chapter two

102 12 3
                                    

"Gue familiar banget sama namanya, Kle!" seru Nadin heboh.

Klea, sahabatnya, yang sedang makan buah-buahan yang dikirimkan Nadia hanya menatap Nadin datar. Ia memutar bola mata, malas.

"Yang namanya Aksa bukan dia doang, Nad."

"Nama Aksa itu langka banget, Kle. Sumpah, gue yakin dia itu Aksa yang gue kenal."

"Sekarang gue tanya, apa dia kenal lo?"

Nadin menatap ke luar jendela kamar, ia mengembuskan napas pelan. "Enggak."

"Mungkin dia lupa," imbuh Nadin lagi lalu menatap Klea. "Iya, kan?"

"Atau mungkin ... dia emang nggak kenal sama lo," Klea beranjak dari kursinya, ia menghampiri Nadin yang duduk di ranjang pasien. Gadis itu menepuk punggung Nadin pelan. "Terima kenyataan aja, Nad."

"Lo jahat banget, sih, jadi temen?" Nadin mencebik. Mulutnya maju sekitar lima centimeter.

Klea hanya terkikik melihat sikap Nadin.

"Apa dia beneran Peterpan yang gue cari, Kle?" tanya Nadin lagi.

"Lo udah bilang kayak gini berapa kali sejak gue kesini?"

"Sekali?"

"Tiga puluh sembilan kali!"

"Ya udah gue bakal ngomong sekali lagi biar genap empat puluh." Nadin mengguncang bahu Klea. Membuat rambut gadis itu maju mundur tak beraturan. "Apa dia beneran Peterpan yang gue cari, Kle?"

"Cewek bodoh," dengus Klea.

Nadin memang manis dan penurut, ia juga murah hati dan peduli sesama, tapi sikap kekanakan dan kebodohannya tidak bisa dihilangkan. Seakan sifat itu memang sudah direncakan Tuhan sejak ia ada di dalam kandungan. Klea hanya tidak habis pikir, kenapa ia bisa selengket itu dengan gadis bodoh dan tolol ini?

Tapi selain keburukan itu, Nadin punya sisi baik lainnya. Ia tidak pernah pamrih dengan siapapun yang pernah dibantunya, ia tidak pernah mencari perhatian layaknya teman-teman mereka yang lain, ia seperti ... air. Mengalir dalam menjalani kehidupan, bersikap sewajarnya sebagaimana manusia adanya.

Klea sangat kagum dengan sifat itu tapi ... jika kebodohannya mulai muncul seperti saat ini, rasanya ia ingin memukul kepala Nadin saja. Plis!

"Nad, sadar, Nad! Kita nggak hidup di dunia dongeng, wattpad, atau novel. Kita hidup di dunia nyata yang nggak pernah ada kejadian kayak di novel atau di film Alice in Wonderland!"

"Yeah, lo emang terlalu realistis jadi orang. Plis deh, kita bahkan pernah menemui banyaakkk banget keajaiban. Apa itu lo bilang cuma kebetulan?"

"Bisa jadi."

Nadin mendengus, "waktu kecil lo nontonnya apa, sih? Berita? Nggak pernah nonton kartun? Hah?"

"Ih lo kok tau, sih, Nad? Jangan-jangan Lo cenayang? Ramal aku dong ..."

"Cewek bodoh," Nadin meniru perkataan Klea kepadanya beberapa waktu lalu.

Klea yang semula menampilkan wajah imut layaknya anak anjing kini beralih menjadi ganas seperti Kak Ros. "Ya udah, gue pulang."

"Pulang sana."

"Ih, kok lo gitu, sih?"

"Lah, yang minta pulang siapa?"

"Tahan gue, kek."

"Kita nggak hidup di dunia dongeng, wattpad atau novel, Kle!"

"Sialan lo."

Mereka berdua lalu tertawa bersama. Klea melirik jam tangan mahalnya, ia lalu mengambil tas selempang yang ia letakkan di sofa.

"Sori, Nad. Gue ada janji ketemu sama sepupu gue sore malam ini. Sebenarnya gue masih pengen di sini, sih, tapi ..."

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang