"Ya, aku mengerti." Suara Sara terdengar serak nan berat. Dia menundukkan wajahnya, tak peduli dengan laki-laki itu yang menunjukkan senyuman remehnya.
Sungguh, dia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Seakan-akan dirinya itu hanyalah sebuah sampah yang tidak berguna bagi keluarga yang terpandang.
"Bagus!" cibir Bumi yang suka atas tanggapan sang gadis. Merasa puas, Bumi langsung melangkah pergi meninggalkan adiknya itu.
Sedangkan Sara? Jangan ditanya lagi, saat ini dia tidak bisa menahan tangisan yang ditahannya sedari tadi. Sekarang tangisan itu pecah, tetapi dia tetap mengulas senyumannya.
"Kamu sampah! Bodoh! Nggak berguna! Anak Sialan! Kamu itu lemah! Astaga, kamu itu kenapa, sih, nggak pernah bahagia? Ya ampun, apes banget hidupmu, Sara. Nggak ada yang peduli sama kamu. Dikit-dikit takut alah kamu itu jadi cewek jangan sok kuat Sara Brengsek!" cibir Sara kepada dirinya sendiri. Lalu, dia tertawa yang kentara sekali jika itu adalah tawa isyarat penderitaan.
Karena lelah, Sara tertidur di tempat duduk meja rias tanpa bantal ataupun selimut yang menemaninya. Dia hanya menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. Lalu, tetesan cairan bening itu jatuh mengucur begitu saja di kedua pipi saat kedua matanya terpejam.
***
Keesokan paginya, seperti biasa keluarga Sincray tengah berkumpul bersama guna menjalani aktivitas rutin pagi mereka.
"Pagi semua!" sapa Saras yang sudah berpakaian rapi serta memakai ransel berwarna merah maroon yang melekat di punggungnya. Dia langsung duduk di bangku yang masih kosong itu.
"Pagi!" jawab mereka serentak sembari membalas senyuman dari Saras.
Mereka sekarang sudah berkumpul di tempat yang biasa mereka tempati yaitu ruang makan. Di sana sudah ada Wisnu, Sinta, Bumi, dan Leon yang langsung menarik kursinya ke belakang dan duduk sembari melahap makanan yang sudah tersedia.
"Laras mana?" tanya Sinta saat tak menjumpai salah satu putrinya itu.
"Mama nanya aku?" Saras menunjuk dirinya menggunakan sendok makan.
"Terus siapa? Hantu?" Sinta bertanya sembari menggelengkan kepala.
Saras menyengir sejenak. "Ma, si Laras biasalah kalau pagi gini dia suka dandan manja gitu. Ya wajar ajalah, si Laras, kan, sama aku lebih cantikkan aku. Makanya Laras itu makin hari makin suka dandan gituan," ujarnya lalu meledakkan tawanya.
Sinta dan yang lainnya saling memandang. Bagi mereka, ucapan Saras tidak lucu sama sekali. Mereka hanya mengedikkan bahu masing-masing, lalu melanjutkan memakan sarapan yang tertunda tadi.
"Apaan lo? Seenak jidat ngatain orang. Lagian, ya, gue baru aja ngerjain tugas bahasa tadi!" celetuk Laras dari belakang yang membuat Saras menghentikan gelak tawanya.
Semua orang di ruangan itu hanya menggelengkan kepala karena melihat kelakuan si kembar yang bagaikan tikus dan kucing itu.Padahal kalau dilihat-lihat, wajah mereka sangatlah mirip. Namun, salah satu di antara mereka berdua pasti ada saja yang duluan menjahili saudara kembarnya itu.
Di tempat yang sama, tetapi beda ruangan, Sara sudah selesai bersiap guna menjalani aktivitasnya belajar di sekolah hari ini.
"Akhirnya udah siap juga." Mendadak suara perut yang lapar berbunyi. Membuat Sara lantas mengelus perut ratanya itu. "sabar, ya, cacing-cacing. Lapar banget, ya?"
Baru saja dia akan pergi ke ruang makan, Sara menghentikan langkahnya sembari berpikir sejenak. Pasti mereka udah kumpul di situ. "Gimana ini? Apa aku nggak usah makan? Tapi, lapar ," lirihnya dengan pikiran dan kemauan hati yang saling bertarung saat ini.
"Nggak, kamu nggak boleh cemen! Emangnya kamu mau apa mati sia-sia karena kelaparan? Bodoh banget!" Sara memaki dirinya sendiri.
Setelah menguatkan diri, gadis berlesung pipi itu mengembuskan napas pelan. Dengan penuh percaya diri, dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang-orang yang membenci dirinya. Saat dia masuk di ruang makan, sorotan tajam langsung mengarah ke dirinya. Terlebih lagi tatapan tajam dari Sinta.
Tanpa memedulikan tatapan elang dari mereka semua, Sara menarik kursi lalu menundukkan dirinya sembari mengambil lauk-pauk ke piringnya. Saat sendok makannya sudah akan memasuki mulutnya, sebuah pertanyaan dilayangkan kepadanya. Membuat Sara jadi mengurungkan niat untuk melahap makanannya.
"Ngapain ke sini?" tanya Sinta ketus.
"Makan, ya, kali berak di sini," jawab Sara tanpa melirik sedikit pun ke arah wanita itu.
"Siapa yang nyuruh kamu makan di sini?" Sinta mendengkus kesal mendengar balasan dari Sara yang menurutnya ingin memancing emosinya itu.
Karena terlanjur kesal, Sara mengalihkan pandangannya dan menatap wanita itu dengan tatapan yang tidak biasanya dia tunjukkan. Tak peduli dengan tatapan tajam dari Wisnu, Bumi dan Leon yang mengarah ke dirinya. Sebaliknya, Saras ataupun Laras masih melahap makanannya tanpa memedulikan keadaan sekarang.
"Nggak ada yang nyuruh, kok! Emangnya kenapa kalau aku makan di sini? Salah? Kalau aku mati karena kelaparan, emangnya Nyonya mau tanggung jawab? Nggak, kan?" ujar Sara beruntun pertanyaan yang mampu mengundang emosi Sinta pagi ini meledak seketika.
"Dasar an--" Bentakan Sinta terpotong karena suara tepukan tangan dari Leon terdengar. Kali ini, pandangan semua orang tertuju ke arah laki-laki itu.
"Luar biasa! Sekarang gadis yang ada di hadapan kita udah berubah jadi wonder woman. Nggak disangka, ya, orang yang dulu hobinya cuma bisa berlutut meminta ampun sambil nangis udah berubah seratus derajat! Wow, keren!" Leon masih bertepuk tangan mengagumi keberanian Sara sekarang yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari gadis itu.
"Sorotan tajam yang bagus! Emangnya gue takut?" Leon menggebrak meja sembari menatap tajam sang gadis. Membuat semua orang di ruangan itu terkejut atas gebrakan keras dari Leon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home [End]✓
Teen FictionStory 1 Di maki, di hina, dan di kucilkan oleh keluarganya sendiri, itu sudah biasa bagi gadis bernama lengkap Sara Talia Sincray. Hari-harinya selalu menahan tangisan. Tersenyum palsu di setiap keadaan memang sudah ciri khasnya. Pukulan demi...