah bertanya tadi malam," kata Atha sambil menaikkan alisnya. Sejak beberapa minggu yang lalu ia melakukan konsultasi kepada rujukan psikolog yang diberikan ibunya. "Dua minggu lagi, El."

Marvella meringis, "Aku lupa."

"Dari dulu."

Marvella duduk di tepi ranjang kamarnya, "Tapi aku tidak lupa kalau kamu sedang berhubungan dengan seseorang."

Atha berusaha mengalihkan pembicaraan mereka. "Marvella, Mama meminta kita untuk tidak berlama – lama di kamar."

"Jadi, apa ini adalah orang yang sama? Orang yang mencium -"

"El."

"Kamu selalu tidak pernah menjawabnya saat video call kita, Atha. Aku harus bertanya mati – matian kepada Mario atau Chalondra karena aku sangat penasaran."

"Tapi sebentar lagi kita akan makan siang, El."

"Kamu bisa menceritakannya dengan singkat," sahut Marvella dengan cepat.

"After lunch?" Marvella mengerjapkan matanya setelah beberapa saat, menimbang keadaan.

Atha mengangguk. "After lunch."

___

"Jadi aku memutuskan untuk tidak berhubungan dengannya lagi."

"Rumit sekali."

Atha membiarkan Marvella yang menatapnya terang – terangan. "Rumit tetapi aku berhasil menyelesaikannya dengan benar, kan?"

"Apa menurut kamu itu disebut menyelesaikan?"

"Menurut aku ini penyelesaian kami. El, aku tidak tertarik untuk berhubungan dengan dia."

Marvella kembali bertanya dengan penasaran, "Kenapa?"

"Karena bersamanya akan selalu mendapatkan perhatian dari orang – orang. Raditya adalah salah satu pria yang terkenal, berpengaruh and a good looking person; aku tidak bisa bersamanya. Kami adalah dua orang yang berbeda dan itu pasti akan berpengaruh ke banyak hal."

Atha melirik sebuah buku berwarna biru yang ada disampingnya. Marvella kembali berkata kepada Atha yang duduk disampingnya. "Kamu terlihat mencari – cari alasan. Katamu dia adalah pria yang sama dengan menumpahkan kopi di bajumu dan pria yang membuat kamu dengan konyolnya membeli lima botol pembersih lantai? Dia menyetir selama dua jam lebih hanya untuk melihat kamu yang sedang melakukan outdoor photoshoot? Ada alasan dimana dua orang yang berkali – kali bertemu secara kebetulan di tempat yang berbeda. Universe calls it destiny. "

"Aku tidak -"

"Kamu tidak perlu mendengarkan apa kata orang – orang itu, Atha. Kamu bisa melakukannya sama seperti dulu. Kali ini, kamu menjadi egois karena membohongi perasaan kamu sendiri."

Atha menjawabnya dengan cepat. "Aku tidak berbohong."

"Aku adalah saudara perempuan kamu dan aku tahu kalau saat ini kamu membohongi diri sendiri. Based on my experience, tidak ada gunanya kita berbohong karena itu akan kembali menyakiti kita sendiri."

"Kamu menyalahkan aku?"

"Kalau untuk rasa individu kamu, ya. Kamu perlu menghargai perasaan itu, Tha."

Atha menatap mata Marvela lebih dalam. Untuk pertama kalinya, ia ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. "Aku takut untuk jatuh cinta, El."

"No. Kamu tidak takut dengan cinta yang baru kamu rasakan ini, kamu hanya takut dengan luka lama. Tahu apa yang harusnya kamu lakukan? Menyembuhkan lukanya."

Marvella kemudian melirik buku yang ada disampingnya. Itu adalah buku yang baru dibelinya bulan lalu. "Itu buku tentang Morrie Szhwartz (1). Kamu tahu kalimat yang aku suka dari buku itu apa?"

" ... " Atha melihat sampul buku itu.

"The most important thing in life is to learn how to give out love and to let it come in."

"Mencintai adalah hal yang paling rasional, Tha. Morrie (2) mengatakan untuk tidak membiarkan keraguan dan ketakutan datang. Karena pada dasarnya, apa pun yang dilakukan dengan niat cinta akan mengarah kepada lebih banyak cinta."

___

(1) Tuesday with Morrie, karangan Mitch Albom.

(2) Morris "Morrie" S. Schwartz adalah seorang profesor sosiologi Amerika di Universitas Brandeis dan seorang penulis. Mitch Albom, yang merupakan mantan siswanya menulis buku tentangnya yang berjudul, "Tuesday with Morrie".

DiaforetikáTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang