19. Dimensi yang Berbeda

319 53 23
                                    

Aku menatap pria itu, ia menatap gadisnya penuh puja. Aku terus memasang mataku agar tidak lolos darinya.

Pria itu bergerak, mulai meraih lengan wanita itu, menggenggam ya sebentar sebelum menciumnya.

Aku masih menatap kearah keduanya dari seberang meja restoran ini. Restoran Mahal Seoul Hotel yang tidak mungkin aku sanggup walau hanya membeli air putih saja.

Wanita diseberang Sana memasang senyumnya pada lelaki didepannya. Klise. Aku masih menunggu aksi mereka selanjutnya.

Aku keluarkan ponsel yang bahkan harganya tidak sampai harga satu steak disini. Memencet fitur kamera Dan memotret keduanya dalam diam.

Pria itu kembali mencium punggung tangan wanita yang mengenakan dress berwarna peach itu. Wanita itu kembali terkekeh geli dengan perlakuan prianya.

Sebuah notif suara pesan masuk. Aku yang menunduk agar tidak ketahuan orang itu.
Dari Ibu.
'Irene, Kau melihat ayah?' tulis Ibu pada fitur pesan singkat.

Aku baru saja akan berteriak.
'ya! Dia ada didepanku, mencium tangan wanita aneh itu!!!'

***

Aku membawa semangkuk bubur untuk ibu makan. Sudah dua hari ini ia hanya melamun dikamarnya.

Aku mengetuk pintunya dengan hati-hati. Menyimpan nampan makannya diatas nakas.

"Ibu, makan..." Bujukku.

Ibu hanya memandangi jendela yang langsung berhadapan dengan luar. Aku menghampiri ibu.
"Ibu harus makan, kalau tidak, bisa sakit..." Ucapku lembut.

Ibu menggeleng, matanya kosong. Aku bisa lihat dari sorot matanya. Ia hanya terus memandangi jendela.
"Aku sudah mati sejak ayahmu selingkuh...." Ujarnya santai.

***

Aku bangun. Keringat mengucur lagi diseluruh tubuhku, mimpi itu lagi. Mimpi menyeramkan itu lagi.

Aku menengok kearah jam, ini sudah pukul enam pagi. Walau aku tidak yakin dengan nasibku dikafe, aku tetap menuju kamar Mandi untuk membersihkan diri.

Aku terhenti sejenak sebelum memakai sepatu. Bagaimana kalau maksud Bos kemarin adalah aku dipecat? Bagaimana kalau ciuman itu menjadi akhir dalam kontrakku?

Ini mungkin menjadi Hal memalukan berikutnya. Aku sepertinya sangat familiar.

Kutekan dial ponselku, menuju Bos terntu saja.

"H...ha..hallo..." Sapaku ragu-ragu.

"Hmmm?" Jawabnya dingin.

Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal.
"Aku...aku ingin bertanya, apakah aku perlu masuk kerja hari ini?" Tanyaku hati-hati.

Diam sejenak.
"Itu harusnya Kau yang menentukan lady..." Ujar suara beratnya.

Aku mengerutkan dahiku.
"Aku tidak mengerti..." Terangku.

"Pilih, ingin tetap bekerja disini atau pergi?" Ia berkata.

"Tapi Kita perlu memastikan dulu bahwa yang kemarin adalah rasa penasaran atau memang tidak..." Sambungnya lagi.

"Maksudmu?"

"Kita harus memainkannya satu Kali lagi lady..." Ucapnya singkat. Panggilan itu ditutupi sepihak olehku.

Hatiku bergetar, merasakan gelenyar aneh itu lagi hanya dengan mendengar suaranya. Aku berjalan bolak-balik seperti setrikaan.

Opsinya tidak ada yang lebih baik. Aku harus pergi atau bercinta sekali lagi dengannya. Aku menjambak rambutku sendiri. Merasakan diriku yang sangat bodoh mengajak beruang kutub itu untuk melakukan Hal yang tidak seharusnya. Urusannya jadi lebih rumit kan?

***

Nyatanya kini aku lebih memilih opsi kabur dari beruang kutub itu. Merasa bahwa pergi dari Sana lebih baik untuk jiwaku.

Seharian aku habiskan dengan menonton televisi tua yang kadang salurannya macet. Tak sadar aku terus menghela napasku.

Aku kemudian mengambil tiga botol beer untuk kuminum sendiri. Hari ini aku pengangguran, jadi aku bebas berbuat sesukaku.

Kubuka satu kaleng itu. Aku meneguknya banyak-banyak, sambil melihat kearah televisi yang kini hanya berisi adegan abu-abu yang banyak semutnya.

Aku tahu bahwa aku yang membuat semuanya menjadi rumit. Helaan napasku tidak henti-hentinya kulakukan.

Dua botol beer sudah kutegak Dan aku merasa kepalaku sangat pening.

Sebuah Dering ponsel berdering, menampilkan tulisan yang bahkan tidak bisa kubaca sepenuhnya.

"H...ha...hallo?" Ucapku setengah tidak Sadar.

"Irene..." Ucapnya diseberang Sana.

Aku menjauhkan ponselku, mengerjapkan mataku agar lebih jelas, membaca panggilan itu.
"Sialan Kau! Mau apa lagi?!"

"Kumohon bujuk Jennie... Aku tidak bisa hidup Tanpa dia, Dahyun sekarang pergi ke Australia, sejak kuberi tahu bahwa aku memiliki istri..." Ucapnya memelas.

"Itu salahmu bajingan, jangan ganggu-ganggu Jennie lagi..." Bentakku.

"Aku...aku...ingin merawat anakku..." Ucapnya sendu, bisa kupastikan bahwa Hanbin disana tengah menangis.

"Yak! Mengurusi hidupmu saja tidak beres...tidak usah mengurusi juga hidup orang lain..." Bentakku lagi.

Aku kembali memutuskan panggilan itu sepihak. Menatap kosong. Beer itu kembali kuminum.

Kepalaku sangat pusing, mataku sangat berat tapi aku bisa tidur ataupun berharap pingsan.

Aku menggapai ponselku.

"Jen..." Ucapku bergetar.

Diseberang Sana tidak ada respon apapun.

"Aku membunuh ibu Jen... Aku memberitahunya bahwa Ayah selingkuh..." Tangisku pecah.

***

Suara derap kaki yang berat mendekatiku. Aku setengah Sadar karena beer-beer sialan itu.

"Jennie?!" Mataku mendadak jernih. Aku menatap presensi tubuhnya, menggeleng-geleng untuk memastikan kalu ini ilusi atau bukan.

Jelaga Yang PayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang