chapter four

73 12 3
                                    

"Nadin berangkat, bu!" seru Nadin sambil berlari mengambil kotak bekal yang disediakan ibunya di meja makan.

Entah di mana ibunya saat ini, yang pasti ia sudah pamit.

Hari ini hari pertama masuk sekolah. Hari ini pula adalah hari pertama ia duduk di bangku putih abu-abu. Rasanya tidak sabar bertemu orang-orang baru.

Dari depan rumah, Nadin sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari menuju gerbang komplek. Entah apa yang ia persiapkan sampai-sampai jam menunjukkan pukul tujuh kurang dua puluh menit.

Ia segera berlari menyusuri jalanan komplek dan sesekali menyapa orang yang lewat. Entah kenal atau tidak yang penting terlihat ramah. Rambutnya mulai lepek, lehernya mulai berkeringat, namun gerbang komplek masih beberapa puluh meter lagi. Semangat!

.
.
.

Aksa berjalan tenang menuju halte untuk menunggu bus kota. Ia tidak terbiasa naik kendaraan pribadi atau naik ojek daring. Entah, rasanya ia lebih suka naik kendaraan umum.

Mata tajam bagai elang itu menyapu sekeliling. Derum kendaraan masih terdengar di jalanan yang sesak di depannya. Ia menghela napas pelan. Beruntung bus kota punya jalur tersendiri, jadi Aksa tidak akan telat sampai ke sekolah.

Sebuah napas yang terengah terdengar di sebelah. Aksa menoleh pelan, seorang gadis bercucuran keringat serta rambutnya yang lepek tampak menunduk sambil memegangi lututnya. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Aksa juga, sepertinya ia sama-sama menunggu bus kota.

Netra Aksa menatap lekat logo yang terjahit di lengan kanan gadis itu. Logo yang sama persis dengan milik Aksa. Mereka bersekolah di sekolah yang sama ternyata. Aksa hanya mengangkat sebelah alis, ini hanya kebetulan. Namun ia merasa bahwa ia pernah bertemu gadis ini di suatu tempat. Otaknya mencoba mengingat-ingat kejadian apa yang pernah dialaminya.

Hingga tiba di suatu sekon, bus kota berhenti di depan mereka. Gadis itu naik terlebih dulu, disusul Aksa di belakangnya yang masih menerka-nerka siapa sebenarnya gadis berambut bob itu.

Aksa memilih bangku ketiga dari depan, di dekat jendela. Sedangkan si gadis itu di depannya. Tepat di depannya. Entah kenapa, pikirannya kini melayang-layang pada gadis tak dikenal itu. Kenapa ia familiar? Kenapa rasanya Aksa pernah kenal dengan dirinya?

Segera ditepisnya prasangka-prasangka tidak masuk akal itu. Ia kemudian memasangkan earphone di sepasang telinganya, membiarkan lagu-lagu Banda Neira mengudara di pengapnya jalanan kota pagi itu.

.
.
.

"Gila, lo! Gue kira lo kelupaan kalo hari ini kita masuk SMA!" bombardir Klea kala Nadin datang dengan tergopoh-gopoh. Waktu menunjukkan pukul 07.58.

Nyaris saja Nadin mengukir rekor. Selama sekolah hampir sepuluh tahun ini, ia tidak pernah sekalipun terlambat. Mungkin karena memang ia tidak suka terburu-buru jadi ia berusaha menyiapkan semuanya lebih awal agar tidak tergopoh-gopoh nanti.

Gadis itu duduk di sebelah Klea. Semesta baik, Klea akhirnya sekelas dengan Nadin lagi. Ia tidak tahu harus berkata apa jika sampai pisah kelas dengan Klea. Bukannya apa-apa, Nadin hanya agak susah bersosialisasi tapi ia tidak sampai menutup diri.

Beberapa menit kemudian mata pelajaran pertama dimulai. Salah satu guru yang menjadi wali kelas datang dan memberikan perkenalan singkat. Nadin hanya menatap dengan biasa. Yeah, apa yang spesial dari perkenalan guru? Nadin rasa itu semua biasa-biasa saja.

Setelah perkenalan selesai, sang guru membiarkan anak muridnya bersosialisasi dengan teman sekelas. Jam kosong tidak bisa dihindarkan. Pun dengan Nadin yang sudah memiliki beberapa teman yang duduk di depan dan di belakangnya.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang