20. Negosiasi

367 49 21
                                    

Aku membuka mata pelan-pelan. Merasakan cahaya masuk Dan menusuk mataku tajam. Aku merasakan kepalaku yang pening luar biasa.

Tapi perlahan aku menyadari bahwa aku bukan tidur ditempatku Sebelumnya. Ini kamarku, aku mengedarkan pandanganku dengan menyipit.

Kepalaku masih pening, namun kupaksakan untuk bergerak untuk berdiri Dan minum air karena tenggorokanku yang kering luar biasa.

Aku menatap punggung mungil dimeja dapurku. Aku menggelengkan kepalaku untuk Sadar kalau itu hanya halusinasiku saja. Begitu juga dengan semalam.

Aku membelalak ketika punggung itu berubah menjadi wajah cantik Kim Jennie ketika berbalik. Aku mengucek-ucek mataku sekali lagi. Ini bukan mimpi!

"Jennie..." Ucapku dengan suara parau Dan terdengar ragu-ragu.

Wanita itu melihat kehadiranku. Ia menyimpan kembali celemek yang dipakainya ke tempat semula.

"Minum dulu..." Ia memberikan aku segelas air putih.

Aku mengambilnya tanpa basa-basi, menegaknya dengan buru-buru.
"Aku...aku...minta maaf..."

Jennie menatap lurus kearahku.
"Kau! Kenapa tidak mengunci pintumu huh?! Bagaimana kalau orang lain masuk Dan memperkosamu huh?!" Jennie malah memukul lenganku habis-habisan.

Aku tidak peduli, aku memeluk Kim Jennie. Aku bahkan sudah siap kalau nyatanya ini hanya ilusi.

***

Aku menyuapkan sup tauge buatan Jennie. Jennie menatapku sendu.
"Kau...tidak marah?" Tanyaku ragu-ragu.

Jennie masih dengan sorot matanya yang sendu.
"Ceritakan dengan ibumu..." Perintahnya.

Aku menghentikan acara makanku.
"Aku...aku...membunuhnya... Aku yang memberikan obat tidur padanya, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku tidak ingin kehilangannya, aku tidak ingin kehilangannya jadi aku selalu memaksanya untuk tidur... Pada akhirnya aku membuatnya tidur selamanya..." Ucapku bergetar, air mataku keluar lagi, aku mengingat kejadian itu lagi, saat ibu menyuruhku membelikan obat tidur untuk terakhir kalinya, saat kulihat bahwa ibu setidaknya meminum 15 pil obat tidur itu.

Jennie merengkuhku, ia memelukku erat, merasakan kehilanganku, merasakan rasa sakitku.
"Tidak... Kau tidak membunuhnya... Ibumu yang memilihnya..." Jennie mengusap kepalaku yang tengah menangis didadanya.

"Aku tidak mau kehilanganmu juga, aku tidak mau membunuhmu juga..." Aku menatap kearah Jennie. Hatiku sangat sakit.

Jennie menggeleng, ikut merembeskan air matanya.
"Tidak... Kau tidak akan membunuhku..."

"Ak...aku takut..."

***

Aku menyandarkan kepalaku pada pundak Jennie, memeluknya karena tidak ingin sedetiklun kehilangannya.

Jennie mengusap kepalaku.
"Kau tahu, aku tidak segila itu untuk bunuh diri sedangkan ada ibu Dan calon anakku yang harus kurawat..."

"Aku takut apa yang menimpa pada Ibuku menimpamu juga..." Aku kembali mengeratkan pelukanku.

"Tidak... Tidak akan pernah... Aku janji..." Jawab Jennie meyakinkanku.

"Terimakasih telah hidup..." Ucapku bergetar.

"Tidak ada rahasia lagi okay..." Jennie semakin merengkuhku. Aku mengangguk setuju.

"Oh iya... Hanbin menelponku..." Ucapku ragu-ragu.

Aku menegakkan tubuhku, menatap lurus kearah Jennie.
"Dia bilang... Dia bilang...ingin merawat anaknya juga..."

Kilat mata Jennie kembali menyendu.
"Hhhh... Kau tahu aku juga berpikir kalau anakku juga butuh ayahnya..."

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang