Tanpa banyak pikir, Wisnu sekarang berada di depan anaknya dengan kaca mata yang melekat di batang hidungnya. Wajah yang sudah sepenuhnya memucat, ditambah lagi detak jantung tidak karuan mengakibatkan kedua kaki Sara melemas total. Sorotan tatapan pembunuh dilayangkan Wisnu untuknya, hal itu membuat siapa saja jadi merinding. Membuat suasana mendadak hening.
"Ke ruangan saya sekarang!" perintah Wisnu, sekilas dia menatap Sara dari ujung kaki hingga ke kepala, lalu beranjak pergi mendahului.
Seluruh tatapan dari semua orang berlabuh ke Sara yang masih diam di tempat. Namun, sebelum mereka menghina dengan kata-kata kasar, Sara melangkahkan kakinya mengikuti sang kepala keluarga.
Sara mengetuk pintu ruang kerja pria itu. Membuat suara Wisnu langsung terdengar yang akhirnya Sara memutuskan untuk masuk ke sana."Duduk!" titah Wisnu.
Atas perintah itu, mau tidak mau Sara berani menduduki kursi yang disediakan sembari memandang pria paruh baya itu dengan tatapan nanar. Tanpa ada pembicaraan di antara mereka, Sara memutuskan untuk mengutarakan pertanyaan yang ada di otaknya.
"Ada apa Om panggil saya?" tanya Sara langsung ke inti. Rasanya, dia ingin berada di kolong jembatan dibanding harus berada seruangan dengan orang yang tidak disukainya.
Tanpa membalas pertanyaan Sara, Wisnu menopang dagunya. Salah satu lengannya diletakkan di atas meja sembari menatap lekat Sara dan tersenyum miring. Sedangkan satu tangannya lagi yang ada di bawah, menggenggam sebuah gumpalan kertas.
"Apa Om tidak dengar?" tanya Sara kedua kalinya. Kali ini nada bicaranya sedikit meninggi dibandingkan tadi.
Langsung saja sebuah gumpalan kertas yang sedari tadi Wisnu pegang itu melayang dan mengenai tepat di kening Sara. Membuat gadis itu meneguk susah payah salivanya.
Wisnu bangkit dari kursinya, lalu mendekat ke hadapan Sara yang masih duduk. "Hm sudah berani melawan, ya?" ujarnya yang masih tersenyum devil.Merasa tidak ada gunanya, Sara mendorong kursi yang barusan dia duduki, lalu berlari ke arah pintu. Namun, di saat dirinya ingin memegang knop pintu, lengannya dicekat cepat oleh Wisnu. Sekuat tenaga Sara mencoba melepasnya, tetapi naas kekuatan pria paruh baya itu lebih besar dibandingkan dengannya.
'Aku hanya bisa pasrah saat ini. Apa pun yang terjadi, aku akan terima itu. Walaupun mati hari ini, aku ikhlas. Cukup sudah bagiku untuk hari ini, aku kuat dikasari oleh keluargaku sendiri, karena aku sudah terbiasa diperlakukan seperti budak iblis. Aku jadi bertahan hidup seperti ini hanya mengharapkan cinta konyolku. Tapi, orang yang kucintai pun sama sekali tidak ada rasa denganku, bahkan dia sekarang sudah membenciku. Cukup sudah penderitaanku untuk kali ini, biarlah aku mati dengan tenang walaupun tidak ada kebahagiaan di akhir hayatku. Tumpukan air mata tertahan di kedua kelopak mataku, dan ini benar-benar menguji diriku. Tidak! Aku tidak ingin menangis! Untuk apa coba menangis? Itu tidak ada gunanya! Kamu harus senyum Sara!' Sara berbicara dalam hati.
'Bugh!
Pukulan demi pukulan didapatkannya bertubi-tubi hingga mengenai kepala dan perut Sara. Gadis itu hanya meringis kesakitan, lalu terduduk sembari memegang perutnya. Sampai akhirnya, Sara terbatuk-batuk dengan mengeluarkan cairan kental berwarna merah pekat itu. Dia hanya menatap darah yang ada di tangannya, lalu menatap Wisnu yang juga menatapnya seperti kurang puas. Cairan bening langsung saja meluncur deras di kedua pipinya. Rasanya ini sangat menyakitkan. Apakah dia begitu menjijikan? Sampai-sampai dia diperlakukan tidak adil begini?
"Akh ..." Nada bicaranya melemah dengan pandangan memburam akibat air matanya. Mengapa dia harus melewatinya sendiri? Pertanyaan itu selalu melintas di pikiran Sara.
Namun, bukannya iba Wisnu malah semakin menjadi memukul sang gadis. Kemurkaannya sudah mencapai batas maksimal, sedangkan Sara hanya bisa merintih. Apa lagi orang yang melakukan itu ialah seseorang yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya sendiri.
"Bagaimana? Masih kurang?!" bentak Wisnu menggema di dalam ruangan bernuansa putih itu, lalu kembali memukul Sara tanpa jeda.
'Bagaimana pun aku tetap menyayangi dia,' batin Sara. Tenaganya benar-benar terkuras habis.
"Nih, lagi!" Wisnu semakin brutal memukul gadis itu. Tak peduli akan rintihan ataupun luka yang timbul dari sang gadis.
'Papa aku rindu Papa. Kenapa Papa lebih dulu ninggalin aku? Lihatlah sekarang, Pa aku nggak berguna, cuma anak sialan. Kenapa, Pa? Padahal aku cuma butuh kasih sayang dari Mama sama Papa. Cuma itu yang aku inginkan. Hanya itu Papa, tolong aku .'
Beberapa memori percakapan Sara dengan tantenya Luna terbayang-bayang di pikirannya saat ini. Dia mengingat kembali ucapan sang tante kepada dirinya waktu masih kecil dulu.
"Sara, tante cuma mau bilang sama kamu kalau papa kamu sangat sayang sama kamu. Katanya kamu itu anak cantik, baik, penyabar, dan juga orangnya kuat, Sayang. Tante yakin, papa kamu pasti menyayangi kamu juga. Percayalah, kalau papa kamu selalu mempedulikan mu, Sayang."
"Enggak! Papa itu benci sama Sara, Tan. Sara salah apa? Sa-sara iri sama teman-teman Sara, mereka semua punya orang tua yang sangat sayang ke mereka."
"Sayang, papa kamu akan mengerti pada masanya. Jadi, yang terpenting kamu berdoa yang terbaik buat mereka, ya."
"Sa-sara mau peluk Papa sama Mama Tante. Sara takut sama mereka, jadi Tante jangan pergi ."
"Sayang, dengerin apa kata Tante. Suatu saat nanti kamu akan merasakan kasih sayang itu. Yang terpenting sekarang, kamu jangan menyerah, dan juga Tante harus pergi. Kamu tenang saja pasti Tante kembali, kok."
"Nggak mau!"
'Nggak! Perkataan Tante itu nggak benar! Semua ucapannya bohong!'
Pandangan Sara tiba-tiba saja menjadi kabur dan penglihatannya mulai menghitam. Samar-samar, dia masih melihat wajah Wisnu, hingga lambat laun semua yang dilihatnya menghilang seketika.
Tubuh Sara ambruk tidak sadarkan diri, mulutnya juga belum berhenti mengeluarkan cairan merah kental itu."Gawat!" umpat Wisnu sembari mengacak rambutnya frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home [End]✓
TeenfikceStory 1 Di maki, di hina, dan di kucilkan oleh keluarganya sendiri, itu sudah biasa bagi gadis bernama lengkap Sara Talia Sincray. Hari-harinya selalu menahan tangisan. Tersenyum palsu di setiap keadaan memang sudah ciri khasnya. Pukulan demi...