Sebelum kita mulai, bagaimana kalian membaca judul bab di atas?
Apakah hanya "serprais" biasa, tanpa emosi, atau "SERPRAIS!" dengan semangat dan gejolak yang menggebu-gebu?
Harusnya sih dengan semangat ya, karena judul itu ditulis pakai huruf kapital semua dan ada tanda seru di belakangnya.
Kecuali kalian nggak bisa Bahasa Inggris, yah... aku nggak bisa komen apa-apa ☹
Buat yang nggak tahu apa arti kata "surprise" (duh), silakan Google Translate aja. Enggak, bukan karena cerita ini disponsori oleh Google, tapi karena di Google kamu bisa menemukan apa aja, termasuk daftar novel-novel ciamik yang ditulis Kai Elian. Iya, kalian nggak salah baca. Sampai bab ini, sang penulis sudah memuji dirinya sendiri sebanyak tiga kali. Harap dimaklumi karena Kai Elian - meskipun kece dan tidak kere (pujian keempat) - sayangnya nggak punya teman #tragis.
Di akhir bab sebelumnya, Gigi memutuskan untuk membawa pulang merpati yang terluka itu dan merawatnya. Kalau kalian baca cerita ini secara berurut pasti udah tahu tanpa perlu aku kasih tahu. Capek aku bagi-bagi bocoran terus, udah kayak UN aja.
Gigi bukan dokter hewan karena dia masih kelas sepuluh SMA. Jadi dia minta tolong sama Mamanya. Mama Gigi juga bukan dokter hewan sih, tapi sebagaimana emak-emak lainnya, Mama Gigi tahu banyak hal. Salah satunya tentang merawat.
"Kayaknya sayapnya patah deh, Gi," kata Mama sambil membalik-balik tubuh merpati itu. "Makanya dia nggak bisa terbang."
Bermodal stik es krim, plester dan kain perca, Gigi dan Mamanya membalut lalu membebat sayap kanan si merpati yang patah. Sesudah itu mereka membuat tempat tidur kecil dari kardus bekas nasi boks supaya merpati itu bisa beristirahat (nasinya udah dimakan habis tentu). Tak lupa mereka menaruh air minum dan sejumput beras di dalam boks itu untuk si merpati.
Lalu Gigi menempatkan merpati itu di atas meja belajarnya. Sesekali Gigi mengecek merpati itu, khawatir hewan itu mati. Namun setelah beberapa kali mengecek, Gigi yakin merpati itu akan hidup.
Sesorean itu dia nggak bisa belajar. Pikirannya masih terngiang-ngiang pada Rene dan penolakannya yang kejam sekejam ibu tiri dalam cerita-cerita dongeng.
'Mungkin aku harus diet,' pikir Gigi sedih. 'Kayaknya Rene nggak suka sama cewek yang bodinya kayak lontong boraks begini...'
Gigi menatap bayangannya di cermin. 'Pakai make-up juga kali, ya?'
Belum banyak anak-anak kelas sepuluh di kelas Gigi yang pakai make-up, kecuali Sheila yang kakaknya seorang beauty-vlogger. Gigi berpikir mungkin sebaiknya dia mendekati Sheila dan berteman dengannya, supaya dapat produk make-up gratisan dan tips merias diri biar cuchok kayak selebgram-selebgram itu.
Menjelang Maghrib, masuk pesan WA dari Ciko yang mengajaknya nonton. Arum, Niki dan Mika nggak bisa ikut. Gigi membalas pesan Ciko dengan asal-asalan, dia masih nggak mood buat nonton. Padahal besok Sabtu dan biasanya Gigi selalu semangat menyambut akhir pekan. Ciko menawarkan diri buat menjemput Gigi, tapi Gigi nggak membalas pesan itu. Dia masih ingin menyendiri di kamarnya, bergumul dalam kesedihan dan gundah gulana tak berkesudahan, sambil berharap hatinya yang telah hancur berkeping-keping ini masih bisa diperbaiki sehingga dia bisa melanjutkan hidup yang fana ini seorang diri, tanpa Rene.
Iya, selebay itu. Karena patah hati nggak greget kalau tanpa drama.
Akhirnya, karena kelelahan menangis, Gigi jatuh tertidur.
...
Cahaya matahari yang menyilaukan menerobos jendela kamar.
Gigi menggeliat dan menguap. Alarmnya nggak berbunyi hari ini karena memang nggak dipasang. Ingat, ini kan hari libur.
Gigi mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih belekan. Dia belekan parah karena menangis tersedu-sedu sebelum tertidur. Gigi berbalik untuk mengecek jam beker yang ada di atas meja belajarnya.
"WHOAAAH!"
Gigi melompat berdiri. APA ITU?
Dia mengira sedang berhalusinasi karena matanya kebanyakan belek. Tapi dia sadar bahwa belekan separah apapun pasti nggak bakal bisa menyebabkan fatamorgana menggemparkan macam apa yang sedang disaksikannya saat ini.
Seorang cowok berbaring meringkuk di atas meja belajarnya.
DAN DIA TELANJANG!
Gigi menjerit tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah rintihan serak macam ringkik kuda. Maklum, dia baru bangun.
Cowok itu membuka mata. Dia bergerak hendak duduk, tapi Gigi cepat-cepat menarik bantal dan menutup wajahnya. Jangan sampai aku melihat yang nggak seharusnya aku lihat!
"Kamu siapa?"
Tidak ada jawaban. Meja belajar berderit pelan, pertanda cowok itu sedang bergerak. Gigi duduk merapat ke tembok, tidak berani beranjak. Siapa cowok ini? Apa dia orang gila? Bagaimana dia masuk ke kamar ini? Kenapa dia TELANJANG?
Tiba-tiba Gigi merasa ada yang menyentuh punggung tangannya.
"Hiiiiiiii!"
Gigi langsung meloncat dan kabur dari tempat tidurnya. Dia mengintip sekilas dan rupanya cowok itu sudah merangkak naik ke tempat tidurnya. Sambil menutup matanya dengan satu tangna, Gigi kalang-kabut mencari-cari gagang pintu, ingin cepat-cepat keluar dari kamar.
CEKLEK!
Pintu kamar terbuka dan Gigi jatuh di pelukan seseorang. Dia menjerit ngeri.
"Gigi! Kamu kenapa?"
"Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!"
"GIGI! INI MAMA!"
Gigi mengintip, dan dilihatnya wajah Mamanya. "MA! ITU MA! ADA ORANG GILA! DIA NAIK KE TEMPAT TIDUR GIGI!"
Mama Gigi mengerjap-ngerjap. "Orang gila? Di mana?"
Gigi menunjuk cowok itu yang membeku di atas tempat tidurnya. Bagian bawah tubuhnya terhalang kumpulan boneka Gigi. Dia melongo memandangi Gigi. "ITU! DI ATAS TEMPAT TIDUR AKU!"
Mama Gigi celingak-celinguk kebingungan. "Nggak ada apa-apa di atas tempat tidur kamu, Gi! Kamu kenapa, sih?"
"I-T-U!" Gigi mengacungkan telunjuknya tepat di tengah dada cowok asing itu, sambil berusaha menjaga jarak dengannya. "Mama nggak lihat apa?"
Mama mendekati tempat tidur Gigi dan mengibaskan tangannya. Seharusnya tangan Mamanya akan bersentuhan dengan pundak cowok itu, tetapi tangan Mamanya malah menembus tubuh cowok itu, seolah dia hanya terbuat dari kabut. "Jangan aneh-aneh, deh! Nggak ada apa-apa, kok!"
Gigi terperangah. Raut wajah Mamanya serius sekali, seperti kalau beliau meminta Gigi supaya nggak meninggalkan kotak bekal Tupperware-nya di sekolah.
Tapi ini kan lebih gawat dari Tupperware! "Mama serius nggak lihat apa-apa?"
"Enggak!"
"Nggak merasakan apa-apa juga?"
"Enggak! Kamu kenapa sih?" Mamanya menyandarkan telapak tangannya di dahi Gigi. "Pasti nonton film horor lagi ya tadi malam sebelum tidur?"
Gigi kehilangan kata-kata. Tatapannya dan cowok itu berserobok, tapi cowok asing itu hanya diam saja. Mama nggak bisa melihat cowok ini!
"Merpati kemarin di mana, Gi?"
Mama Gigi mendekati meja belajarnya. Di atas meja belajar tampak boks tempat tidur si merpati yang sudah robek terbuka. Tapi hewan itu tidak tampak di mana-mana.
"Kok nggak ada, Gi? Udah kamu lepasin, ya?"
Jendela kamar Gigi terkunci dan seharusnya merpati itu tidak kabur ke mana-mana. Apalagi sayapnya sedang patah. Gigi melirik cowok itu. Apa jangan-jangan...
Sebuah ide terbentuk di kepala Gigi.
Mama nggak bisa melihat cowok ini. Nggak ada gunanya mencoba menjelaskan sesuatu yang nggak kelihatan.
Dia menelan ludah dan berkata setenang mungkin."Aku juga nggak tahu, Ma. Mungkin udah lepas..."
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDADAK CUPID! [TAMAT]
Fiksi RemajaSewaktu Gigi menyelamatkan seekor merpati yang sayapnya patah, dia nggak menyangka bahwa merpati itu bakal berubah menjadi seorang cowok songong bernama Amore, yang mengaku-ngaku sebagai cupid alias si malaikat cinta! Amore butuh 100 hari agar lukan...