Story 1
Di maki, di hina, dan di kucilkan oleh keluarganya sendiri, itu sudah biasa bagi gadis bernama lengkap Sara Talia Sincray. Hari-harinya selalu menahan tangisan. Tersenyum palsu di setiap keadaan memang sudah ciri khasnya.
Pukulan demi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Akibat suara Sinta yang begitu nyaring, membuat Bumi, Wisnu, Saras dan Laras berdatangan ke sumber suara. Bukannya terkejut, mereka hanya menampilkan ekspresi tak peduli.
"Saya sudah ada di sini! Jika bukan karena Aldo, sudah dipastikan kamu menjadi gelandangan!"
Sara tidak kuat menahan rasa sakit di hatinya. Ucapan-ucapan Sinta layaknya beribu-ribu jarum menusuk jantungnya. Napasnya tersengal-sengal sembari memandang ke arah Bumi maupun Leon bergantian, berharap kedua kakaknya itu dapat menolongnya. Tak ada rasa kasihan tebersit di dalam hati mereka. Mereka bagaikan batu yang tidak bisa bergerak, dan hanya memandang Sara seperti sebuah tontonan saja.
'Brak!
Secepat kilat sang kepala keluarga menendang kursi di ruangan itu dan sedikit mengenai bahu Sara. Membuat orang-orang yang ada di ruangan itu terkejut tiba-tiba.
"Tidak ada gunanya memarahi dia. Kalian tahu saja, kan, dia ini keturunan dari ibunya yang gila itu! Bahkan, semua perkataan kalian tidak mempan untuknya," ucapan Wisnu ditolak lantang oleh pihak yang bersangkutan.
"Kalian boleh menghinaku, tapi jangan hina orang tuaku."
Emosi Wisnu memuncak hebat dan kepalan tangannya dia entakkan di meja makan itu, membuat wajah Sara semakin memucat. "Bagus, bagus sekali untuk ...." Sebelum melanjutkan perkataannya, lelaki paruh baya tersebut mengambil sebuah rotan yang terletak di balik pintu.
'Apa lagi ini, Ya Tuhan?' Sara berharap pikiran buruknya sekarang hanya kecemasannya belaka.
"Minggir!" titah Wisnu ke istrinya, sehingga wanita itu segera menggeserkan tubuh untuk memberi celah. Rotan yang sudah berada di tangan Wisnu melayang ke atas, dia menggunakan benda panjang yang dipegangnya untuk memukuli sang anak bertubi-tubi.
"Pa, ampun, Pa ...." Sara sudah menangis terisak. Ironinya, permohonan dari Sara tidak juga menghentikan Wisnu dalam melakukan hal kejinya.
'Bugh!
"Hentikan ... Pa, tolong hentikan!" Luncuran cairan bening mengalir deras di kedua pipinya tiada henti.
"Papa, papa! Saya bukan papamu!" bentak Wisnu yang tidak sudi dipanggil Sara dengan sebutan papa.
'Bugh!
Sara merasa tulang-tulangnya serasa remuk. Kedua pergelangan tangannya sudah memerah total, denyutan rasa pedih membekas di sisi-sisi pelipisnya.
"Rasa sakit kamu ini, tidak sebanding dengan rasa sakit kami kehilangan orang yang kami sayang. Dan kamu tahu siapa pelakunya? Yaitu ibumu yang gila itu, memang pantas kamu mendapatkan ini!" jelas Wisnu penuh tekanan. Dirinya enggan untuk tidak berhenti memukuli putrinya.