Episode 17

2.5K 282 95
                                    

LALISA berjalan tertatih menuju toilet sembari memegangi kepalanya yang terasa berat. Ini sudah satu minggu lebih sejak Jiyong pulang dengan tiba-tiba dari China.

Pria itu masih belum kembali dari sana, Lalisa sudah mencoba menghubungi Jiyong. Mengirimkan pesan ke nomor pria itu, tapi tidak ada satupun pesan ataupun panggilan teleponnya yang di terima Jiyong.

Setelah memukul Lalisa dan meneriaki gadis itu dengan kata-kata kasar, Jiyong kemudian memeluk Lalisa, mengatakan kata-kata maaf penuh rasa bersalah lalu mengobati luka di tubuh kekasihnya itu. Lalu di pukul delapan pagi, Jiyong pergi dari apartemen tanpa pamit, meninggalkan Lalisa yang tertidur di atas ranjang.

Jiyong memang meminta maaf atas perbuatannya yang telah memukul Lalisa, tapi pria itu tidak sekalipun menunjukkan wajah penyesalannya.

Lalisa sedang duduk di depan closet. Gadis itu berpegangan pada tepian closet dengan kedua tangannya. Kepalanya tertunduk dan nafasnya memburu. Ujung-ujung jarinya memutih karena saking kuatnya gadis itu berpegangan.

Lalisa memuntahkan isi perutnya lagi. Ini sudah yang ke tiga kalinya gadis itu muntah. Lalisa sudah benar-benar lemas sekarang. Dia hanya makan sereal dan segelas susu pagi tadi dan kini makanan itu sudah tandas dari dalam perutnya.

Setelah mengurus habis isi perutnya- yang hanya tersisa cairan putih yang terasa pahit di lidahnya, gadis itu jatuh terduduk di atas lantai kamar mandi. Kedua matanya terpejam. Gelap. Semuanya gelap. Tak ada warna kehidupan, hanya kelabu. Tak ada secercik harapan dan tangan yang membantu. Semuanya kosong seperti mati, tapi masih saja hidup.

"Sakit. Rasanya sakit sekali," gumam Lalisa sembari meremas ujung piyamanya dengan kuat.

.
.
.

Jiyong tiba di apartemennya di pukul sembilan malam dan terkejut mendapati Lalisa tergeletak di dalam kamar mandi. Tubuh gadis itu mengigil dengan suhu tubuh yang meningkat.

Jiyong mengendong tubuh lemah itu dalam diam, kemudian membaringkannya ke atas ranjang. Menarik selimut hingga sebatas dada gadis itu, lalu berbalik pergi menuju dapur. Jiyong kembali ke dalam kamar Lalisa dengan wadah besar berisi air dan selembar handuk bersih. Dengan telaten pria itu mengompres dahi Lalisa yang hangat.

Jiyong menghela nafas panjang. Terdengar lelah dan berat. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Seminggu lebih dia mengabaikan Lalisa, mengacuhkan panggilan telepon maupun pesan gadis itu. Saat keempat anggota grupnya kembali ke Seoul, Jiyong justru mengundur jadwal kepulangannya, bahkan kemarin pun, pria itu tidak langsung kembali ke apartemennya saat sudah tiba di Seoul, Jiyong malah terbang kembali ke Jeju. Mengecek kondisi cafe-nya yang sebenarnya tidak perlu Ia lakukan.

Tingkah Jiyong semata-mata untuk menghindar dari Lalisa. Menenangkan pikiran dan hatinya yang sedang kalut. Jiyong takut Lalisa akan mengecewakannya seperti apa yang sudah Kiko perbuat padanya. Jiyong takut dirinya terluka, sebab dia sudah menaruh seluruh hati dan perasaannya pada gadis itu.

Jiyong sadar diri bahwa perbuatannya pada kekasihnya tempo hari itu benar-benar kejam. Bagaimana bisa dia memukul gadis cantik itu tanpa meminta penjelasan lebih dulu? Tapi nyatanya rasa sakit, marah dan kecewa lebih mendominasi Jiyong, membuat sisi kemanusiaan pria itu lenyap.

"Aku tidak suka pengkhianat, Lalisa," ujar Jiyong. "Kau milikku, dan hanya aku yang boleh menyentuhmu,"

* * *

Lalisa terbangun dengan kompres di dahinya. Gadis itu mengernyit heran. Seingatnya Ia berada di kamar mandi kemarin siang. Siapa yang membawanya ke kamar?

"Oppa? Jiyong Oppa?" ucapnya, lalu beranjak turun dari atas ranjang dengan tergesa-gesa.

Tidak ada siapapun di apartemen itu saat Lalisa keluar dari kamar. Gadis itu tidak dapat menemukan Jiyong. Di kamar pria itu, dapur, studio, balkon, rumah tamu, ruang televisi bahkan kamar mandi. Lalisa hanya menemukan koper Jiyong di dekat pintu masuk.

Bad Romance (JILICE) Happy Ending VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang