Side Story : Mino Pov. Pt.2

335 51 31
                                    

Irene...

Sudah cukup lama aku tidak melihatnya, sudah lama pula ia tidak datang atau sekedar menelponku.

Ya... Memang bodoh karena aku masih berharap padanya, aku tahu Ia tidak sedikitpun menginginkanku. Nyatanya apa yang ia lakukan murni karena kesalahan.

Pilihan menutup kafe sebenarnya sudah ada jauh sebelum Irene menjadi karyawanku. Namun hal itu berubah saat dia datang, Dan kini dia pergi untuk apa mempertahankan ya lagi?

Memang gila hati manusia, sekalipun dibuang tapi tetap bisa mengenang. Aku gila. Tapi aku hanya gila untuknya.

Irene terlalu berharga untukku, jelas aku tidak bisa hidup tanpanya. Semua yang aku lakukan selama ini hanya semata-mata untuk mengelabui orang-orang saja.

***

Anggaplah aku pecundang karena jelas-jelas aku kini melihatnya sedang berada didepan rumahku.

Aku dengan jelas bisa melihat wajah cantiknya meski dalam kejauhan. Tapi ya! Yang aku lakukan malah bersembunyi di Salah satu pohon besar milik tetangga.

Aku mecoba menahan hasratku untuk memeluknya Dan mencium mesra bibirnya, karena aku tahu mungkin wanita itu tidak ingin melihatku lagi.

Aku coba menahan untuk tidak pergi kerumah Jennie seperti yang wanita itu lakukan. Tapi tidak bisa. Melihatnya dari kejauhan tidak cukup untukku.

Ya... Hatiku sangat berdebar Tak karuan, bagaimana aku harus bersikap? Dan bagaimana tanggapannya terhadapku? Hal itu terus berkeliaran diotakku.

Nyatanya tidak semudah itu, yang kulakukan hanya menghindarinya, menunduk Dan hanya menatap lantai saat aku akan mengantarkan hadiahku.

Tidak! Mungkin saja ini terakhir Kali aku melihat Irene... Aku meliriknya, menatapnya hanya sekejap sebelum buru-buru menunduk lagi Dan pergi karena takut ketahuan.

Sialan! Apa yang terjadi di otak ini? Mana Mino yang biasa serba percaya diri dan egois? Hal itu seakan luruh ketika melihatnya.

***

Ya! Kutekankan sekali lagi aku memang gila. Plus pecundang. Apa yang aku lakukan kini nyatanya semakin membuatku Tak karuan.

Aku pergi dengan terburu-buru, namun seseorang melempari kepalaku dengan secarik kertas.

Aku melihat kebelakang. Kim Hanbin. Sialan? Apa yang dia lakukan?!

"Dia juga sedih, jadi jangan khawatir..." Ujarnya sedikit lantang. Aku masih menatapnya tidak mengerti.

Ya, kini aku mengerti apa yang dimaksud pria itu. Disana tertera alamat. Alamat jelas beserta nama sebuah tempat.

'396, Gangnam-daero, Gangnam-gu, Seoul, Blue Rose Bakery'

Aku tersenyum. Jelas yang dimaksud Hanbin adalah alamat wanita itu. Tapi sekarang, apakah aku cukup berani untuk datang kesana?

***

Setelah pertemuanku dengan wanita pujaanku beberapa hari lalu membuatku semakin ingin berada didekatnya.

Aku diam di toko pakaian sebelah toko milik Irene. Terus maju mundur antara pulang lagi atau tetap kesana.

Aku akhirnya memutuskan untuk masuk, langsung mengambil beberapa roti dengan gugup, aku sedikit gemetar saat mengambil roti-roti itu.

Pastinya sambil sedikit-sedikit melirik wanita itu. Bagaimana dia yang tidak sedikitpun terpengaruh oleh perpisahan kami, bagaimana dia yang sedikitpun tidak merasa sedih?

Berjalan kearah kasir yang ada Irene disana terasa seperti berjalan sejauh satu kilo meter. Kakiku sedikit gemetar.

Kue itu... Kue Kenanganku setidaknya. Aku menahan diriku dari godaan untuk membelinya hanya karena aku ingin mencicipinya.

Pecundang. Lagi Dan lagi. Yang bisa aku lakukan hanya langsung pergi dari toko itu, berlari sekencang mungkin untuk meredam detak jantungku karena tadi Irene menatapku. Masih dengan wajah cantiknya, masih dengan senyum manisnya.

***

Pencundang Dan Mino sudah jadi satu kesatuan yang utuh. Aku kini tengah menatapnya dari seberang kafe toko milik Irene.

Aku hampir bisa dikatakan penjahat yang Suka menguntit karena setiap hari aku kesini hanya untuk melihat wajah Irene dari jauh.

Hingga sialan! Siapa pria itu? Pria jangkung yang sipit itu memeluk Irene didepanku?! Mereka terlihat begitu akrab karena Irene yang terus menerus tertawa.

Sialan! Sialan! Sialan!

***

Aku menghabiskan tiga botol soju, cukup untuk membuatku mabuk.

Ingatan tentang Irene bersama pria lain membuatku tambah gila. Irene terlalu memancarkan pesonanya. Aku marah.

Tapi ya! Mino memang bodoh, keinginan untuk menghajar pria tadi siang jadi pupus karena melihat Irene yang terlihat bahagia.

***

Aku tahu-tahu sudah disini. Didepan rumah Irene. Sudah tidak peduli walau aku aku akan dipidana sebagai penguntit yang menerobos rumahnya.

Aku terus menggedor pintunya Tanpa takut dihajar karena mengganggu ketenangan malamnya.

Hari ini aku sudah tidak dapat menahannya. Irene sudah menjadi pusat dari segalanya. Irene sudah terlanjur merenggut jiwaku.

Wanita itu membelalakan matanya saat melihat aku di depannya. Aku tersenyum dalam hati. Ireneku...

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang