11. Gambar yang Berbicara

318 47 9
                                    

Rumah ini terasa lebih menyeramkan dengan badai yang datang. Lukisan-lukisan itu seperti memelototiku Dan berbicara kepadaku untuk pergi dari sini.

Setelah mengompres dahi bosku, tidak banyak yang kulakukan selain memastikan bahwa patung-patung itu tidak berjalan Dan menyerangku.

Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke kejadian kemarin. Wanita didepan pria itu siapa ya? Terlihat begitu akrab... Dia sangat cantik bahkan dari kejauhan, agaknya aku sedikit memahami kenapa pria itu menjadi berubah seperti itu.

Aku kembali menggelengkan kepalaku, meyakinkan diriku bahwa apapun yang kulihat kemarin bukankah urusanku, mereka berhak berbuat apapun selagi tidak mengangguku.

***

"Bos..." Ucapku sambil menggoyangkan sedikit tubuh bosku yang masih tertidur diatas kasur. Panasnya sudah jauh menuruni, Dan kulitnya tidak sepucat semalam.

Bosku mengucek matanya sambil sedikit menggeliat, ia agaknya sedikit kaget dengan presensiku dikamarnya.
"Aku...aku... Membuatkan bubur untuk Bos, maaf aku menggunakan bahan-bahan didapurmu..." Ucapku agak terbata.

Bos masih menatapku tajam. Ayolah, setelah semua kebaikanku kepadanya? Kenapa mata itu membuatku ingin menusuknya?!

"Kau...tidak ke kafe?" Tanya bosku setelah sekian lama diam.

Aku mengerjapkan mataku.
"Aku akan pulang dulu, Dan pertama aku akan berpamitan juga berterimakasih sudah mengijinkanku tidur disini..."

Ia masih menatapku tajam.
"Cepatlah pulang sebelum bisnisku hancur Karena Kau telat datang..." Ucapnya acuh Tak acuh.

Pikiranku langsung kacau, dia selalu tahu cara menyinggungku dengan telak.

Aku buru-buru berbalik, namun kudengar sangat samar, pria itu berucap Hal yang tidak biasa, sangat tidak biasa.
"Terimakasih..."

***

Aku keluar dari pintu rumah bosku, mengendap-endap seperti maling yang takut diamuk masa. Bukannya apa-apa, kalau Jennie lihat aku keluar dari rumah pria itu bisa-bisa satu desa Ini tahu juga kalau aku menginap dirumah itu.

'tuuut...' suara klakson Mobil mengagetkanku. Aku langsung diam dengan posisi membungkuk yang memalukan.

"Irene...?" Suara pria! Untung itu bukan suara Jennie! Aku belum mengangkat kepalaku.

Perlahan-lahan aku mulai menegakan kepalaku. Melihat Hanbin yang tengah menyipitkan matanya memastikan bahwa wanita yang tengah membungkuk bodoh itu adalah aku.

Aku pura-pura seperti tidak ada yang terjadi, dengan senyum tidak tahu malu aku menghampiri Hanbin yang didalam Mobil.
"Oh... Hai...! Kau mau berangkat ke kantor?" Tanyaku basa-basi.

Hanbin masih menatapku heran.
"Kenapa Kau keluar dari rumah Mino?"

Aku gelagapan. Bingung mau menjawab apa.
"Ak...ak...akuu... Mino tadi bilang tidak bisa ke kafe, jadi ia menitipkan kunci kafe kepadaku, Kau tahukan bisnis harus tetap berjalan lancar meski Bos tidak hadir..." Ucapku setengah bohong.

Hanbin masih menatapku, memastikan bahwa pernyataanku meyakinkan, kemudian dia mengangguk.

Aku bernapas normal lagi.

"Mau ke kafe? Ayo Naik, akan aku antar..." Ucapnya gembira.

"Aaaahh... Aku harus kerumah dulu mengambil sesuatu, Kau duluan saja..." Tolakku sopan.

"Yasudah, aku antar kerumah bagaimana?" Tawarnya lagi.

Oh tuhan... Aku tidak ingin berada diposisi ini, aku tidak ingin terlalu dekat dengannya...!

Bodohnya aku, aku malah masuk kedalam Mobil Hanbin, sambil diam Dan tidak tahu malu.

Hanbin fokus pada kemudinya. Untungnya jarak rumahku Dan rumah Bos tidak sejauh itu, sehingga perjalanan hanya memakan waktu Lima menit saja.

Aku turun dari Mobil. Hanbin sebenarnya menawarkan bagaimana kalau ia menungguku Dan bersama menuju tempat kerja. Tapi aku menolaknya dengan dalih, aku akan menggunakan mobilku sendiri karena ingin berlatih menyetir.

Kebohongan mengerikan memang, lagipula di kafe tidak ada tempat parkir yang cukup untuk Mobil, Mana mungkin aku memakai mobilku.

Aku menjambak rambutku sendiri kesal. Kemudian menuju kamar Mandi Dan membanting pintunya.

***

Aku sudah sampai didepan pintu kafe, menunggu Chanyeol yang telat seperti kemarin.

Ia dengan santai berjalan, aku bisa melihatnya dari kejauhan.

"Kau datang cepat lagi...?" Ucapnya tidak tahu malu. Aku hanya membalasnya dengan mendelikan mataku tajam.

"Bos kenapa ya? Dua hari tidak masuk kerja?" Chanyeol bergumam kepadaku.

"Dia sakit..." Celetukku sekenanya. Chanyeol menatapku heran.

"Dari Mana Kau tahu?" Ucapnya seperti menginterogasiku.

"Dia tidak bilang padamu?" Aku bertanya balik agak gelagapan.

"Dia bilang padamu?" Ia kembali bertanya.

Aku mengangguk kikuk. Sedang Chanyeol malah menyipitkan matanya kearahku. Dengan seringai menyebalkannya.

"Bos tidak mungkin bilang padaku, apalagi kepadamu..." Ia masih mempertahankan matanya yang menyipit itu sambil berbicara mendekati wajahku.

"Aaaahhh... Baiklah... Sebenarnya Bos tinggal didekat rumah temanku, kemarin badai Kau ingat? Aku diperjalanan pulangku, tidak sengaja aku meneduh dirumah Bos, Dan ya... Dia sakit aku menunggunya karena dia panas sekali..." Ucapku mencoba acuh walau aku takut Chanyeol salah paham.

"Ooouuu, jadi kau bermalam dirumah Bos..." Chanyeol dengan seringai menyebalkan itu lagi!

Aku kalap, ingin menjelaskan apa yang terjadi tapi agaknya pria sialan itu tidak ingin mendengarkanku.
"Tidak!!! Aku tidak berniat bermalam disana, tapi Bos sakit apa boleh buat aku harus merawatnya... Lagipula badai salju Chan! Mana mungkin aku bisa pulang?"

Chanyeol mengengguk-angguk sambil mencibirku.
"Eh, tapi bagaimana rumahnya? Katanya menyeramkan sekali ya?" Tanya Chanyeol penasaran.

"Tidak jauh berbeda dengan ruangannya disini..." Aku mengangkat kedua bahuku. Chanyeol tidak tahu saja aku hampir mati ketakutan disana.

***

Hari melelahkan yang lain. Kurasa sama dengan hari-hari yang lain.

Aku sedang duduk didepan perapian yang baru saja aku nyalakan. Meringkukan kakiku agar lebih hangat.

Aku menatap percikan api yang keluar dari perapian, suara gemertak kayu yang terbakar membuatku lebih tenang.

Aku menatap salah satu fotoku bersama Jennie di ponselku. Kami berdua tersenyum ini kurang lebih delapan tahun yang lalu, saat sebelum aku pindah dari tempat ini.

Pikiranku berkelana, ke saat aku Dan Jennie seperti saudara yang tidak bisa dipisahkan. Kami tidak pernah bertengkar sekalipun Jennie merusak sepatu kaca kesayanganku atau aku yang tidak sengaja menumpahkan jus dikepalanya pada saat hari foto kelulusan.

Bayang-bayang kami bersama tercetak jelas dikepalaku. Tertawa bersama. Akankah ini menjadi pertengkaran pertama kami?

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang