Ketika Sara kembali ke kamar, dia mengambil kamera yang masih tergeletak di atas nakas. Setelah itu, dia meletakkannya di lantai, dan berlalu mengambil kotak hitam di dalam laci. Beberapa peralatan untuk memperbaiki kamera itu ditaruhnya juga di lantai. Sebenarnya, dia tidak bisa dalam hal memperbaiki, tetapi zaman sekarang sudah canggih. Tahap demi tahap dia mengikuti cara di youtube untuk memulai perbaikan.
"Ish, susah banget." Sesekali dirinya menggerutu, di mana dia sudah bersusah payah mencoba membongkar isi kamera itu dan mengulangnya dari awal. Perlahan, tangannya mulai bekerja, sedangkan kedua matanya menatap layar ponsel dengan teliti. Beberapa jam sudah berlalu hingga waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Pada akhirnya, Sara sudah selesai melakukan kegiatannya yang begitu menguras energi itu.
"Akhirnya kamera ini udah normal walaupun lecet. Tapi, nggak apa-apa, sih, yang penting di dalam kamera ini masih ada foto berharga," monolognya, lalu meletakkan kamera ke tempat semula dan merebahkan diri karena kantuk yang menyerang. Pada akhirnya dia terlelap tidur, dibantu dengan cahaya lampu yang remang.
Jarum jam bergerak terus-menerus, sampai pada waktunya matahari menggantikan pekerjaan bulan. Seperti biasa, pagi-pagi keluarga Sincray tengah berkumpul di ruang makan tanpa bersuara sedikit pun. Hanya suara dentingan antara sendok dan piringlah yang terdengar. Sehingga Saras membuka suara, memecah keheningan.
"Ma, Pa, aku sama Laras berangkat dulu," pamitnya ketika kegiatan makannya telah selesai, begitu pun juga dengan kembarannya.
"Iya, hati-hati." Seperti biasa, Sinta mengecup pipi kedua anak perempuannya secara bergantian.
"Aku juga mau berangkat," seru Leon juga, dia mengangkat tasnya dan menaruhnya ke bahu.
"Aku juga." Sengaja, Bumi agak terlambat sedikit pergi ke sekolah, dia ingin ikut temannya. Entahlah apa alasannya.
"Kalian juga hati-hati," saran sang ibu tak pernah lupa mengingatkan kata 'hati-hati' sebelum keberangkatan anak-anaknya. Di lain sisi, Sara juga ingin diperlakukan hal seperti Sinta memperlakukan kasih sayang terhadap yang lain. Namun, itu semua hanya mimpi. Jangankan dicium, disentuh Sara sedikit pun Sinta tidak sudi.
"Bi, aku berangkat dulu," pamitnya di saat menjumpai pembantu rumahnya sedang mencuci piring kotor di wastafel. Bi Inah tersenyum simpul, lalu mencuci tangannya. Setelah itu, dia mengeringkannya dengan kain lap yang bersih.
"Hati-hati, Non," ujar beliau sembari mengelus rambut Sara layaknya anak kandung sendiri.
"Iya. Bibi juga, jaga kesehatan." Memang, beberapa akhir ini dari penglihatan Sara sendiri, Bi Inah wajahnya sangat pucat dibandingkan dulu. Namun, katanya dia hanya kecapekan dan Sara mempercayai itu.
"Pasti, Non." Bi Inah mengepalkan tangannya seperti Bung Karno yang menyatakan kemerdekaan dan disambut Sara dengan cengegesannya.
Tak ingin buang-buang waktu lagi, gadis itu berlari cepat menyusuri jalanan. Dia rasa lari pagi itu menyehatkan baginya, jadi ambil sisi positifnya saja.
***
"Sara!" Sesampainya di sekolah, suara yang sangat familiar memanggil namanya begitu nyaring. Refleks saja Sara membalikkan badan.
"Uwis?" Untuk memastikan apa tebakannya benar atau tidak, sengaja matanya disipitkan. Semakin dekat orang itu berlari ke arahnya, ternyata tebakannya benar. Gadis yang bercucuran keringat di pelipisnya tersebut datang dengan napas yang ngos-ngosan. Sebentar dia mengatur napas, lalu berkata sembari menunjuk-nunjuk ke arah belakang sekolah, "Deon, Sar!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home [End]✓
Novela JuvenilStory 1 Di maki, di hina, dan di kucilkan oleh keluarganya sendiri, itu sudah biasa bagi gadis bernama lengkap Sara Talia Sincray. Hari-harinya selalu menahan tangisan. Tersenyum palsu di setiap keadaan memang sudah ciri khasnya. Pukulan demi...