18. Antara Kenangan dan Orang yang Ingin Kulupakan

343 50 12
                                    

Aku melangkah menuju ruangan atas Bos Mino, sebenarnya setelah acara aku kabur dari rumahnya yang terhitung dua Hari yang lalu itu, aku benar-benar berusaha menjauh dari pria itu.

Karena ini Hari penentuanku menjadi karyawan tetap atau dipecat jadi aku mau tidak mau keruangannya.

'tuk...tuk...tuk...' ketukku pada pintu kayu itu.

Aku langsung masuk karena tidak ada jawaban dari dalam.
"Kau... Sudah tahu kenapa kupanggil kesini?" Tanyanya dingin.

"Soal perpanjangan kontrakku kan?" Tanyaku ragu-ragu, aku masih belum berani menatap bola matanya.

Dia mengangguk.
"Seperti yang Kau bilang, antara karyawan Dan Bos tidak boleh berteman..."

Deg. Sialan! Aku tahu pasti aku akan dipecat sebenarnya. Maksudku karyawan gila Mana yang berani mencium bosnya Dan berhubungan seks dengannya!? Aku masih menundukan kepalaku.

"Aku tidak bisa menganggapmu karyawan..." Ia berkata dengan santai.

Aku menggigit bibirku gugup.
"A...aku... Minta maaf..."

Ia menaikkan sudut bibirnya.
"Untuk...?"

Aku menggerakan mataku keatas secara perlahan.
"Un...tuk... Kejadian waktu itu..."

"Kejadian apa?" Tanyanya. Ia mulai berdiri perlahan. Menatapku dengan intens.

Aku merasa semakin menciut.
"Y...yang... Waktu itu..."

Ia perlahan mendekat kearahku, wajahnya begitu dekat hingga aroma parfumnya sangat tercium hidungku.
"Yang Mana? Jawab yang jelas lady..." Ucapnya intens, jemarinya telah menyentuh daguku, mengusap lembut disana.

Aku merasa gelenyar aneh pada tubuhku. Ia semakin menakutkan jika dalam kondisi seperti ini.
"Ehmm...tentang... Kita berdua yang..." Gila! Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kata memalukan itu. Masa dia tidak paham sih?

Jemarinya beralih ke pipiku yang memerah itu. Sialan! Kenapa jadi begini?!
"Kita? Kau yang pertama menyerangku lady..." Ucapnya. Matanya terpaku pada garis bibirku.

"Kau tidak melarangku..." Ucapku yang tiba-tiba memiliki keberanian.

Mata kami bertemu.
"Benar...! Aku tidak melarangmu, lantas mengapa Kau kabur...?" Kilatan matanya menusukku.

"Ak...aku...aku waktu itu hanya...hanya--" ucapku gagu.

"Mengalihkan perhatian?" Tebakannya tepat sekali. Aku tetap menunduk.

"Bagaimana kalau Kita buktikan sekali lagi kalau itu bukan hanya pengalihan perhatian saja...?" Ia berbicara telat ditelingaku, dengan berbisik. Aku semakin merasa ada sensasi aneh itu.

Ia sontak menciumku, mengajakku beradu lidah. Matanya meyorot tajam mataku, tengkuknya menukik menuju kearahku yang lebih pendek darinya.

Aku membelalak. Tapi hatiku menuntut Hal yang lain. Hati sialanku berharap ini menjadi pergumulan panjang. Sialan! Kenapa aku jadi mesum begini?!

Ia meraba belakang leherku, aku terlena. Aku semakin menuntut dengan melingkarkan lenganku dilehernya. Aku memejamkan mataku.

Ia terus meraba sensual leher Dan punggungku. Sampai aku meloloskan desahan laknatku.
"Eeuugghhh..."

Ia kemudian menghentikan semuanya, saat aku mulai memasrahkan tubuhku kepadanya.

"Tidak disini lady... Aku tidak mau orang lain mendengar desahanmu, sudah kubilang bibirmu itu berbahaya..." Ucapnya dengan masih meraba leherku.

Aku memerah, pergi dari ruangan penuh kegilaan itu. Aku turun dengan buru-buru. Menatap sebentar Chanyeol yang sedang duduk dikursi kasir dengan tatapannya kepadaku.

"Kenapa wajahmu merah begitu?" Ia bertanya sedikit berteriak padaku.

Aku melengos saja. Sambil berpikir Kesalahan apa yang terjadi dengan otakku ini?

***

Aku buru-buru keluar setelah semua pekerjaanmu selesai. Menghindari Bos nyatanya lebih sulit dari soal matematika yang dulu kukerjakan.

Tidak! Aku tidak bisa menundanya. Bicara dengan Jennie sekarang lebih penting dari ajakan bercinta dari Bos gila itu.

Aku langsung meluncur kerumah Jennie, meski kecil kemungkinan aku dibukakan pintu olehnya.

"Jen..." Aku meratap pada pintu rumah Jennie.

Jennie dengan tidak terduga mempersilakanku duduk diteras rumahnya. Aku bersyukur.

"Ak...aku minta maaf..." Ucapku menundukan kepalaku dalam-dalam.

"Kau sama sekali tidak memberitahuku, ada alasan?" Ucapnya acuh.

"Ak...aku...tidak ingin kehilanganmu..." Aku menatap penuh pada Jennie.

Jennie melunak. Ia menatap lurus kearahku.
"Kenapa? Kau pasti punya alasan bukan...?"

Aku menumpukan wajahku pada telapak tanganku. Merasakan bulir air mata perlahan keluar.
"Aku... Hanya tidak bisa kehilanganmu Jen..." Ucapku ketir.

Jennie mendelik kearahku, menghela napasnya dalam.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu tanpa memberitahu alasannya..."

Aku menoleh kearah Jennie yang menatap lurus ketanaman depan rumahnya.
"Aku tidak bisa... Kumohon Jen..." Aku meratap kearahnya.

Jennie kini nyatanya melipatkan kedua lengannya di dada. Hal yang jarang dilihat dari sosok Kim Jennie.

"Ak...aku..." Ucapku sesegukan.

"Pergi..." Pungkas Jennie.

***

Nyatanya memberitahu Jennie Hal yang sesungguhnya terjadi lebih sulit dari apapun. Aku kembali menekukkan tubuhku diranjang.

Aku mengusap lembut mantel cokelat yang Ibuku sering pakai itu. Merasakan kenanganku bersama ibu lagi.

Aku perlahan menangis lagi. Aku teringat pada kejadian tiga tahun lalu. Aku tidak memiliki siapapun. Aku melewatinya sendirian.

Aku tidak bisa, Jennie satu-satunya yang kumiliki sekarang. Aku hanya punya Jennie. Jennie hanya satu-satunya tempatku pulang.

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang