Beberapa tahun kemudian....
Pukul 20.05 WIB.
Suara tawa seseorang menggema di seluruh penjuru ruangan. Di sana terdapat empat orang yang tengah berkumpul di ruang keluarga di mana aktivitas kecil yang rutin dilakukan oleh mereka. Ada Deon, Sara, Aran dan Aron di sana.
Deon yang tengah menyeruput kopi harus terhenti. Sara yang ingin menyalakan televisi tertunda, Aran yang ingin mengambil kue basah di dalam toples pun tidak jadi. Sebab Aron cekikikan dari tadi sembari memainkan ponselnya. Bukan masalah jika dia tertawa, tetapi ini dia tertawa begitu nyaringnya sampai-sampai tangannya memukul-mukul meja layaknya gendang. Tiga pasang mata mengarah ke Aron yang masih saja tertawa sendiri.
"Pa, kok, HP Aron diambil?" protes Aron saat ponselnya diambil paksa.
"Untuk sementara waktu, HP kamu papa sita." Deon melempar turunkan ponsel anaknya seperti bola.
"Lho, kok, disita? Nggak seru kalau sehari nggak megang HP!"
"Kan, ada Aran," jawab Deon penuh kemenangan. Jawaban dari sang ayah lantas saja membuat Aron mendengkus kesal.
"Iya, tahu, Pa. Tapi, kan, Papa tahu sendiri Aran itu gimana? Udah dingin, jutek, ngeselin lagi!" Nada bicaranya mulai meninggi sembari menatap kembarannya yang masih setia memasang wajah jutek. Seakan tidak peduli atas perkataannya barusan.
"Aron, nggak boleh ngomong kasar begitu sama orang tua," seru Sara memperingati akan tingkah anak satunya ini yang susah sekali untuk diatur.
"Denger apa kata Mama kamu? Ini hukuman buat kamu, karena nggak bisa lepas sama ini benda." Deon mengangkat ponsel milik salah satu anaknya itu tinggi-tinggi.
"Tapi, susah Pa, Ma." Sekarang intonasi suara Aron mulai pasrah. "gini aja pakai dihukum segala! Iya Aron tahu, Aron itu selalu salah di mata Papa," imbuhnya dengan tatapan sendu. Dia kemudian berdiri, lalu memilih beranjak pergi dengan perasaan kesal.
"Aron!" panggil Sara, tetapi tidak dihiraukannya. "Sayang, kamu jangan memberinya hukuman melulu. Kasian, kan, dia."
"Biarin dia digituin dulu. Nanti kalau sifat kenakalan, tingkah manjanya, sama sifat pemalasnya itu telah berubah, aku nggak akan begini lagi. Aku mau anakku jadi anak yang memiliki kepribadian yang baik," tegas Deon serius. Aran hanya diam menyimak, lalu memilih pergi ke kamarnya.
"Tujuanmu itu memang benar buat merubah sifatnya, tapi, ya, jangan terlalu keseringan memberinya hukuman." Setelah berkata demikian, Sara langsung berangsur pergi menuju ke kamar Aron. Sebagai seorang ibu dia tentu tahu bagaimana kondisi perasaan anaknya sekarang.
"Kamu akan mengerti, Sayang," gumam Deon yang tidak dapat didengar oleh istrinya.
Sesampainya didepan pintu sang anak, Sara mengetuk pintu itu beberapa kali. "Sayang, buka pintunya, Nak. "
"Aron, mama mau bicara sama kam--"
'Ceklek!
Belum sempat Sara menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar terbuka setengah di mana Aron menatap ibunya datar. Dia kemudian masuk kembali ke kamar dengan diekori sang ibu di belakangnya. Aron meraih gitarny, lalu duduk di atas kasur. Ketika dirinya mau memainkan gitarnya, Sara angkat suara memulai percakapan.
"Papa kamu, ya? Papa kamu itu cuma kebawa emosi saja, Nak." Dengan tulus, Sara mengelus rambut sang anak lembut penuh kasih sayang. Aron menepis tangan ibunya pelan, lalu dia memainkan gitarnya kembali.
"Aron, coba tatap mama." Sekilas anak lelaki itu melirik ibunya, lalu keningnya mengernyit. Kemudian fokus lagi memetikkan gitar yang dipegangnya.
"Kamu marah sama mama?" tanya Sara yang dijawab gelengan kecil dari Aron tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. "terus kenapa mama didiemin gini?" imbuhnya.
Aron menghentikan petikkan gitarnya, lalu meletakkan kembali ke tempat semula. Dia menatap ibunya begitu dalam. "Aron kecewa sama Papa, Ma. Sampai umur Aron yang ke enam belas tahun ini, Papa selalu saja begitu! Aron tahu, Ma kalau Aron itu beda sikap sama Aran. Tapi, ini memang sudah sifatnya masing-masing. Apa Aron harus samain sifat kayak Aran? Aron itu paling nggak suka dibeda-bedain, apalagi sama kembaran sendiri. Aron capek, Ma!" Matanya berkaca-kaca menahan rasa kekecewaan yang menyelubungi hatinya. Segera Sara memeluk anaknya, dia meletakkan dagunya di bahu kanan sang anak.
"Iya, mama mengerti perasaan kamu, tapi Papa ngelakuin ini untuk kebaikan kamu sayang. Jadi." Sara melepaskan pelukkan-nya, lalu dia menangkup kedua pipi anaknya itu agar bertatap pandang. "jadi, mama minta sama kamu untuk merubah sifatmu, hilangkan sikap kenakalanmu itu. Maksud mama di sini bukan menuruti sifat Aran, tentu tidak. Apa kamu mau berubah?" lanjutnya.
Aron menundukkan kepalanya. Setelahnya, dia membuang napas berat, lalu kembali menatap sang ibu. "Iya, Aron akan berubah." Sara tersenyum bangga, untuk kedua kalinya dia memeluk sang anak. Sesekali dirinya mencium puncak rambut Aron. Bagus!
'Iya mah, berubah jadi nakal lagi.' batin Aron sembari membalas pelukan ibunya. Tanpa diketahui Sara, anaknya itu menerbitkan senyum sungging-nya, disertai dengan salah satu alisnya terangkat sebelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home [End]✓
Novela JuvenilStory 1 Di maki, di hina, dan di kucilkan oleh keluarganya sendiri, itu sudah biasa bagi gadis bernama lengkap Sara Talia Sincray. Hari-harinya selalu menahan tangisan. Tersenyum palsu di setiap keadaan memang sudah ciri khasnya. Pukulan demi...