chapter twenty-five

100 7 0
                                    

Sebuah pengumuman pendaratan dari Aussie mengudara di salah satu bandara di Jakarta. Seorang lelaki yang dulunya hanyalah remaja jangkung berkacamata kini berubah menjadi lelaki gagah nan dewasa. Tubuhnya hanya dibalut kaus putih polos dipadu dengan celana kain, dan tak lupa kakinya yang berbalut sepatu Converse, meski sederhana, nyatanya beberapa atensi terpesona melihatnya. Aksa, yang kini tengah berlibur sejenak, melepas rindu pada tanah kelahirannya, berubah seratus delapan puluh derajat dibanding empat tahun lalu. Remaja jangkung jenius yang merangkap sebagai guru les itu sekarang telah menjadi mahasiswa kedokteran di salah satu universitas di Australia.

Sebuah taksi menjemput kepulangannya. Di taksi yang mulai melaju dengan tenang, isi kepalanya berkelana ke memori-memori terdahulu. Tentang Tinkerbell yang selalu menunggu kepulangannya, selalu berkutat dengan rindu setiap harinya.

Selama ini, ia hanya berkata bahwa ia baik-baik saja. Namun Aksa tahu, dibalik itu semua, Nadin sedang tidak baik-baik saja. Beberapa kali, ia susah dihubungi, beberapa kali panggilannya dimatikan sepihak secara tiba-tiba, gadis itu juga pernah kedapatan mimisan. Aksa hanya khawatir. Khawatir jika Nadin pergi tanpa berpamitan dengan dirinya. Dari Klea ia tahu, bahwa Nadin sedang berjuang melawan penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya.

Di jalanan yang tidak pernah lengang, Aksa termenung sembari menatap ke luar jendela. Memandang gedung-gedung pencakar langit yang kadang bersikap seenaknya pada rumah-rumah kardus di kolong jembatan.

Batinnya selalu menerka-nerka, bagaimana kabar gadis itu? Apa semuanya baik-baik saja? Apa ia masih dan selalu berbohong tentang kondisinya? Apakah ia masih menyimpan kelap-kelip di irisnya yang secerah pendar mentari pagi? Ataukah perlahan binarnya mulai meredup?

Selalu ada sejelemit rasa rindu yang tidak terungkapkan. Rindu yang selalu bersembunyi dibalik raga yang sumarah akan kenyataan.

Seusai meletakkan barang-barangnya di rumah yang selama empat tahun ini dijaga tetangganya yang baik hati, Aksa segera memesan ojek daring untuk mengantarkannya ke kampus tempat Nadin melanjutkan pendidikan. Semburat senyum sehangat musim semi itu tidak pernah menguap dari bibirnya, degupan jantung yang seakan berlomba itu tidak pernah berhenti dan malah semakin cepat, mengiringi ojek yang ditumpanginya menyusuri jalanan padat merayap namun bisa berkelok melewati jalan tikus.

Ibu kota hari ini terasa menyenangkan, atmosfernya serasa menyuruh Aksa untuk terus menerus mengembangkan senyuman.

Sebuah pesan singkat menyembul dari layar ponsel Aksa, ia segera membacanya. Cowok itu tersenyum membaca nama seseorang yang mengiriminya pesan dari aplikasi perpesanan. Nadin memintanya menunggu di halte depan kampus seiring dirinya selesai kelas sore.

Beberapa lembar uang diserahkannya pada bapak-bapak separuh baya yang sibuk ke sana-ke mari mencari pelanggan demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Senyum kebahagiaan merekah menyadari sang penumpang memberinya ongkos lebih. Aksa membalas ucapan terima kasih bertubi-tubi itu dengan senyum renyah. Langkahnya mengarah pada halte dan duduk di sana. Membayangkan sebahagia apa dirinya kala daoat menatap wajah Tinkerbell masa kecilnya secara langsung selama empat tahun terakhir yang hanya ditatapnya dari balik layar kaca.

Beberapa menit dihabiskan Aksa untuk membuka ponsel, membalas satu persatu pesan yang muncul dari teman-temannya, melihat-lihat postingan kebahagiaan milik orang lain. Hingga tiba pada suatu detak jarum panjang, bahunya ditepuk. Ia mendongak, ikut tersenyum menatap gadis manis dengan binar-binar cahaya di parasnya. Rambutnya tidak berubah, bintik-bitnik cokelat itu masih menghiasi hidung dan sekitar pipinya, bibirnya masih pias, kulitnya masih sepucat pualam. Namun kehangatan yang berpendar di sekitar Nadin, membuat semuanya tampak baik-baik saja.

Untuk suatu sekon, matanya tenggelam bersama dengan deburan ombak yang bergulung-gulung di kelabu Nadin. Gadis itu duduk di sebelahnya, masih dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat, menimbulkan kerutan yang tampak di sekitar matanya.

"Udah lama, ya?"

Aksa masih terdiam, larut dalam pesona gadis yang beranjak dewasa itu.

"Aksa? Kenapa, sih?" tanyanya lagi.

Cowok itu seketika tersadar saat tangan mungil gadis itu melambai-lambai di depan wajahnya. Ia tersenyum kikuk. "Nggak apa-apa."

"Jadi, lo mau ke mana?" jeda sejenak, matanya menerawang kendarang yang berlalu lalang pada jam pulang kerja hari ini.

"Ke mana, ya?" jeda sejenak. "Gimana kalo makan mi pangsit yang kita datengin empat tahun lalu?"

Nadin menoleh cepat. Ia tersenyum lantas mengangguk mantap. Gadis itu tidak menyangka bahwa ternyata cowok itu masih ingat tentang kekesalannya beberapa tahun lalu karena mi pangsit langganannya tutup saat ia ingin makan sehari sebelum pesawat yang dinaiki Aksa lepas landas.

Aksa segera menarik lengan Nadin lembut kala sebuah metromini berhenti tepat di depan mereka.

"Lo masih suka duduk di dekat jendela ternyata?"

"Iya, lo masih inget, kan, alasannya?"

Aksa menggeleng.

"Ish, lo itu ternyata juga pelupa. Gimana bisa coba jadi anak paling genius satu sekolah?" gadis itu mencebik.

"Kasih tau gue lagi, dong!"

Nadin menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan-lahan. "Gue selalu suka duduk di dekat jendela karena gue bisa merekam tiap sudut kota lewat mata gue sendiri. Yeah, seenggaknya kita bisa ingat meski cuma sekelebat saat kita berada di waktu-waktu terakhir."

Gadis itu menoleh pada Aksa yang menatapnya sendu.

"Lo masih sakit, Nad?"

Nadin tertegun, ia memalingkan wajah. "Maksud lo?"

"Gue tau, lo ... kena leukemia."

Gadis itu menggigit pipi dalamnya. "Lo tau dari mana?"

"Klea."

"Karena lo udah tau, sekarang lo ngerasa kasihan ya sama gue?"

Aksa mereguk ludah, hatinya seperti terhujam pedang saat melihat bulir air yang perlahan jatuh namun segera diusap oleh sang empunya pelupuk.

"Nad, lo kenapa sih? Ini menyangkut hidup dan mati lo, kenapa lo malah bersikeras buat bungkam dan nggak mau orang-orang tau, padahal mereka bisa aja bantuin lo!" tanpa sadar, suaranya satu oktaf lebih tinggi.

Nadin menoleh cepat begitu merasa Aksa membentaknya. "Mereka yang mencoba bantuin gue, mereka cuma ngerasa kasihan sama gue yang otaknya udah lemah, tubuh ikutan lemah juga. Seberapa banyak bantuan mereka, bukan berarti gue bisa sembuh total. Kalo pada akhirnya gue emang harus mati, gue terima itu. Gue nggak butuh bantuan mereka, gue nggak mau berutang budi sama mereka." desisnya.

Gadis itu segera meminta sang sopir menepi dan segera membayar ongkos pada kondektur metromini. Ia segera turun, tidak peduli Aksa mengikutinya atau tidak. Napsu makannya yang sudah turun sejak tadi pagi, kini semakin menguap. Semua orang memang tidak bisa memahami pikiran Nadin. Namun, Nadin tahu apa konsekuensi dari keputusannya dan Nadin siap menerima itu.

Ia hanya tidak mau orang-orang mengulurkan tangan karena kasihan, dan jika memang ada keajaiban yang membuat dirinya tetap hidup, Nadin akan berutang budi dengan orang-orang yang menolongnya. Nadin tidak mau. Ia hanya ingin berdiri dengan kakinya sendiri.

Ia berjalan entah ke mana, tujuannya sudah tak sama lagi.

"Nad!" Aksa berlari mengejar si gadis yang merajuk, atau mungkin ... kecewa. Kecewa dengan dirinya sendiri.

Nadin terpaksa berbalik begitu lengannya ditahan seseorang. Ia menatap Aksa nanar. "Kenapa? Lo nyuruh gue kempoterapi? Itu juga nggak menjamin gue hidup, Sa!"

Lagi, darah itu mengalir dari hidung Nadin. Gadis itu segera meraup tisu dari tasnya dan menyumbat kedua lubang hidungnya. "Lo nggak usah kasihan sama gue,"

"Nad ..." lirihnya putus asa kala Nadin mulai melangkah menjauh.

Pendar senja kini tak sehangat biasanya. Binar-binar gadis itu juga tak secerah semula. Di redupnya sinar mentari yang mulai tergelincir, Aksa membuntuti ke mana kaki kecil Nadin melangkah. Meski gadis itu mungkin tidak menyadarinya, Aksa harus memastikan bahwa Nadin tidak akan memburuk.

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang