92

1.7K 157 4
                                    

Kanianatha keluar dari salah satu conference room berkapasitas dua ratus orang yang ada di Grand Mercure Roxy, Singapura. Lima jam yang lalu, seratus enam puluh fashion designer yang tergabung dalam Asean Fashion Design Chamber berdiskusi dalam Southeast Asia Fashion Conference: Fashion Technology Development and Sustainability Fashion. Kanianatha merupakan salah satu fashion designer dari Indonesia yang tergabung dalam asosiasi ini. Asean Fashion Design Chamber merupakan organisasi nirlaba, multi-shakeholders dengan keanggotaan yang dipilih melalui seleksi yang dibuka tiap enam bulan sekali, didirikan pada tahun 1993 dan berpusat di Marina Bay, Singapura.

Atha kemudian duduk di salah satu sofa yang ada di lobby untuk mengistirahatkan kakinya. Jarak dari tempat ini dengan hotelnya bisa ditempuh selama dua puluh menit. Namun karena Chalondra bersikeras untuk menjemput seusai jadwal pribadinya dengan Raditya, Atha tidak bisa membantah. Ia baru saja mengirimkan pesan kepada Chalondra bahwa acaranya sudah selesai dan ia menunggu di lobby. Atha memegang mata kakinya karena ia merasa kakinya sedikit sakit setelah lebih dari lima jam mengenakan high heels. Ia berdecak pelan dan berharap agar Chalondra segera datang dan ia bisa melepaskan sepatunya di mobil Chalondra.

Ia kemudian memainkan ponselnya. Sepuluh menit kemudian, Atha mendongakkan kepalanya saat dari posisinya yang sedang menunduk menyadari seseorang mendekat ke arahnya. Ia bersitatap selama beberapa detik dengan orang itu. Atha mengerutkan keningnya saat menyadari kejanggalan disitu, "Sedang apa kamu disini?"

"Chalondra tertidur di mobil, Atha. Hari ini kami berkeliling di Marina Bay dan dia ingin ke Singapore Flyer, tetapi dibatalkan karena tidak ada gunanya melihat pemandangan yang tertutup hujan. Lucien memintaku untuk menjemput kamu. Kenapa kaki kamu?" tanya Raditya setelah menjelaskan kedatangannya.

Atha kemudian menyadari bahwa kali ini ia memegang betisnya. Ia kemudian memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak. "Terlalu lama pakai heels."

"Kamu bisa berjalan?"

"Diluar hujan?"

Raditya mengangguk dan mengambil duduk di sofa yang ada didepan Atha. "Kaki kamu sakit?"

"Sedikit."

Atha melihat heels yang sedang ia pakai. "Hanya karena heels ini bukan berarti aku tidak bisa jalan. Kamu bisa pergi ke Lucien dan memberitahu untuk menunggu sebentar lagi. Aku akan menyusul."

"Untuk apa aku pergi ke Lucien jika aku bisa mengiriminya pesan. Kamu baik – baik saja?"

Atha kemudian melirik ke Raditya yang mengeluarkan ponselnya. "Kasihan Lucien yang menunggu kita."

Raditya kemudian tersenyum tipis dan itu membuat Atha merasa aneh. Ia pun bertanya, "Kenapa kamu tersenyum?"

"Kamu tidak suka?"

Atha mulai merasa kesal karena ini adalah kedua kalinya jawaban dari Raditya tidak bisa ia pahami. "Aku hanya bertanya, Raditya. Lupakan jika kamu tidak ingin menjawabnya."

"Tanganku bisa menjadi tumpuan saat kamu berjalan nanti."

Atha menganggap kata – kata Raditya yang baru saja diucapkan hanyalah lelucon kepadanya. "I don't need it."

"Suatu hari kamu akan membutuhkannya."

Atha menatap serius mata Raditya. "Aku akan berusaha untuk tidak mengingat semua ini, Raditya. Tangan kamu bebas dipakai untuk menjadi tumpuan siapa saja."

"Aku tidak ingin sembarang orang meminjamnya. Atha, aku menunggu kamu hingga cukup percaya diri untuk mengenggam tanganku."

"Kenapa harus aku dan kenapa tiba – tiba kita membicarakan ini?" tanya Atha sambil mengerutkan keningnya.

Raditya tersenyum karena ia mendengar kata yang sama, kita. Ia menyukainya. "Aku senang karena hari ini aku bisa bebas berbicara dengan kamu tanpa ada orang lain yang menginterupsi."

Atha menanggapinya singkat, "Konyol. Aku bisa meminta tolong ke Lucien untuk datang kesini."

"Chalondra tertidur dan hanya ada mereka berdua di mobil. Seseorang seperti Lucien tidak akan meninggalkan Chalondra."

Atha kemudian berdiri dan mengalungkan tasnya ke bahu. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah keduanya harus segera ke mobil agar ia tidak perlu lama – lama hanya berdua dengan Raditya. "Aku sudah bisa berjalan sekarang. Ayo ke mobil."

Raditya kemudian berdiri dan ikut berjalan di samping Atha. Keduanya berjalan untuk keluar dari lobby hotel itu. Raditya kemudian melirik Atha dan memelankan langkahnya untuk menjaga wanita itu. "Kenapa kamu tetap memakainya kalau tahu kaki kamu akan sakit?"

"Simple. Just because I like it."

"Oh, sama seperti aku yang menyukai segalanya tentang kamu?"

Atha mengangkat bahunya dengan tak acuh. "Itu berbeda."

"Just tell me why it's different. Someone told me that choose different path doesn't mean can't be together." Raditya kemudian menarik salah satu tangan Atha dan menahannya, "Rhone dan Arve memang tidak pernah bercampur. Tetapi keduanya terus bersama, berdampingan."

"Raditya," Atha memanggil pelan nama pria yang sedang memegang tangan kanannya. Sejak ia bertemu dengan Raditya di kafe, ia tahu ia harus menghindari pria itu. Ia berusaha membuat jarak yang jelas diantara keduanya, termasuk menolak tawaran makan malam bersama. "Tiga belas tahun yang lalu, ketika pemberitaan adopsiku diketahui oleh publik, kemungkinan terburuk dari yang diperkirakan benar – benar terjadi." Atha menarik napasnya untuk menceritakan hal ini. "Saham perusahaan Papa angkatku turun dan itu menyebabkan rumor dimana – mana. Oma memutuskan untuk tidak menanggapi semua rumor yang tersebar dan ia menggunakan caranya sendiri – Oma memiliki saham di dua puluh perusahaan media di Indonesia. Ia menggunakan cara yang ia bisa untuk meredam rumor itu, aku pernah membuatnya berada dalam situasi yang sangat sulit, Raditya."

"Aku tidak pernah menginginkan sebuah perhatian yang berlebih dari orang yang tidak mengenalku. Aku hanya memerlukan kasih sayang dari keluarga karena aku membutuhkannya. Berada dalam keluarga Tjahjadi membuatku menjadi perhatian beberapa orang karena masa laluku. Situasi dimana aku bersama kamu sama seperti setitik noda kopi di setelan jas Kiton K50. Annoying and make defective something that looks perfect."

Atha menarik tangannya lebih kuat untuk melepas genggaman Raditya. "We're totally different. Kamu tahu apa yang sedang aku katakan? Berbeda. Different. Diaforetiká."

Raditya menatap kedua mata dengan serius. "Biar aku perbaiki kata – kataku. It might look different for you, but I still like you. Aku masih mempunyai perasaan yang sama. Dua tahun yang lalu ketika aku memutuskan kamu untuk menyudahi semuanya adalah langkah mundur untuk memberi kamu ruang dan memikirkan beberapa hal. Terkadang, kamu perlu mendengarkan hatimu."

"Atha, aku menunggu momen ini. Dimana akhirnya aku bisa bertemu kamu lagi. It's hard for me to make space between us. Aku tidak bisa melakukannya lagi – bahkan tidak pernah mengharapkannya untuk kesekian kalinya lagi atas apa yang aku putuskan dua tahun lalu."

" ... "

"Ketika aku mencintai kamu, aku melakukannya dengan dalam dan sepenuh hati. No question on our past. Itu yang perlu kamu ketahui. I will support you and push you until be our best version of self. I will out you above everything else."

" ... "

"Cinta yang sedang aku dalami adalah kamu."

___

DiaforetikáTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang