Chapter 4

5.7K 784 133
                                    

Senja sudah hampir mencapai batas ketika Bright memarkirkan motor matic-nya di depan rumah. Guru muda itu baru saja pulang dari acara home visitnya ke rumah para murid secara bergantian.

Belum juga Bright sempat masuk rumah, pemuda tinggi itu dikagetkan dengan adanya seonggok manusia yang tidur sambil duduk telungkup di kursi terasnya.

"St.. heh, bangun woi.." Bright coba menggoyangkan punggung pemuda berbaju hijau tersebut.

"Heh, ada satpol PP wehh.." Bright lagi.

"Hah? Mana? Mana?" Yang dibangunkan berteriak kaget sambil langsung berdiri. "Kok sepi?"

"Ya sepilah. Orang udah mau maghrib." Jawab Bright asal.

"Kamu siapa? Mau maling, ya?" Si pemuda menunjuk Bright tepat di muka.

Bright makin bingung. Masa di rumah sendiri dikira maling?

Dengan kesal Bright membuka masker kain yang sedari tadi dikenakannya. "Saya yang punya rumah tau."

"Eh, pak Bright. Saya kira maling. Hehe.." Jawab si pemuda cengengesan dengan menggaruk belakang kepalanya sungkan.

"Kamu udah lama, Win?" Tanya Bright sambil membuka pintu rumah.

"Dari jam lima-an sih, pak."

"Lama juga, ya. Yaudah masuk dulu." Win mengekor saja.

"Duduk. Saya mandi dulu sebentar." Bright meninggalkan Win di ruang tamu sendirian.

Mata Win tak lepas mengamati rumah Bright yang terbilang kecil. Sepertinya lebih pantas dibilang kontrakan dari pada rumah. Rumah petak dengan perabot seadanya. Ruang tamunya saja sekaligus difungsikan sebagai ruang santai dan hanya beralas karpet. Hanya ada satu kamar, satu kamar mandi dan satu lagi ruangan di belakang yang Win yakini sebagai dapur.

Dia nggak punya foto buat dipasang di tembok apa? -batin Win miris menyaksikan tembok ruang tamu Bright yang hanya dihiasi sebuah kalender gratisan berlogo PGRI.

"Nih, segini cukup kan ya?" Bright tiba-tiba datang dengan setumpuk kardus di tangannya. Diletakkan di depan Win tepat.

Win memperhatikan penampilan Bright yang berbeda jauh dari sebelum mandi. Baju putih seragam hari rabunya sudah berganti dengan kaos polo warna navy. Celana kainnya juga sudah diganti dengan celana training panjang.

"Ya nggak tau. Kan bapak yang ngasih tugas?" Jawab Win.

"Iya juga, ya. Cukup deh kayaknya segini, mah."

"Eh, pak. Bapak kok punya kerdus banyak gitu. Bapak nggak kerja sambilan mulung kan?" Win menatap curiga.

"Enak aja. Saya kebiasaan kalo beli mi instant langsung sekerdus. Makanya jadi banyak gini."

"Oh.. kirain. Ngomong-ngomong saya nggak dikasih minum, pak?"

"Ck. Ngerepotin aja kamu. Bentar saya ambilin."

Bright mengambilkan sebotol air dingin dan sebuah gelas kosong untuk tamunya.

"Seadanya, ya. Saya cuma punya itu." Ujar Bright.

"Emang ibunya bapak nggak nyetok teh, sirop apa kopi gitu pak?" Kepo bat dah si Win.

"Nggak. Saya beli sendiri semua. Ibu saya kan di kota sebelah."

"Loh, bapak tinggal sendiri?"

"Iya. SK PNS saya penempatannya di kota ini. Jadi mau nggak mau harus pisah sama orang tua yang tinggal di kota sebelah."

"Bapak disini beli rumah?"

"Nggak lah. Ngontrak doang."

"Oh.. pantes.."

"Pantes apa?"

"Pantes jadi pendamping saya, pak." Ujar Win sambil terkekeh dengan kalimatnga sendiri.

"Saya mau keluar cari makan. Kamu pulang naik apa?" Tanya Bright lagi.

"Gocar lagi paling."

"Tadi naik gocar?"

"Iya."

"Yaudah sekalian sama saya aja. Nanti saya anter. Tapi maaf saya pakenya cuma motor matic." Tawar si pak guru.

"Ah, nggak apa-apa, pak. Saya malah makasih bapak udah repot-repot mau nganterin."

Akhirnya kedua pemuda itu bersiap untuk berboncengan ria menggunakan motor matic malam itu.

"Nih, pake." Bright menyerahkan sebuah masker kain pada Win saat mereka keluar rumah.

Win menatap bingung.

"Kenapa? Kamu dari tadi nggak pake masker kan? Jaman sekarang lagi bahaya kalo keluar tanpa masker. Itu pake aja buat kamu." Jelas Bright.

"Makasih sebelumnya sih, pak. Tapi kenapa harus warna pink??" Nada Win agak meninggi.

"Adanya. Lagi pula kamu juga suka kan pake warna pink? Pinkyboy." Jawab Bright cuek.

"Ish, tapi kan.."

"Udah pake cepet. Atau kamu saya tinggal sendiri."

"Iya..iya.."

....

Awalnya Win kira Bright bakal mengajaknya makan terlebih dahulu baru mengantarnya pulang. Ternyata malah langsung ke arah rumah tanpa mampir-mampir.

Belum lagi rencana peluk-peluk manja pinggang guru adiknya harus gagal total karena tumpukkan kardus yang menghalanginya. Iya, antara Win dan Bright di boncengan motor ada tumpukkan kardus setebal lima centimeter yang menjadi pihak ketiga.

Mau cium bau parfumnya aja yang kecium malah bau kerdus sarimi. Sial banget gue!! -batin Win merana

Motor matic Bright berhenti tepat di depan pagar rumah Win. Dari sana terlihat Pavel dan Dome yang sedang menikmati kopi sambil bercengkrama di teras rumah Win yang langsung menghadap taman dan jalan raya.

"Saya pulang dulu. Jangan lupa bilang Sky tugasnya dikerjakan." Ujar Bright setelah Win turun.

"Iya, pak. Terimakasih atas kerdusnya. Atas tumpangannya juga. Eh, sama masker juga ding. Pokoknya makasih banyak."

"Sama-sama, Win. Oh iya sepertinya minggu ini jadwal home visit saya ke rumah Sky. Nanti jadwal tepatnya saya WA ke kamu."

"Iya, pak. Jangan ngedadak ya?"

"Kenapa emangnya?"

"Biar saya siap-siap."

"Nha kok kamu?"

"Siap-siap belajar sama Sky maksudnya.."

"Oh.. yaudah. Saya pulang." Bright sempat menundukkan kepala hormat saat menatap Pavel dan Dome yang memandang interaksi mereka sebelum melajukan motornya meninggalkan Win.

Win masuk setelah Bright tak terlihat. "Kakak pulaaang.." Teriaknya lalu mencium tangan kedua orang tuanya.

"Nyari kerdus lama amat, kak?" Tegur Pavel.

"Nunggu maghrib sekalian. Pamali kan kalo maghrib-maghrib keluar rumah." Jawab Win sambil mencomot kue pancong di sebelah gelas kopi papanya.

"Kok sama pak Bright?" Ini mamanya yang giliran tanya.

"Ketemu di jalan. Kasian katanya makanya diajakin bareng sekalian." Ngeles.

"Katanya nggak mau pake motor matic.. sekarang kok mau-mau aja? Nggak konsisten kamu, kak." Ejek Pavel.

"Dih, siapa bilang? Kakak bilangnya nggak mau pake matic kalo nyetir sendiri. Kalo dibonceng mah mau. Apalagi yang ngebonceng modelan kaya pak Bright. Hehe."

Setelah menjawab pertanyaan papanya, Win masuk rumah begitu saja.

"Dia mirip siapa sih? Kok nggak mirip kamu sama sekali? Muka doang mirip, kelakuan jauh." Dengus Pavel pada istrinya.

"Kelakuan si Win kan nurun dari papanya." Jawab Dome cuek.

"Lah, kok aku??"

Suka nggak sadar diri emang -_-'



Bersambung...

Vote sama comment yokk..

Sorry for typo and thankyou 😉

Study from Home (BrightWin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang