🌸Chapter 17🌸

9.4K 490 1
                                    

  Di lain tempat, Arga dan Angel tengah berada di klinik Putri Asih guna memeriksa kondisi Angel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Di lain tempat, Arga dan Angel tengah berada di klinik Putri Asih guna memeriksa kondisi Angel.

"Gimana?" Setelah Angel keluar dari ruang periksa, Arga lantas bertanya.

  "Katanya, sih, nggak apa-apa. Cuma lebam sedikit aja, kok," jawab Angel setelah mengidentifikasi keadaannya.

  "Syukurlah kalau begitu. Ya, udah, yuk, kita pulang." Arga segera membetulkan posisinya dan beranjak pergi dengan diikuti Angel dari belakang.

***

  "Gue nggak nyangka kali ini, gue salah dalam menilai orang. Gue kecewa sama lo, Sar. Gue kecewa!" umpat gue sedari tadi, tidak menyangka saja selama ini gue tertipu sama tampang polosnya.

  Ketika sampai di rumah, gue segera pergi ke kamar dan merutuki kebodohan selama ini. Namun, mendadak suara pintu kamar diketuk.

  "Arga, kamu sudah mandi?" Seperti biasa, nyokap selalu rutin menanyakan hal itu. Baik pagi, siang, ataupun malam. Contohnya seperti sekarang.

  "Sebentar, Ma!" balas gue setengah berteriak.

  "Cepetan mandi! Habis itu makan. Mama sama Papa nungguin!"

  "Iya, Ma!" Gue langsung pergi ke kamar mandi guna membersihkan diri. Lalu, gue pergi ke ruang makan dengan memakai celana boxer saja.

  Di situ sudah ada nyokap yang asyik mengupas buah apel, sedangkan bokap menikmati santapan nasi goreng miliknya.

  "Malam, Ma!" sapa gue sembari mengecup kening nyokap. Satu-satunya wanita kesayangan gue di dunia ini, amat teramat sayang malahan. Terserah gue mau alay sekarang atau enggak.

  "Malam juga, Sayang," balas nyokap seraya tersenyum lembut.

  "Papa nggak diucapin?" Gue menoleh ke belakang, di mana bokap gue memasang wajah penuh harap. Pura-pura tidak tahu saja, ah. Bukannya durhaka, tetapi ada sesuatu hal yang membuat gue bertingkah seperti ini.

  "Eh, ada Papa. Aku kira Papa lagi kerja." Sahutan gue mendapat tatapan sinis dari nyokap. Tanpa memedulikannya, gue menarik kursi yang ada di samping bokap sembari menikmati nasi goreng buatan nyokap gue sendiri. Bukannya di rumah gue tidak ada pembantu, masalahnya dia lagi pulang kampung. Katanya, sih, bapaknya sakit.

  "Arga, kamu itu nggak boleh begitu sama orang tua!" bentak nyokap sembari geleng-geleng kepala.

  Gue terkekeh. "Pa, maafin aku. Tadi cuma bercanda, kok, Pa," kata gue disambut kekehan dari bokap.

  "Kamu itu mirip banget kelakuannya sama papa waktu seusia denganmu dulu."

  Iya, mirip banget. Sampai-sampai, tuh, muka sama persis kayak gue. Bukannya mengeriput makin tua, ini malah makin ganteng. Eits tapi masih gantengan gue, ingat itu. Pantes saja di luar sana tebar pesona sama wanita lain. Gue tahu? Jelas!

  Pagi itu nyokap nyuruh gue bawa bekal siang buat bokap. Untungnya hari itu gue libur sekolah karena ada acara begitulah. Karena gue anak yang berbakti sama orang tua, ya, sudah gue menurut. Lumayan nambah-nambah pahala.

  Nah, sesampainya di kantor, tak perlu diragukan lagi, semua tatapan cewek-cewek di sini pada memandangi gue penuh kekaguman. Maklum, gue, 'kan, menawan dan itu hal lumrah. Berarti mereka memiliki standar yang bagus.

  Tanpa memperhatikan cewek-cewek bertubuh seksi, gue masuk ke ruangan bokap tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dan asal kalian tahu, kedua bola mata gue menangkap seorang wanita yang berpakaian orang kantor, menurut gue itu ialah sekretaris bokap. Setelah gue lihat muka, tuh, cewek, ternyata benar dugaan gue. Nama sekretaris itu Sauya kalau nggak salah. Lebih terkejutnya lagi, si Sauya yang sudah resmi menjabat menjadi cewek ganjen itu sedang bermesraan sama bokap. Buktinya wanita ganjen itu mengelus pipi bokap gue dengan senyum yang gimana gitu!

  Lah, bukannya menjauh, nih, bokap gue mengecup kepala, tuh, ganjen! Dan lebih parahnya lagi bokap sama ganjen saling berpelukan sangat erat. Jujur, emosi gue sudah berada di ujung tanduk. Gue nggak bisa membiarkan ini, apa nasib nyokap gue coba? Lakinya yang di luar begini kelakuannya beda sama yang di dalam. Karena terlanjur geli dan marah, gue berniat akan memperogoki bokap. Namun, rencana gue nggak berhasil karena salah satu karyawan pria bokap menarik lengan gue dan otomatis gue terseret ke luar. Dasar, ya, nggak ada sopan santunnya sama anak bosnya.

  "Sebaiknya Aden jangan menciduk dulu," intruksinya kayak bos. Ucapannya itu membuat gue hanya mengangkat salah satu alis.

  Karena heran, terus gue bertanyalah tentang bokap gue sama sekretarisnya. Ternyata jawabannya itu menusuk ke hati gue, katanya bokap sama si ganjen ini sering bermesraan seperti layaknya sepasang suami dan istri. Otomatis gue nanya sama, nih, orang, kalau boleh dideskripsikan, sih, cakep juga, tetapi lewat dibandingin gue.

  "Jadi, lo udah lama tahu yang beginian? Terus lo kenapa nggak kasih tahu gue?" tanya gue. Btw, karena karyawan ini hampir seumuran dengan gue makanya gue manggil dia pakai lo-gue.

  "Kami semua di suruh rahasiain ini dari tuan, kalau tidak kami akan akan di pecat, Den."

  Gue memijat pelipis sebentar, nggak nyangka saja bokap yang selama ini gue bangga-banggakan itu begini kelakuannya. Sepersekian menit, gue berkompromi sama si karyawan ini.

  "Begini saja, biarkan dulu mereka bermesraan begitu dan lo jangan ngasih tahu sama bokap gue kalau gue datang kemari. Kalau udah waktunya, gue akan kasih tahu sama nyokap. Tapi, lo harus bantu menemukan bukti yang kuat, gimana?" tanya gue sembari mengulurkan tangan. Dia terlihat ragu-ragu, tetapi gue menyakinkan dirinya dan akhirnya dia mau membalas jabatan tangan gue. Setelah itu gue pulang sembari melahap bekal bokap di dalam mobil. Lah, biarin, tuh, aki-aki kelaparan. Kesal gue!

***

  Sekarang kembali lagi di kediaman keluarga Sincray.

  "Aku ada di mana?" lirih Sara, maklum saja dia bertanya seperti orang pelupa karena penglihatannya sekarang belum pulih seutuhnya. Buktinya, pandangannya sekarang yang dia lihat masih samar-samar.

  "Aku belum mati?" Sara mata guna memastikannya.

  "Lo nggak apa-apa, kan?"

  "Laras? Kamu kenapa ada di kamarku? Dan bukannya aku ada di ruangan Om Wisnu?" Sara bertanya sembari memperhatikan ruangan yang sudah tampak jelas bahwa itu kamarnya sendiri.

  "Lo itu hampir mati tau nggak, untung waktu itu gue lewat dari ruangan Papa."

  "Hah?" Sara kebingungan, tercetak jelas dari raut wajahnya. Bagaimana tidak, baru kali ini Laras bersimpati dengan dirinya.

  "Ya, udah lo istirahat. Gue pergi dulu." Setelah meletakkan minyak kayu putih untuk membangunkan Sara tadi, Laras turun dari atas kasur lalu hendak membuka knop pintu. Niatnya terhenti karena Sara menanyakan suatu hal yang sulit untuk dijawab.

 Niatnya terhenti karena Sara menanyakan suatu hal yang sulit untuk dijawab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Broken Home [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang