Perkataan Jennie tadi siang menjadi cambuk bagiku, aku berhari-hari terus memikirkannya. Aku tahu Dan aku percaya bahwa Mino tulus padaku. Aku juga tahu bahwa Hal yang aku takutkan mungkin tidak terjadi padaku.
Aku melihatnya sendiri, merasakannya sendiri, saat Ibuku mati Dan aku hanya bisa menangis Tanpa bisa berbuat apapun.
Cinta. Satu kata yang berbahaya, yang membuat orang-orang jadi terlena hingga Lupa bahwa ia masih di dunia nyata. Aku enggan merasakannya, enggan menjadi korban selanjutnya dari Hal magis bernama cinta.
Aku menikmatinya tentu saja, saat Mino menyentuh tubuhku penuh puja, atau saat ia memasukiku dengan penuh gelora. Aku hanya menyukai itu, aku hanya menginginkan itu.
***
Aku berkendara hampir dua jam, sambil terus pikiranku melayang Tak karuan.
Aku datang. Menuju pusaran yang aku takutkan. Kematian. Bukankah Hal yang luar biasa, aku melihatnya Dan aku merasakannya lewat Ibuku.
Aku hanya bisa menatap pusaran itu, Tanpa sekalipun aku mengoceh atau komplain atas itu. Aku menitikan air mataku, aku bingung, dengan perasaanku sendiri.
Ponselku kembali bergetar. Aku mengambil ponsel disakuku. Pria itu lagi. Mino. Aku membantingnya kasar kearah tanah dekat pusaran Ibuku.
"Aku takut ibu..." Hanya itu yang bisa aku katakan sambil mataku yang penuh air mata. Hanya Hal itu yang bisa aku curahkan padanya. Aku benar-benar takut tiga tahun aku hidul penuh ketakutan, menjadi diriku yang hampa Tanpa arah tujuan.
Ponselku kembali bergetar ditanah. Aku sedikit mengeceknya memastikan kalau yang menelponku bukan Mino lagi.
Itu nomor asing, nomor yang sama sekali tidak aku kenal. Aku perlahan mengangkat ponsel itu, menelan tombol jawab disana.
"Hallo...?""Irene...?" Ucap pria diseberang Sana parau. Aku mengenalinya, tiga tahun juga aku hidup Tanpa pria itu.
"Mau apa?" Tanyaku dingin.
"Aku ingin bertemu denganmu... Sekali saja..." Ayah sialan. Buat apa bertemu denganku? Setelah mencampakan aku Dan Ibuku?
"Bermimpi saja ayah..." Jawabku dingin lagi.
"Sekali saja... Ak--aku..." Putusnya. Setelah itu yang aku dengar hanya raungan dari seorang wanita dan suara gema mesin yang tidak karuan.
Aku dengan refleks memutar arah mobilku, menuju Seoul. Aku mengemudi dengan cepat sambil meyakinkan kepalaku bahwa Hal ini patut dilakukan.
Aku tidak mau kehilangan lagi. Sudah cukup ibu, ayah satu-satunya keluargaku. Aku tidak mau kehilangannya.
***
Aku parkirkan dengan asal mobilku walau tahu mungkin nanti akan ada seseorang yang memprotesku. Sialan! Siapa peduli?!
Aku berlari, menuju ruangan ICU tempat ayahku dirawat sejak tahun lalu. Berlari dengan kencang sampai-sampai aku Lupa bahwa Tali sepatuku hampir lepas.
Ruangan itu penuh dengan dokter. Aku melihat ayah yang terbujur kaku disana. Tanpa ragu aku masuk kedalam. Menerobos barisan dokter yang menghalangiku.
Aku memeluk ayah. Menangis didadanya yang sekarang sudah tidak terpasang alat apapun. Aku menangis. Kehilangan itu lagi! Sampai kapan aku harus merasakannya lagi?!
Aku masih memeluk ayah, tangisku semakin pecah saat seseorang menarikku untuk menjauh.
"Ada apa sialan?!" Teriakku pada ibu-ibu yang menarikku menjauh.Ibu itu memelukku, memberikan tanda bahwa ia sama sepertiku, merasa sakit akan kehilangan ayahku.
***
Keadaan mulai mereda hinggan aku mendengar dengingan suara dikepalaku. Ibu itu membawaknku sebotol air putih. Aku mengambilnya tanpa menoleh ataupun berterimakasih.
"Ayahmu selalu menanyakanmu..." Ucapnya getir.
Aku hanya mendengarkannya tidak berniat sedikitpun menjawabnya.
"Dia menyiapkan kado istimewa dari tahun lalu untukmu sebelum ia masuk rumah sakit--" ia menghela napasnya sebentar.
"Dia selalu memujamu, wanita Paling cantik yang pernah ia tahu. Kau. Aku selalu memandangnya tidak Suka tentu saja. Tapi dia berkali-kali mengingatkanku untuk merawatmu kalau dia sudah tidak ada..."Aku tersenyum sinis.
"Aku tidak butuh Kau rawat..." Ucapku singkat."Aku juga tentu saja tidak ingin merawatmu, tapi aku harus memberikanku kado terakhirnya..." Ucapnya sendu.
Aku masih geli dengan ucapannya.
"Toko roti, di Gangnam. Dia mengelola itu, dia tahu Kau sangat suka membuat kue... Dia ingin Kai memilikinya walau aku bersikeras melarangnya..." Lanjutnya lagi.
"Ya! Aku melarangnya tentu saja, karena aku juga harus turut andil dengan toko itu Dan warisannya. Tapi dia lebih memilih menghancurkan toko itu kalau Kau tidak merawatnya..."
"Tak usah repot-repot memberikanku itu, ambil saja semuanya..." Jawabku sinis.
***
Aku berdiri didekat tempat orang akan melayat ayahku. Dengan pakaian serba hitam Dan pita putih dikepaku.
Hari ini aku menangis lagi, walau aku tidak mengerti alasannya apa. Aku hanya ingin mengeluarkannya, hanya ingin lepas dari semuanya.
Para pelayat silih berganti datang, beberapa ada yang mengenalku sedang beberapa yang lain memandangiku aneh karena tidak mengenaliku.
Aku mengenalinya, itu adalah paman Jinyoung, ia memelukku setelah memberikan penghormatan terakhir pada ayahku. Aku merengkuh dipelukannya.
Dia satu-satunya yang tahu bagaimana keluargaku, bagaimana keadaanku Dan bagaimana perasaanku.
Ia tidak berkata apa-apa, hanya memandangiku yang sembab Dan mengelus pipiku lembut.
"Kau semakin cantik Rene, aku tidak menyangka akan secepat ini..."Maksudnya untuk menghiburku tentu saja. Aku hanya tersenyum dengan pahit.
***
Aku habiskan malamku dengan tangisan lagi, seakan air mataku tidak ada habisnya, aku menatap wajahku dicermin dengan kagum.
Malamku di Seoul tentu tidak akan pernah seindah saat aku dirumah. Seoul bukan rumah tentu saja, disini hanya kumpulan cerita menyedihkan yang jika digabungkan akan terasa begitu pahit.
Aku menangis lagi Dan lagi, kembali memutar apa yang terjadi dalam hidupku. Aku telah membunuh Ibuku, aku juga telah membunuh ayahku...
Aku meringkuk lagi. Sudah kubilang ini posisi favoritku. Ponselku bergetar diatas meja kasurku. Menampilkan sebuah pop up pesan.
'dimanapun Kau berada, aku akan selalu mencintaimu...'
KAMU SEDANG MEMBACA
Jelaga Yang Payah
FanfictionAku pulang, kembali kerumah tua yang reyot itu. Aku pulang, kembali ke desa yang menjadi pusat memoarku. Aku pulang, kembali pada kenanganku dulu. Aku pulang, kembali lagi jadi wanita penuh rasa ragu. Aku pulang, memulai Hal yang baru. Tapi aku data...