22. Alasanya

25 2 0
                                    

Selamat membaca 💕

"Biarlah waktu yang menuntun kita untuk mengetahui alasan dari sebuah penantian"

Setelah membasuh wajahnya di dalam kamar mandi ia melihat wajahnya didepan cermin, kemudian ia tersenyum meskipun senyum itu adalah senyuman palsu tapi setidaknya kakak-kakak nya menghiburnya.

Ia bergegas keluar dari kamar mandi ternyata kakak-kakaknya masih duduk di ranjangnya. Dengan bermain hape masing-masing.

"Sudah selesai ya dek, kita ke meja makan yuk!" Deren berjalan ke arah Laila dan menarik tangannya agar mereka makan malam bersama.

Laila hanya mengangguk sebagai tanda iya, kemudian berjalan mengikuti kakaknya.

Mereka melahap makanan yang sudah tersedia di meja dengan keheningan lagi-lagi Mama mereka tidak pulang karena sibuk dengan urusan perkantoran.

Hampir tiga puluh menit mereka duduk di meja makan tanpa mengeluarkan suara hanya. Deven lah yang telah selesai duluan pun berkata, "Sekarang, mau cerita disini atau di kamar?"

"Bentar kak, masih nangun nih!" Laila melirik ke arah kakaknya karena ia belum selesai makan hanya tinggal beberapa sendok kemudian selesai.

Sementara Deren juga sudah selesai dengan makanya, ia menunggu Laila selesai makan dulu, baru mereka kembali ke kamar Laila untuk mendengarkan penjelasan Laila.

Setelah dirasakan makanya sudah selesai akhirnya Laila mengambil piringnya dan piring kakak-kakaknya
Ke dalam dapur. Setelah di taruh dalam wastafel ia membuka refrigerator mengambil beberapa ice cream yang ada di dalamnya dan kembali ke meja makan untuk mengajak kakak-kakaknya dan menceritakan yang sebenarnya terjadi.

Mereka memilih untuk duduk di balkon kamar Laila sambil memandangi beberapa bintang dan memandangi indahnya kota Jakarta di malam hari.

"Jadi, apa masalahnya?" tanya Deren tanpa basa-basi.

Nyali Laila menciut, karena tatapan interogasi oleh keduanya lebih tepatnya Deren karena kakaknya itu sangat tegas terlebih lagi jika dia sala bicara bisa-bisa dia tidak akan di ijinkan untuk berlibur bersama teman-temannya, jika Deren sudah bilang tidak maka siapapun tidak bisa menentang itu. Maupun Deven tidak bisa membantunya karena Deren lah yang paling tua mekipun hanya terpaut beberapa detik dari Deven.

"Oke jadi gini kak---" belum sempat menyelesaikan kata-katanya Deven dengan seenak jidatnya memotong ucapan Laila.

"Gini gimana bege? Kok gue ngerasa Lo tegang amat sih," ucap Deven mencairkan suasana karena dari tadi Deren menatap adiknya dengan tatap seperti sedang emosi. Ia tau kalau jika Laila salah ngomong sedikit pun bisa dikatakan tidak akan aman dari amukan Deren.

Deren yang geram atas tingkah konyol Deven pun menjitak kepala Deven dan meminta Laila melanjutkan ceritanya.

Laila menelan ludah dengan tatapan pasrah dan melanjutkan kata-katanya, "kak aku takut suatu saat nanti, mereka bakalan ninggalin aku jika sudah tau tentang rahasia yang selama ini aku simpan rapat-rapat kak."

"Mereka siapa?" tanya Deven.

"Sahabat-sahabat aku kak."

"Ohh, jadi kamu mikirin mereka sampai nangis tadi? Kakak kirain ada yang jahatin kamu," Ujar Deren merasa lega, tapi ia juga merasa  kasihan dengan sang adik kesayangannya.

Laila hanya mengangguk, ingin rasanya ia menangis kembali tapi dia tidak boleh terlihat lemah di depan kakak-kakaknya. Karena mereka hanya mengetahui sebagian rahasianya.

"Nggak apa-apa kok, kalau mereka bakalan tinggalin kamu kan masih ada kak Deren sama aku," ucap Deven sambil mengelus kepala Laila.

"Jadi kamu nggak boleh bersedih lagi, oke" Kemudian Deren memeluk sang Adik, Deven pun memeluk sang adik agar sang adik tau bahwa semua masalah pasti ada solusinya jika dihadapi bersama-sama.

Laila merasa sudah lebih baik dan ia memutuskan untuk mengajak kakak-kakaknya ikut mereka ke puncak lusa.

Keduanya pun mengangguki ide Laila itu dan akhirnya mereka ke kamar masing-masing karena ini sudah larut malam dan mereka butuh istirahat.

Setelah kedua kakaknya keluar dari dalam kamarnya ia menghela nafas lega.

Laila pun membereskan tempat tidurnya untuk tidur, sebelum tidur ia membuka ponsel untuk mengecek akun sosial medianya. Tidak ada notifikasi hanya beberapa like di Instagram.

Setelah itu dia mulai terlelap dalam tidurnya.

Disisi lain di rumah Vaniel ia sedang duduk bersama Prisca dan Paul ia ingin mereka berdua menjelaskan  apa sebenarnya hubungan mereka, karena pada saat itu dia tidak sengaja melihat Prisca yang menangis setelah Paul masuk ke rumahnya tempo hari itu.

Prisca hanya duduk terdiam sambil menatap lantai dia tidak berniat untuk berbicara biarlah Paul yang menjelaskan itu duluan barulah ia akan menjelaskan ada apa sebenarnya tentang dia dan Paul.

Paul yang melihat Prisca hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat dimengerti oleh Vaniel.

Kemudian Vaniel yang melihat kelakuan keduanya pun geram, "Lo berdua kok dari tadi gue perhatiin nggak ada yang mau jawab pertanyaan gue sih?"

Paul menghela nafasnya dan menjawab, "Gue sebenarnya sudah kenal sama Prisca dari dulu sebelum pindah ke Indonesia."

"Iya, terus maksudnya kenapa Lo berdua kayak orang nggak kenal pas kemaren kemaren di sekolah?"

"Gue ada alasan kenapa kayak gitu!"

"Apa alasannya?"

Paul menatap ke arah Prisca yang sedang tertunduk itu kemudian menatap ke arah Vaniel, apakah sekarang waktu yang pas untuk mengatakan yang sebenarnya ke pada Vaniel dan Prisca, ia masih bimbang tetapi ia tau cepat atau lambat mereka pasti akan tau alasannya.

Sebenarnya ia juga tersiksa melakukan ini semua tapi ia tidak mau  kehilangan lagi untuk kedua kalinya tetapi apakah sekarang waktu yang pas, argh ia sangat bingung jika ia punya kekuatan ia akan menhilang sejenak dan kembali lagi untuk menjawab pertanyaan Vaniel.

Hinga akhirnya Paul pun membuka suara, "sebenarnya gue sayang sama Prisca,  awalnya gue kira ini sayang sebagai kakak adik tapi nyatanya bukan, selama ini gue kira perasaan itu telah hilang tapi nyatanya tidak, setelah kedatangan Prisca ke sekolah awalnya gue kaget tapi ada rasa senang dan rindu yang tidak bisa gue ungkapan dengan kata-kata," ucapnya sambil menatap ke arah Prisca.

Prisca yang mendengarkan itu pun terkejut bukan main ternyata selama ini cintanya kepada Paul tidak bertepuk sebelah tangan kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Paul.

Keduanya saling menatap hingga lupa bahwa seorang Vaniel tengah duduk di depan mereka.

Vaniel yang melihat itu pun memutar bola matanya dengan malas dengan drama yang sedang ia tonton ini. Kemudian ia mengingat sesuatu yang pernah dikatakan Prisca kepadanya saat pertama Prisca datang.
"Oiii kambing, jangan bilang cowok yang waktu itu Lo bilang itu adalah Paul yah?"

Keduanya kembali kaget dengan suara  Vaniel yang sangat keras itu, kemudian Prisca hanya tersenyum malu tapi ia senang seengahnya cintanya bertepuk sebelah tangan akhirnya Prisca pun mengangukinya.

Vaniel hanya menggelengkan kepalanya ternyata dunia ini begitu sempit yah, Prisca mencintai Paul yang notabenenya adalah sahabatnya sendiri dan yang lebih gilanya lagi ternyata keduanya saling mencintai.
Dunia memang aneh yah.
____________________________

Maaf baru up ya Guyss🙌😁!
Next tungguin yah✨💙
Tenkiiiiuu guueyss😘

Salam manis Tonia 🥀

Aku kamu Dia dan Takdir [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang