chapter twenty-one

44 6 0
                                    

Aksa membuka halaman bukunya satu persatu, dengan kaca yang membingkai matanya serta pena di sela-sela jarinya membuat cowok itu terkesan genius. Ya, memang genius juga, sih.

Ujian Nasional memang sudah lama berakhir, mungkin sama jadwalnya seperti Ujian Akhir Semester bagi adik-adik kelasnya. Namun, hal itu bukan berarti ia harus berhenti belajar, kan? Ia masih harus melahap pelajaran demi bisa masuk ke universitas bergengsi di luar negeri, sama seperti harapan orang tuanya.

Figurnya masih tenang sampai ketika bahunya ditepuk dari belakang. Arvin, si terduga penepuk bahu, hanya cengengesan lalu duduk di sebelah sepupunya.

"Ke kantin, yuk?" ajaknya.

Aksa menggeleng pelan, "lo nggak liat gue lagi ngapain?"

"Yaelah, bawa aja buku lo ke sana."

"Di sana berisik, woi."

"Terus apa gunanya earphone-lo?"

Helaan napas Aksa mengudara. Ia menatap tajam sahabat sekaligus saudaranya yang hanya nyengir tanpa dosa.

Aksa lalu menuruti kemauan Arvin namun ia tidak membawa serta buku pelajarannya. Perutnya kebetulan ikut berbunyi, jadi ia pergi ke kantin dengan tujuan sama-sama untuk makan, bukan hanya menemani Arvin yang tidak suka makan seorang diri.

Langkah mereka lebar, sesekali tangan dari salah satu cowok itu melayang pelan ke bahu kawannya. Saling melempar guyonan sampai akhirnya ketika mereka turun tangga, seorang gadis menarik atensi keduanya.

"Eh, lo kenal dia, nggak?" Arvin menunjuk dengan dagunya ke arah cewek yang sedang sibuk—entah berkutat dengan apa di depan lokernya.

Arah pandang Aksa tertuju ada Nadin. Iya, dia kenal.

Melihat Aksa mengangguk, Arvin kembali melanjutkan omongannya. "Beberapa minggu lalu, gue liat dia di rumah sakit."

Perkataan Arvin sukses membuat Aksa menoleh cepat. "Rumah sakit bokap lo?"

Arvin mengangguk pelan, "gue nggak tahu, sih, dia periksa dirinya sendiri apa jenguk orang lain ..."

"Tapi waktu gue liat dia, mukanya pucat abis. Parah,"

Aksa tertegun, sejenak ia merasakan ulu hatinya seperti diremas. Sakit. Ia jelas khawatir dengan kesehatan gadis itu. Apalagi, Nadin pernah beberapa kali tertangkap basah olehnya saat mimisan. Kenapa?

Sudah tiga hari gadis itu berjalan melewati dirinya tanpa menyapa seakan-akan mereka memang tidak saling kenal sebelumnya. Aksa takut, takut jika gadis itu lalai dalam menjaga dirinya sendiri. Aksa takut ia kenapa-kenapa.

.
.
.

"Nad, lo oke?" Klea bertanya saat melihat Nadin terus-terusan menelungkupkan wajahnya ke tumpukan lengan. Disentuhnya sekilas lengan gadis itu. Panas.

"Gue oke,"

Tatapan sendu itu mengarah pada figur Nadin Anggitania. Tentang apa-apa yang mati-matian diperjuangkannya namun ia harus mengorbankan kesehatannya sendiri. Tentang apa-apa yang berusaha ia lewati dengan tegar sampai ia lupa bahwa dirinya juga cuma manusia biasa.

Klea melempar pandangan ke sembarang arah, melewati ambang pintu kelas retinanya merekam sosok perawakan Aksa sejelalat. Iya, cowok jangkung itu berdiri di sana menatapi Nadin dengan sayu.

Mata mereka bertemu, dengan bahasa mata, cowok itu menanyakan keadaan Nadin.

Klea yang merasa Nadin sedang tidak baik-baik saja, menggeleng. Dua orang yang menyayangi Nadin itu hanya bisa mengembuskan napas pelan. Nadin keras kepala, ia selalu berlagak kuat padahal repui. Selalu berlagak melawan keadaan padahal aslinya ia sumarah.

Langkah cowok itu mendekat ke tempat duduk Nadin. Di genggamannya terdapat satu kaleng minuman isotonik. Tanpa bersuara, diletakkannya kaleng itu di sebelah Nadin dengan hati-hati. Klea malafalkan terima kasih tanpa bersuara juga. Ia tahu, kawannya sedang tidak berhubungan baik dengan Aksa saat mengetahui bahwa cowok itu akan kuliah di luar negeri namun tidak memberitahunya.

.
.
.

Sekolah semakin sepi namun Nadin masih duduk melamun di rooftop. Tangannya menggenggam kaleng minuman isotonik yang belum ia buka. Tertempel juga sebuah sticky note bertuliskan 'cepat sembuh, Nadin.'

Siapa lagi yang akan menulis seperti itu jika bukan seorang Aksara Bagaskara? Kadang, Nadin tidak mengerti cara pikiran cowok itu bekerja. Kadang ia sedingin es di kutub utara, kadang ia juga hangat; mengalahkan kehangatan hari pertama musim semi.

Helaan napasnya mengudara dengan udara sore yang menari bersama bias jingga. Sepertinya, ia terlalu egois terhadap cowok itu. Lagipula, mereka juga tidak ada ikatan apa-apa selain teman masa kecil. Kenapa ia harus semarah itu mengetahui Aksa akan kuliah di luar negeri?

Harusnya, ia mendukung, bukan? Perlakuan seperti tempo hari bisa saja membuat Aksa tambah tertekan.

Nadin mengusap wajahnya gusar. Poninya berantakan namun ia tidak peduli.

Beberapa lampu dari gedung lain mulai dinyalakan, ia sudah izin ke penjaga sekolah bahwa ia mungkin akan pulang lebih malam.

"Dingin, Nad."

Sebuah jaket mendarat begitu saja di pundaknya. Nadin menoleh, sebuah bulan sabit menyambutnya dari bibir Aksa.

"Sori, ya, Sa."

"Buat?"

"Gue kayaknya terlalu egois akhir-akhir ini."

"Nggak papa, kali. Itu tandanya lo nggak siap buat LDR sama gue," untuk kali pertama di mata Nadin, Aksa menyengir.

Tawa kecil menguar, "enak aja."

"Tapi bener, loh. Gue nggak enak banget karena udah bentak elo padahal lo nggak salah." lanjut Nadin.

"It's oke. Kalem aja,"

"Btw, thanks buat minumnya."

Aksa menatap sekaleng minuman yang diangkat Nadin sekilas. "Lo tau itu dari gue? Dikasih tau Klea, ya?"

Gadis itu menggeleng sambil menyesap cairan di dalam kaleng itu. "Gue tau karena ada sticky note yang tulisannya persis kayak tulisan elo."

"Pinter juga, ya?"

"Iyalah! Nadin!"

Tawa renyah membahana bersama dengan matahari yang perlahan mulai tergelincir di balik awan. Meski begitu, pikiran Aksa masih mengudara pada Nadin yang mengunjungi rumah sakit, tentang gadis itu yang sering mengeluarkan darah dari hidungnya, dengan wajah pucat dan tubuh lesunya. Aksa tidak tahu apa yang membuat kelap-kelipnya meredup, namun ia selalu berdoa pada Sang Pemilik Dunia agar selalu melindungi gadis beserta binar-binar cahayanya ini. []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang