02 || Bertemu

1K 75 69
                                        

Gue membuka kertas hasil ujian dengan lesu, bercampur takut tentunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue membuka kertas hasil ujian dengan lesu, bercampur takut tentunya. Gue merem dan berdoa supaya nilai yang tertera disana nggak jelek supaya ayah nggak marah sama gue.

| Mapel geografi: 94.

"Yah, kenapa segini sih? Nilai gue turun." cicit gue di kelas. Yang of course bikin anak-anak sekelas menoleh ke arah gue dengan tatapan tajam yang jelas-jelas mengintimidasi.

"Nilai lo 94 loh, SEMBILAN PULUH EMPAT. Dan lo nggak bersyukur tentang itu?" ucap Laisa kesal sembari menatap gue jengah bercampur muak.

Sementara seisi kelas langsung menatap gue lagi sambil berbisik-bisik julid, tapi netra gue langsung menangkap pergerakan Ajun yang langsung bilang dengan tegas.

"Kita nggak boleh gitu sama dia, mungkin aja dia ngerasa nggak puas dengan hasilnya sendiri?" dia itu ketua kelas di sepuluh IPS dua.

Kalya menatap gue jengkel. "Nilai 94 di mapel geografi itu udah paling tinggi di kelas ini. Mungkin juga di antara anak IPS dia yang nilai UTS nya paling tinggi. Tapi lo lihat, dia munafik banget sih 'merendah untuk meroket' biar di puji-puji." tuduhnya sembarangan.

Gue masih menahan diri dengan tetap duduk di bangku gue---sendirian---sambil meremat kertas hasil ujian itu sampai nyaris robek.

Ajun tau tentang momen itu dari ujung matanya. "Mungkin saking ambisnya dia? kita nggak boleh suudzon, temen kita sendiri loh ini." ujarnya penuh wibawa.

Dasar sok bijak. Batin gue penuh kesal.

Dia beralih ke gue, "Maaf ya Aletta." jelas nadanya nggak tulus. I mean, kalo kalian mendengarnya sendiri pasti kalian tau kalah dia cuma bohongan.

Tapi gue terlalu cerdik untuk di bodohi, Ajun cuma pencitraan aja bilang kaya gitu ke gue biar seolah-olah dia itu jadi orang paling baik hati se-dunia. Makasih loh.

Gue langsung bangkit, kebetulan hari ini geo adalah mapel terakhir. Tanpa basa-basi gue langsung memakai tas gue dan bersiap untuk pulang. "Thanks udah manfaatin gue sebagai bahan pencitraan lo, bangsat."

And yup, gue langsung keluar kelas dan sesampainya di lapangan outdoor bel sekolah bunyi. Gue meremat-remat hasil UTS geo gue dengan cemas, langsung aja gue duduk di halte sambil menggigit jari-jari gue sendiri sampai merah-merah.

"Lo kenapa, Ta?" tanya Esta, dia ini orang yang paling deket sama gue. Selain dia nggak ada lagi.

Gue menatap Esta dengan cemas. "Esta, gue takut." dia tau banyak tentang gue karena dia sahabat gue sejak lama.

"Nilai lo turun?" gue mengangguk ragu.

Dia menghela napas berat. "Lo mau ke rumah gue dulu?" tawarnya. Sementara gue menggeleng lemah tanda menolak.

Wrong ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang