26. Hari Biasa

262 46 15
                                    

Musim mulai bergulir, aku memandang kearah luar jendelaku. Cuaca yang begitu cerah di Seoul. Aku beranjak kearah dapurku. Membuat secangkir kopi.

Aku menyesapnya pelan-pelan. Tidak seperti kopi terbaik yang aku pernah coba. Tentu saja, dia adalah salah satu pembuat kopi terbaik di dunia. Aku tersenyum. Kenangan itu lagi...

Aku turun dari kamarku, menuju keluar untuk memulai pekerjaanku. Aku memutuskan mengelola toko roti yang ayahku beri. Meski pada awalnya cukup sulit karena toko roti ini nyatanya bukan toko roti sebenarnya, lebih seperti gudang penuh jelaga.

Aku mulai menguleni adonanku, memasukannya ke panggangan. Secara kebetulan, panggangan ini adalah panggangan yang sama persis seperti apa yang beberapa bulan kebelakang sering aku pakai.

Usang memang, aku sering memakinya, tentu saja. Tapi entahlah, aku tidak pernah memiliki niatan untuk menggantinya.

Aku menatanya dengan telaten, membuatnya satu garis lurus agar rapi. Semuanya telah siap. Saatnya toko dibuka.

Aku tersadar saat ada satu pelanggan yang tengah berada didepanku menunggu pembayaran.

"Hey...!" Dia mengetuk-ngetukan meja kasirku.

Aku mendongkak, melihat sosok itu dengan teliti. Sudah lama aku tidak melihatnya.
"Hanbin?!" Ucapku kaget.

"Irene...?!" Ujarnya Tak kalah kaget.

"Sedang ada pekerjaan di Seoul?" Tanyaku basa-basi.

Ia mengangguk.
"Yah... Begitulah..."

"Yakin tidak mampir ke kafe bersama wanita lagi?" Ucapku sinis.

Ia tertawa.
"Tidak mungkin Rene, anakku segera lahir, tidak mungkin aku selingkuh lagi..." Terangnya.

Aku hanya tertawa mendengar itu.
"Bagaimana keadaan Jennie?" Tanyaku penasaran. Yaa... Jennie... Sudah lama juga aku tidak melihatnya.

"Baik, Hari sabtu ini Jennie diprediksi akan melahirkan... Aku gugup akan menjadi ayah..." Ucapnya girang.

"Lebih gugup akan menjadi ayah atau ketahuan oleh Jennie bahwa Kau selingkuh..." Candaku sambil membungkus roti yang ia pesan.

"Tidak itu lagi Rene... Haha..." Jawabnya santai.

"Bagaimana denganmu?" Tanyanya lagi.

Aku menaikkan kedua bahuku.
"Yaa... Baik... Seperti yang Kau lihat"

Ia mengangguk setuju.
"Jadi berapa?" Tanya Hanbin sambil mengambil bungkusan rotinya.

"Tidak usah... Oh iya tunggu, bawakan ini juga untuk Jennie..." Ucapku sambil berjalan mengambil salah satu cake yang dipajang Dan membungkusnya.

Hanbin mengambil bungkusan itu.
"Kue apa ini?" Tanya Hanbin.

"Lemon drizzle cake..." Jawabku singkat.

Hanbin terlihat mengangguk-angguk.
"Oh iya, Kau harus datang menjenguk keponakanmu... Jennie pasti senang sekali..." Tuturnya.

Aku melihat kearahnya, tersenyum tipis dengan undangannya.
"Akan kuusahakan..." Jawabku pada akhirnya.

"Baiklah, aku pergi dulu... Dan ini terimakasih ya..." Ucapnya sambil mengangkat jinjingan kueku.

Aku tersenyum kearahnya.

***

Setelah Hanbin pergi, aku menjalani hatiku seperti biasanya, tidak ada yang berubah, rata.

Namun sepertinya hanya itu yang aku inginkan, pergi bekerja pada pagi Hari menyibukkan diri lalu pulang di malam hari Dan tidur, begitu seterusnya.

Setidaknya itu yang otak kepalaku inginkan.

Aku melangkahkan kakiku pada toko peralatan bayi pada jam Lima sore, sengaja aku tutup tokoku lebih cepat.

Semuanya terlihat menakjubkan, bagaimana sepatu-sepatu itu dibuat mungil agar cukup pada bayi kecil, atau troli bayi yang dibuat empuk agar bayi nyaman disana.

Berhubung aku tidak tahu jenis kelamin apa yang akan menjadi anak Jennie Dan Hanbin, aku jadi mengambil warna-warna netral.

Aku hendak keluar dari toko itu dengan membawa banyak barang, namun mataku tertuju pada sepatu kecil berwarna merah muda Dan berenda itu.

Terlihat sangat lucu Dan indah. Aku menatapnya lamat-lamat. Perhatianku tidak bisa kuubah. Sangat lucu. Mungkin akan lucu jika dipakai untuk anakku. Haha... Aku mengada-ada saja...

Aku kembali ke rumahku yang berada di lantai atas toko rotiku. Menyimpan baik-baik kadoku untuk Jennie. Meski entah aku akan datang atau tidak.

Aku selesai membersihkan badanku, menyandar dikasurku. Kuraih sepatu mungil yang aku beli tadi. Yah, entahlah aku jadi membelinya.

Membelainya lembut, menatapnya sendu. Aku bertanya-tanya bagaimana kalau aku memiliki seorang anak? Satu saja...

Tapi segera kutepis pikiran itu, Mana mungkin aku punya anak? Aku tidak memiliki pasangan Dan mungkin tidak akan pernah.

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang