27. Pertemuan dengan Orang (Asing)

284 50 19
                                    

Hari sabtu berikutnya setelah Jennie melahirkan, aku memikirkan Hal ini sepanjang malam. Lebih baik aku pergi atau tidak.

Aku merindukan Jennie tentu saja, aku juga sangat ingin melihat keponakanku, pasti bahagia sekali Jennie sekarang.

Pikiranku melayang, kalau aku diposisi Jennie juga sepertinya menyenangkan. Tapi aku buru-buru menggeleng. Apakah aku bahkan pantas bahagia setelah semua yang aku lakukan?

Aku sudah siap sebenarnya, tinggal menjalankan mobilku Dan pergi kesana.

Tapi pikiran itu kembali terbesit. Bagaimana kalau aku bertemu dengannya lagi? Bagaimana kalau aku nyatanya tidak bisa melupakannya? Bagaimana kalau ia sekarang membenciku?

Ya! Dibenci lebih baik. Aku menegaskan pada diriku sendiri. Pria itu sudah sepatutnya benci padaku setelah apa yang kulakukan padanya.

Yang akan terjadi biarlah terjadi, aku terus memutar kata-kata itu di kepalaku. Memajukan kemudiku hingga ke tempat tinggalku dulu.

***

Aku memarkirkan mobilku dengan asal-asalan, meyakinkan diriku bahwa keperluanku disini hanya sebentar Dan Setelah itu langsung kembali ke Seoul.

Aku kemudian berjalan sambil menenteng beberapa bungkusan untuk Jennie.

Aku terhenti. Langkahku tiba-tiba berat padahal hanya beberapa langkah lagi aku sampai di rumah Jennie.

Nyatanya aku lebih sering bermalam dirumah itu dibanding dirumah Jennie yang jelas-jelas sahabatku dari lama.

Aku tersenyum pahit. Bertanya-tanya apakah pemilik rumah ini masih sama dengan yang aku kenal, lelaki pencuri ciuman yang manjanya minta ampun?

Aku buru-buru melanjutkan langkahku sebelum air mataku jatuh karena terlalu banyak mengenangnya.

Jennie menyapaku dengan haru, wanita itu memelukku seakan aku akan pergi kapan saja. Aku juga balik memeluknya.

"Mana keponakanku?" Tanyaku setelah lepas dari pelukannya.

Jennie menunjukan sebuah ruangan yang dulunya adalah kamar tamu. Melihat bayi mungil yang lucu Dan menggemaskan. Badannya sangat gempal untuk ukuran bayi yang baru seminggu.

Sayang sekali bayi itu tengah tidur, padahal aku sangat ingin menimangnya di pangkuanku.

"Kau kemana saja huh?! Meninggalkan rumah tanpa pamit sedikitpun, nomormu Kau ganti Dan tidak bisa dihubungi..." Gerutu Jennie. Ya... Jennie tetaplah Jennie dia wanita Paling cerewet yang aku kenal.

Aku tertawa, mengusap-usap lenganku yang dipukulinya.
"Maafkan aku, tapi keadaan jadi ya... Sedikit tidak terkendali..."

"Aku mendengarnya... Ayahmu..." Ujar Jennie pelan.

Aku tersenyum. Pasti paman Jinyoung! Pria itu tahu sekali kalau aku tidak akan memberitahu siapapun perihal kepergian ayahku.

"Kau kuat sekali Rene..." Ucapnya kembali memelukku posesif.

"Kau tahu...? Ada banyak sekali yang belum kuceritakan padamu, soal Hanbin yang memohon untuk kembali..." Lanjutnya setengah berbisik.

"Sayang ini ada tetangga Kita Min--" Hanbin berdiri diambang pintu dengan seseorang dibelakangnya.

Aku mematung, pandanganku terpaku pada pria dibelakang Hanbin itu. Mino. Tidak! Aku belum siap untuk itu!!!

Mino terlihat membawa tentengan yang besar, ia meletakkan ya kedalam Tanpa sedikitpun melirikku.

Aku bisa menangkapnya. Gerak-geriknya seolah-olah tidak mengenalku, mengabaikan pandanganku Dan tidak menyapaku.

Tidak Ada alasan aku marah karena perbuatannya. Ya! Mino pasti sakit hati. Harapannya tiba-tiba pergi. Disini aku yang salah Dan aku sepenuhnya bertanggung jawab.

Hanbin Dan Jennie terlihat lebih kikuk dari kami yang memilih saling tidak mengenal.

"Ini untukmu, Dan maaf aku tidak bisa lama karena banyak urusan..." Ia berkata pada Jennie tentu saja.

"Terimakasih Mino..." Ucap Jennie lembut.

Akhirnya Mino berbalik segera pergi, setelah sesaat Sebelumnya menatapku sebentar, hanya sebentar.

***

Jennie menoleh perlahan-lahan kearahku, memastikan aku baik-baik saja. Ya! Tentu saja aku baik-baik saja!

Suara tangisan bayi menyelamatkanku. Jennie buru-buru pergi meninggalkan aku yang masih tercenung disana.

Jennie membawa anaknya yang masih menangis, menggendongnya penuh kasih Dan kembali ke sofa.

Aku menatapnya, memaksakan ingin menggendong anaknitu meski kutahu masih menangis.

Jennie menyerahkannya dengan hati-hati. Ajaibnya bayi itu berhenti menangis, ia langsung diam dipangkuanku.

Aku menatapnya, memeriksa garis wajahnya yang mungil.

Jennie menatap takjub kearahku.
"Waaa, anak ini ada-ada saja... Giliran digendong orang cantik langsung diam...!" Ujar Jennie cemburu.

Aku tersenyum masih menimang-nimang bayi bernama Haru itu.

"Dia sudah menutup kafenya..." Jennie tiba-tiba bersuara ketika aku kembali dari menidurkan Haru dikamarnya.

Aku terdiam. Tahu betul yang Jennie panggil 'dia'. Aku kembali menjawab dengan senyuman.

"Dia, waktu awal-awal Kau pergi menjadi kurus sekali..." Tutur Jennie.

Aku mencelos, namun wajahku tetap menyiratkan bahwa aku baik-baik saja.
"Yaaa berarti sekarang dia sudah melupakanku kan?" Tanyaku datar.

Jennie mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah, kurasa Kau terlalu berharga untuknya..."

"Tidak mungkin, kami hanya bisa menjalaninya dalam waktu singkat, tidak mungkin dia sedalam itu padaku..." Gurauku.

"Hey! Mana ada rasa cinta yang diukur oleh berapa lama Kau bersama?!" Geram Jennie.

Aku tertawa. Ya, Hal tersebut Mana bisa diukur dengan berapa lama Kau bersamanya. Aku tahu jelas itu. Karena aku juga mengalaminya, walau otakku jelas-jelas menolaknya.

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang