chapter one

129 10 6
                                    

12 tahun kemudian

"Nadin, tolongin ibu dulu, nak!" seru ibunya dari luar.

Nadin yang sedang membaca novel di ruang depan segera berlari menghampiri ibunya di halaman rumah. Kini, usaha ibunya berkembang. Sudah sejak beberapa tahun lalu ibunya mengelola Nad's Bakery.

Bermula dari rumah yang sempit, tokonya menjelma menjadi sebuah ruko yang lumayan besar dengan beberapa pegawai di sana. Kini, mereka bisa menikmati jerih payah ibunya yang berjuang seorang diri tanpa bantuan siapapun termasuk keluarganya karena pernikahan dengan ayah Nadin juga sebenarnya tidak direstui. Maka, saat ayahnya pergi meninggalkan ibunya yang sedang hamil, orangtua ibu Nadin tidak berbuat apa-apa.

Nadin membopong beberapa plastik berisi bahan-bahan untuk membuat aneka kue dan beragam roti. Baik roti tawar maupun roti isi. Nad's Bakery tidak buka cabang di manapun. Ibunya tetap mempertahankan bikinan tangannya sendiri ketimbang menulis resep untuk ditiru. Meski begitu, penghasilannya juga tidak sedikit. Setidaknya, Nadin dan ibunya bisa makan enak dan berpakaian yang layak.

Mereka juga pindah rumah dari rumah mereka yang dulu. Mereka pindah ke salah satu perumahan yang lumayan dekat dengan sekolah Nadin nanti.

Kini, Nadin kecil sudah berubah menjadi gadis remaja yang cantik. Minggu depan, Nadin akan menginjakkan kaki sebagai siswi SMA. Ia sungguh tidak sabar bertemu dengan teman-teman baru.

"Ada orang yang pesan beberapa boks roti isi tuna. Kamu bisa bantu ibu?" tanya Nadia.

"Bisa kok, bu!"

"Bagus, sekarang kamu bisa bantu ibu cincang ikan tuna di sebelah sana?"

Nadin mengangguk cepat. Ia sangat suka bila disuruh membantu ibunya memasak, entah kenapa saat memasak, batinnya merasa tenang. Apalagi, jika ada ibunya yang memasak bersama dengan dirinya. Nadia adalah perempuan kuat yang pernah Nadin temui, dan beruntungnya dirinya karena sang wanita kuat itu adalah ibu kandungnya.

.
.
.

Nadin memandang sebuah rumah sakit ternama di depannya. Gedung tinggi itu benar-benar megah, ia tidak percaya bahwa ibunya bahkan membuat pesanan dari sini. Yeah, sebenarnya tidak perlu diragukan lagi karena toko roti milik ibunya bahkan sudah terkenal se-Jakarta Timur.

"Gila gila ... kapan, ya, gue bisa kerja di sini? Tapi gue payah di matematika, gimana bisa jadi dokter? Palingan juga jadi cleaning service." gumamnya pelan. Pelan sekali.

Gadis berambut sebahu itu segera melangkahkan kakinya yang dibalut sneakers ke dalam rumah sakit itu. Ia perlu mengantar roti isi kepada salah satu dokter yang bertugas di rumah sakit ini.

Nadin segera pergi ke ruangan di mana pemesan roti itu berada. Ia melintasi koridor dengan santai lalu belok ke kiri, di depannya sudah terpampang pintu bertuliskan nama 'dr. Andra.'

Diketuknya pelan pintu itu, lalu keluarlah seorang laki-laki muda yang tampang dan penampilannya tidak seperti dokter.

"Permisi, apa benar ini ruangan dr. Andra?" tanyanya ramah.

Namun laki-laki muda berwajah arogan yang usianya kisaran lebih tua dua tahun dari Nadin ini hanya bergeming. Ia menatap Nadin dari atas sampai bawah.

"Siapa lo?" tanyanya.

Nadin sedikit tertegun dengan sikap cowok ini karena jauh dari kata sopan, namun ia tetap menjawab dengan ramah.

"Saya ditugaskan buat mengantar roti isi pesanan dr. Andra. Kira-kira pesanannya bisa saya taruh di mana, ya?"

Cowok bernama Arvin yang adalah anak dari dr. Andra hanya memandang kotak berisi roti isi itu dengan alis yang terangkat sebelah.

"Beneran ini pesanannya papa?" tanyanya ragu.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang