chapter eleven

50 8 0
                                    

Bulir air mulai merembes keluar dari pelupuk Nadin. Gadis itu terdiam di ruang UKS sambil menggenggam sebelah tangan Aksa yang lemas. Pandangan di depannya kini sungguh membuat batinnya mengerang pilu. Diusapnya dengan perlahan dahi cowok itu. Panas.

"Harusnya lo nggak usah nganterin gue balik, Kak. Harusnya lo langsung pulang." isaknnya. "Gue juga yang salah, kenapa gue mau aja waktu lo nganterin gue?"

Nadin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isakannya tertahan. Aroma etanol tidak lagi ditangkap penciumannya yang tersumbat. Wajah basah dan memerah, kelopak mata yang tidak berhenti menjatuhkan hujan, dan basirahnya yang tertumbuk pilu. Ia ... tidak kuat melihat cowok itu terbaring lemas, menahan rasa pening, dan menggigil.

Masih dalam keadaan menunduk, sebelum puncak kepalanya terasa dijamah seseorang. Nadin mematung sejenak, berusaha merasakan apakah ini nyata atau hanya halusinasi semata. Menyadari bahwa apa yang dirasakannya benar-benar ada, gadis itu mendongak. Senyum sayu menyambut netranya. Cowok itu mencoba beringsut duduk namun pusing yang dirasakannya tidak bisa ditolerir. Ia tumbang lagi, tidak bisa menahan pening yang menyergap kepalanya.

"Kak, lo pulang aja, ya?" tawar Nadin yang disambut gelengan lemas.

"Lo nggak masuk kelas?"

Sial, ia terlalu khawatir dengan keadaan Aksa sampai-sampai lupa kewajibannya. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah satu jam berlalu semenjak bel masuk berbunyi. Ia sudah sangat telat.

"Um, gue udah izin kok, Kak." bohongnya.

Aksa manggut-manggut, tidak menyadari gadis di depannya ini berdusta. Beberapa saat, ia mencengkeram kepalanya yang terasa nyeri.

"Kak ...?"

"Gue oke, kok." dipaksakannya semburat senyum yang merekah.

.
.
.

Malam telah menyelimuti kolong langit namun Nadin masih berjalan di bawah pendar cahaya lampu jalan. Entah kenapa, ia memilih menggunakan sepasang kakinya untuk mengantarnya pulang. Meski membutuhkan waktu setengah jam lebih ... entah kenapa gadis itu menikmatinya. Langkahnya tidak tertatih, peluh tidak hadir karena udara dingin yang menusuk tulang. Tangannya dimasukkan ke saku sweater. Mencegah hawa dingin yang akan membuatnya sakit.

Diembuskannya oksigen dari dalam mulut. Dersik angin yang bergesekan dengan dedaunan seakan membelai telinga Nadin.

Bayangannya merekam sebuah raga yang berjalan di sampingnya. Cowok tinggi dengan balutan jaket beraroma kopi itu dengan tenang berjalan lurus ke depan. Meninggalkan jejak tanya dalam batin Nadin.

"Suka banget sih, bikin diri sendiri sakit?"

Aksa menoleh pelan, ia terkekeh. "Perempuan itu bahaya jalan sendirian apalagi malam-malam."

"Terus besoknya lo sakit lagi, gitu?"

"Sori, deh, Nad. Gue lembek banget ya jadi cowok?"

Nadin seakan tersedak ludahnya sendiri. Semilir angin semakin berembus kencang. Ada nada ringkih dari pertanyaan Aksa tadi. Apakah Nadin terlalu berlebihan? Ia segera menyangkalnya.

"Enggak, bukan gitu ..."

"Gue cuma khawatir aja lo sakit lagi, terus ketinggalan pelajaran." lanjutnya.

Aksa mencebik dan mengangguk-angguk. Sedetik kemudian telapak tangannya mendarat di puncak kepala Nadin. Membelainya perlahan. Ia tidak berkata apa-apa namun netranya seakan berbicara aku-baik-baik-saja.

Di lampu yang tidak bersinar terlalu terang, mereka berjalan bersisian dengan isi pikiran masing-masing. Secara cepat, lampu di jalanan yang mereka susuri mati satu persatu. Mungkin listrik sedang dipadamkan. Sekarang, sekelilingnya gelap gulita. Hanya ada seberkas cahaya perak tipis dari atas—sang rembulan.

Aksa buru-buru meraup ponselnya dari dalam tas dan menyalakan senter. Pertama kali cahaya itu menyorot ke sebelahnya, namun nihil, Nadin tidak tampak. Jantungnya berdegup kencang, takut kalau-kalau Nadin hilang. Disorotnya lagi bagian bawah, dan ... ia mendapati Nadin meringkuk sambil menutup wajahnya. Kaki dan tangannya tremor, ia sangat ketakutan.

Aksa berlutut, menyamakan tingginya dengan gadis berambut pendek itu. Disentuhnya pelan bahu Nadin, ia memanggil namun gadis itu hanya bergeming. Dan ... terisak?

Nadin menangis?

"Nadin? Nad? Lo kenapa?" serunya khawatir sambil mengguncang perlahan bahu Nadin.

"To-tolong ... tolong ..." lirih Nadin.

Napasnya memburu, tidak teratur, tangan dan kakinya gemetar, keringat dingin membasahi dahi dan lehernya, membuat poni tipisnya basah, netranya perlahan menjatuhkan hujan. "Tolong ..."

"Nad, gue di sini, Nad!"

Perlahan, gadis itu mendongak dengan wajah yang basah dan pucat. Ia meraih punggung Aksa dengan cepat.

"Tolong aku ... tolong ... di sini gelap ... takut, takut ..." Nadin menggumamkan kata yang sama berulang kali.

"Nad? Gue di sini, lo pasti baik-baik aja,"

Di mata yang masih terpejam dalam dekapan Aksa, dirinya seakan terlempar ke dua belas tahun lalu, di mana ia sendiri bergumul dengan kegelapan yang menyergap. Dengan udara dingin yang menusuk. Bergulat dengan ketakutan-ketakutannya sendiri, ia takut ditinggalkan.

"Jangan tinggalin aku, tolong ... jangan—"

Tubuh ringkihnya melemas dan ambruk, beruntung dengan sigap Aksa langsung menangkapnya. Ditepuk-tepuk pelan pipi si gadis, tidak ada respon. Dipanggilnya pelan nama gadis itu, tidak ada sahutan. Karena diburu rasa khawatir, Aksa mengangkat tubuh rapuh Nadin dan mengantarnya sampai rumah.

Meski benaknya masih dipenuhi banyak kata tanya, ia tidak peduli, yang penting Nadin harus pulang.

.
.
.

Dentingan sendok yang sedang mengaduk larutan teh hijau menggema di pantri. Tatapan kosong sang pemilik rumah menembus ke teh hijau yang berputar.  Aksa menyesap pelan teh itu dengan tatapan kosong. Pikirannya tidak bisa istirahat, ia masih berkelana ke dalam paradigma tentang ketakutan Nadin beberapa jam yang lalu.

Nadin ... fobia gelap? Kenapa? Apa ada kejadian yang membuatnya takut dengan kegelapan? []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang