Kembali, Jennie memang Paling bisa kalau menyindirku, membuatku tampak bodoh Dan dungu tiada tara.
Dan sialannya, otak ini selalu memutar perkataan Jennie walaupun aku bisa dengan mudah mengabaikannya. Jennie terlalu pandai merangkai kata...
Ya... Semuanya terjadi terlalu cepat, Mana mungkin kami punya perasaan yang terlalu dalam semacam itu. Pikirku lagi.
Berkendara ke Seoul memang selalu menjadi perjalanan terburuk untukku. Kapanpun itu. Seperti sekarang. Karena ucapan Jennie, kepalaku berputar terus Tanpa fokus pada jalanan. Beruntung aku tidak menyebabkan kecelakaan.
***
Aku kembali lagi ke rutinitas yang aku Suka, tidur dimalam Hari Dan bekerja dipagi Hari.
Ya... Sampai setidaknya salah satu pengunjung tokoku berjalan dari arah luar akan masuk kesini.
Aku sudah menyiapkan hatiku yang tidak karuan. Baru beberapa Hari kebelakang aku menemuinya.
Ia berjalan dengan tegap Dan percaya diri. Memilah-milah roti yang dipajang walau ia Tak tahu kalau jantungku berdebar kencang.
Ia kesini. Menuju kasir yang aku diami. Ya... Hanya Lima langkah lagi... Aku langsung memaksa menampakkan wajahku yang paling datar. Untuk meredam suara jantungku yang sepertinya terdengar.
Ia menyerahkan beberapa roti yang akan ia beli. Dengan wajahnya yang datar pula. Ia menunggu. Menatapku tajam. Tatapan itu kembali lagi.
Aku yang melamun karena menatapnya juga akhirnya Sadar, Dan buru-buru memindainya dengan mesin.
"Li...Lima ribu won..." Ucapku gugup sambil menyerahkan belanjaan si pembeli. Yatuhan! Kenapa aku gugup begini?!
Ia tidak melihatku melainkan memandang salah satu etalase yang memajang kue-kueku. Ia masih menatapnya sendu. Ya... Mata itu terlihat sangat lemah.
Ia kemudian kembali pada sadarnya, melihatku yang menunggunya. Lalu ia memberiku satu lembar yang 5000an Dan buru-buru pergi Tanpa mengucapkan apapun.
Ya... Ini adalah sebuah resiko, resiko karena aku yang terlebih dahulu memutus hubungan dengannya Tanpa kejelasan apapun. Aku Sadar sepenuhnya.
Aku Sadar, tapi anehnya hatiku sama sekali tidak menerimanya. Mungkin aku egois karena dalam lubuk hatiku ingin ia menyapaku, sekali lagi saja.
Aku menghela napas dengan berat. Semua yang kulalui terasa berat. Semua yang kualami rasanya tidak ada habisnya.
***
Aku disini. Secara tidak sadar tentu saja. Tiba di desa ini dengan perasaan anehku.
Ya... Mungkin setelah pertemuanku dengan Mino beberapa hari yang lalu, Dan memastikan kalau Mino baik-baik saja malah seakan Tak mengingatku. Aku berani kembali kesini.
Masalahnya sekarang, bukan karena Mino yang baik-baik saja, tapi aku yang tidak baik-baik saja karena dengan gilanya kembali ke desa Ini.
Aku tidak mengerti, menghela napas berapa kalipun tetap membuat jantungku berderak Tak karuan. Ya! Kim Jennie, aku rindu Kim Jennie untuk itu aku kemari.
Perjalanan kerumah Kim Jennie nyatanya tidak semudah itu, aku kembali diam didepan rumah sebelah Jennie. Menatapnya sambil menahan perasaan aneh yang aku rasa.
"Irene...!" Teriak Jennie memanggilku.
Aku langsung menoleh Dan melambaikan tanganku pada Jennie, tentu saja dengan memasang tampang baik-baikku kepadanya.
"Dia tidak ada dirumah..." Ujarnya saat aku mendekat.
Aku diam.
"Siapa?" Tanyaku bodoh.Jennie tertawa.
"Tentu saja Mino, Kau pikir sejak kapan aku berdiri disini?" Sindirnya.Aku gelagapan.
"Tidak... Aku...aku... Tidak mencarinya..." Ucapku gugup.Ia tertawa lagi.
"Haha... Yasudah, masuk-masuk..."Aku Dan Jennie bergandengan masuk kerumahnya, menyapa sebentar bibi Jieun dikamarnya. Duduk disofa sambil menunggu Jennie membawa Haru keluar.
"Aaaa... Haru-ku... Dia tampan sekali ya...?" Ucapku mengalihkan perhatian.
Jennie mengangguk yakin.
"Karena ibu Dan ayahnya rupawan... Ya mau bagaimana lagi..."Aku mendelik malas kearah Jennie.
"Terserahmu saja...""Kenapa kesini?" Tanya Jennie sambil ia menaruh Haru pada kasur bayi yang bisa didorong.
Aku tersentak.
"Mengambil barang?" Ujarku terlihat bodoh.Jennie tertawa.
"Jangan pura-pura bodoh Rene..."Aku menatap bingung.
"Apa maksudmu?""Kau tahu, Mino menutup kafenya..." Ucap Jennie santai.
"Kenapa?" Sambil aku membelalakan mataku.
"Tentu saja karena kehilangan koki terbaiknya..." Jawabnya sambil melirik kearahku.
"Kau memang tidak memiliki perasaan apapun pada Mino?" Tanya nya penasaran.
Aku terdiam. Ya... Itu juga yang selama ini aku tanyakan pada diriku sendiri.
"Aku tidak bisa menyakiti hatinya..." Jawabku setelah hening yang panjang.
"Tentu saja tidak boleh, kalian tidak akan saling menyakiti, setidaknya kalau kalian bersama..." Tutur Jennie.
Aku menatapnya.
"Aku tidak bisa bersamanya...""Kau tentu bisa bersamanya... Kau tahu aku ingin sekali diam dan tidak mencampuri urusanmu seperti Kau yang tidak pernah menentang apapun ucapanku. Tapi tidak bisa..." Ia kemudian menghela napasnya.
"Aku harus mencampurinya, karena kalau tidak, pemikiran Dan sikap konyolmu itu makin menyakitimu..." Tuturnya gemas. Aku hanya diam mendengarkannya."Kau menyukainya, apalagi yang harus Kau pertanyakan? Soal trauma? Ya... Aku tahu itu sulit untukmu, tapi sampai kapan Rene?" Aku hanya menunduk mendengarkan.
"Kau berbeda saat bersama Mino, terlihat lebih ceria Dan bahagia. Aku tidak ingin melihatmu sedih lagi, sudah cukup tiga tahun..." Tuturnya lagi.
Aku mulai menangis, bukan... Bukan karena Jennie yang memarahiku Dan menceramahiku. Tapi karena aku takut kalau selama ini pemikiran yang kuanggap benar ternyata salah, sikapku untuk membahagiakan diri sendiri nyatanya malah membuatku semakin terpuruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelaga Yang Payah
FanfictionAku pulang, kembali kerumah tua yang reyot itu. Aku pulang, kembali ke desa yang menjadi pusat memoarku. Aku pulang, kembali pada kenanganku dulu. Aku pulang, kembali lagi jadi wanita penuh rasa ragu. Aku pulang, memulai Hal yang baru. Tapi aku data...