chapter eight

60 8 3
                                    

Jarinya mengamit pena, bukunya terbuka namun tidak terpulas apa-apa, netranya menerawang ke tembok dengan banyak polaroid di depannya. Isi kepala Nadin melayang pada keheningan malam itu dan memori dua belas tahun lalu.

Ada beberapa yang berubah dari diri lelaki itu.

Pertama, jika dulu Aksa adalah anak yang periang, kini kebalikannya, Aksa adalah orang yang pemurung.

Kedua, dulu Aksa sama sekali tidak suka meminum teh, pahit katanya. Karena teh yang pertama kali ia minum lupa diberi gula. Sekarang, Aksa bahkan penggemar teh hijau.

Ketiga, Aksa yang dulunya hangat kini menguap menjadi dingin bak es di Antartika.

Kepalanya menggeleng pelan, Nadin tidak boleh terus-menerus memikirkan cowok itu. Toh, dia juga tidak bisa menjamin bahwa Aksa adalah Peterpan masa kecilnya. Siapa tahu, omongan Klea benar adanya, Aksa yang itu bukanlah Aksa temannya semasa kecil, bisa saja hanya namanya yang sama.

Menyadari bahwa dia telah membuang lima belas menit dengan percuma, Nadin segera menegakkan posisi duduknya. Dibukanya beberapa buku yang semula tertutup, pena kembali ke genggaman tangannya. Nadin harus belajar. Peringkat kelas ada di genggamannya.

Yeah, bisa dibilang, Nadin memasuki kelas yang peringkatnya anjlok. Meski begitu, teman-temannya giat belajar. Mungkin, mereka memang susah menelan materi yang selalu dijejalkan para guru. Belum habis terkunyah, sudah disuapi berbagai macam pelajaran yang susah dicerna. Ya mana bisa? Tapi mereka selalu berjuang semampunya, hasil akan berbanding lurus dengan usaha, kan?

.
.
.

Arvin melempar ponselnya dengan keras. Beruntung tidak pecah, karena kasur menjadi alas ponsel itu mendarat. Tangannya mengusap wajah dengan gusar. Ia baru saja dicampakkan pacarnya--atau mungkin sekarang sudah turun jabatan menjadi mantan pacar.

"Salah gue apa, coba?!" serunya memenuhi kamar. Arvin bersandar pada dinding sambil menyelonjorkan kaki panjangnya.

"Nggak mungkin. Nggak mungkin!!!!"

Kakinya melangkah ke arah jendela yang terbuka. Ia menerawang langit kelabu dengan sedikit kelap-kelip gemintang, sedetik kemudian tangannya sudah tertangkup di depan dada. "Apa ini karma dari semesta?"

Arvin kemudian berlutut sembari menumpukan sikunya pada sisi jendela. "Maafin gue! Gue nyesel!!!"

Arvin mengerang. "Maafin gue, Kle. Karma itu ada ternyata."

.
.
.

Klea bersin beberapa kali. Ia juga tersedak saat menyantap camilannya. Sejenak ia termenung, layar kaca yang menampilkan drama Korea kini kehilangan penonton.

"Ada yang ngomongin gue, kali, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Segera ia lempar pikiran-pikiran tak menyenangkan itu jauh-jauh. Netranya kembali terpaku pada cerita tentang dua anak manusia yang saling mencari cinta pertamanya. Sesekali, Klea kejang-kejang saat layar laptop menampilkan adegan yang bikin cengar-cengir sendiri.

Dering ponsel memecah kejang-kejangnya. Benda pipih yang tergeletak di nakas itu seakan memanggil Klea untuk melangkah ke sana. Direnggutnya ponsel dari pelukan nakas. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Alis Klea bertaut. Angkat tidak, ya?

Ah, kali aja penting. Klea memutuskan untuk menjawab panggilan tak dikenal itu.

"Halo?" suara lembut mengudara.

[ Klea! Lo masih ingat gue, kan? Maafin gue, Kle. Gue tahu gue salah, lo mau maafin gue, kan? ]

Klea tertegun, ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Otaknya menerka-nerka, siapa gerangan lelaki yang bersuara dari sana?

"Maaf, ini siapa, ya?"

Suara tawa tergelak dari seberang sana. [Lo lupa sama gue, Kle? Really?]

Nih orang gila apa gimana, sih?

Klea masih membisu dengan ponsel yang tertempel.

[Gue Arvin, Kle! Gila, lo lupa?]

Mata sipit Klea membelalak. Ia buru-buru menetralisir degup jantungnya yang berlomba semakin cepat. Tidak mungkin, tidak mungkin! Batinnya menolak kehadiran cowok itu. Otaknya segera mengusir jauh-jauh pikiran tentang cowok brengsek itu.

"Maaf, Pak. Tapi kayaknya Bapak salah sambung,"

Telepon dimatikan sepihak. Arvin biadab. Umpatnya. Direbahkannya raga ke atas ranjang, adegan demi adegan yang terlewatkan pada layar  sudah tak terhitung lagi. Klea hanyut dalam lamunan dan degupan jantungnya yang mau copot.

Di seberang sana, Arvin menatapi layar ponselnya dalam diam. Semburat senyuman tipis terlukis di bibirnya. "Nomor lo nggak ganti ternyata, Kle."

Helaan napas tajam mengudara, matanya tertanam pada langit-langit kamar yang mulai redup pencahayaannya. "Lo sekolah di mana, Kle? Apa kabar, Klea?"

Semburat senyumnya mengembang sempurna sebelum ia perlahan menyadari ... bahwa Klea baru saja memanggilnya dengan sebutan 'bapak'. Langkahnya segera mengarah pada cermin, dipandanginya pantulan diri sendiri, "gue ... harus pake skincare apa lagi?"

.
.
.

Nadin mengibas-ngibaskan selembar kertas untuk mengusir rasa panas. Jam pelajaran ini, sang guru pengampu berhalangan hadir. Entah memang ada benar-benar urusan atau hanya tidak mau menatap wajah siswa-siswi kurang sigap dalam mencerna materi. Entahlah, Nadin tidak peduli.

Yang ia pedulikan kini adalah Klea, sahabatnya, yang sibuk menumbukkan pandangan ke arah luar jendela sambil menyandarkan kepala. Tampak seperti artis video klip galau. Persis sekali.

Berulang kali Nadin mengajaknya berbincang namun sahutan gadis itu singkat sekali. Klea tampak tidak terganggu dengan hawa panas yang disebabkan air conditioner di kelasnya mati.

"Kle! Lo ngapa, dah?"

Tanpa menoleh, ia menjawab. "Nggak papa."

Dengusan mengudara dari bibir Nadin. Disentuhnya pelan dahi cewek di sebelahnya, tidak panas. Tidak demam. Apa dia flu? Tidak juga. "Galau, toh?"

"Engga."

"Boong. Serah lu dah, gue tanya nggak jawab. Ntar kalo udah numpuk sakitnya ujung-ujungnya lo bakal curhat ma gue."

Mereka berdua kini sibuk dengan isi pikiran masing-masing. Klea yang termangu menatap angkasa dengan kapas putihnya. Nadin yang tercenung entah memikirkan apa. Bengong-bengong bego.

"Nadin? Bisa ikut gue sebentar?" sebuah katanya mengagetkan dirinya. Nadin tersentak. Ia menatap sang pemilik mata hazel itu sekilas.

"Bisa, Kak."

Dibuntutinya Aksa yang melangkah tegap ke depan kelas. Mereka berhadapan di sana, netra selam pualam milik Aksa menumbuk kelabu mendayu bagai lautan milik Nadin. Entah kenapa, dadanya berdesir tiap kali mengingat gadis itu.

"Um, nggak jadi, deh, Nad."

Usai mengatakan itu, Aksa berbalik dan berlalu tanpa dosa. Meninggalkan Nadin yang termangu mencerna kata-kata Aksa baru saja.

Lah, terus ngapain manggil gue, coba? Anak genius emang gitu ya? Nggak jelas. Apa gue yang terlalu bego?

Ia memiringkan kepalanya tatkala menatap punggung Aksa yang semakin menjauh, sesekali cowok itu dihampiri beberapa gadis--yang entah modus atau tidak--membawa buku dan menanyakan beberapa soal. Yeah, genius berdarah dingin. Tampak sempurna, pikir Nadin.

Gadis itu hanya tidak tahu, seberapa besar badai yang mencoba menghadang Aksa. Seberapa deras rintik hujan yang menghujaminya. Seberapa keras kilat yang menyambar di atasnya. Gadis itu hanya bisa melihat bagian luarnya saja. []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang