chapter nineteen

55 6 0
                                    

Langkahnya terhenti begitu manik miliknya bertumbuk dengan kelabu setenang lautan milik cowok yang sedang berdiri sekitar lima meter di depannya. Sejenak, detik melambat, sunyi menyergap, membuat degupan jantungnya seakan terdengar. Ada gumpalan rasa tidak diketahui yang timbul di dadanya.

Dengan penuh keraguan, Nadin melangkah mendekati Aksa yang berdiri dengan raut wajah yang tidak bisa ditebak. Entah apa dibalik semua itu ... Nadin tidak tahu.

"A-ada apa, Kak?"

Kegugupan mendominasi dirinya. Aksa tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum tipis. Senyum yang menggambarkan ... kesedihan? Nadin tidak mengerti kenapa binar di wajahnya meredup. Ada apa dibalik pendar yang selalu dipancarkannya?

"Hai, kita udah lama nggak ketemu, ya?"

Nadin masih menatap wajah cowok itu. Otaknya tidak berhenti berpikir, apa yang akan ia lakukan? Apa ia mau pergi seperti yang dilakukannya dua belas tahun lalu?

Ditariknya pelan pergelangan tangan gadis ringkih itu. Sedang tangan yang lainnya mengambil sesuatu dari saku celana. Maniknya tidak terlepas dari milik Nadin yang cerah, secerah wajahnya dengan aksen bintik-bintik cokelat. Pendar jingga yang biasa menemani mereka kini tidak secerah biasanya. Meski begitu, binar-binar cahaya milik Nadin tidak pernah pudar di mata Aksa meski binarnya sendiri bahkan meredup.

"Sori, gue nggak bisa nemenin lo belajar buat UAS." sebuah gelang dari benang dipasangkannya di pergelangan tangan Nadin. "Tapi gue harap, gelang ini bisa nemenin elo."

Perlahan, sudut bibir dua anak manusia itu terangkat. Tulang pipi mereka terlihat, kerutan di mata mereka juga. Aksa mengangkat sekilas lengannya juga, ia memperlihatkan sebuah gelang yang sama persis dengan yang Nadin kenakan.

"Anggap aja itu sebagai ganti kalo gue pernah ngelupain lo, sori ya, Nad."

Anggukan kepala jadi jawaban Nadin. Seulas senyum itu tidak kunjung pudar. Diusapnya pelan pipi cowok itu. Lampu taman yang mulai menyala kini menerangi kedua insan yang pernah terpisahkan itu.

Beberapa detik sampai senyum Aksa tergantikan oleh rasa kekhawatiran melihat darah keluar dari hidung Nadin. "Nad, lo mimisan?"

Nadin segera menarik tangannya dan meraup tisu dari dalam tas sekolahnya, disumbatnya aliran darah itu dan berbalik membelakangi Aksa menyentuh bahunya, memastikan gadis itu baik-baik saja padahal sebenarnya tidak. Untuk beberapa saat, kepala Nadin serasa diputar, atau mungkin bumi yang berputar? Pijakannya pada rumput hijau sedikit oleng, namun tangannya ditahan oleh Aksa.

Perlahan, ia melepaskan jeratan jari-jari besar Aksa dan berlari menjauhi cowok itu. Ia tidak peduli, Aksa tidak boleh melihatnya selemah ini. Tidak apa, ia akan minta maaf nanti lewat telepon.

Aksa buru-buru mengejarnya, namun ia kalah cepat dengan bus kota yang membawa Nadin pulang. Matanya tidak terlepas dari laju normal bus itu, jantungnya berdegup kencang.

Nadin, lo kenapa? Apa yang lo alamin tapi gue nggak tau?

.
.
.

"Sial, kenapa harus mimisan terus, sih?" matanya menatap lekat-lekat pada sesosok perempuan yang dipantulkan oleh cermin wastafel. Wajahnya pucat pasi, mirip seperti mayat hidup. Tubuhnya terasa ringan sekali, juga badannya yang sekarang mudah lelah.

Air dari keran masih mengalir deras tak peduli wadahnya mulai kehabisan ruang dan meleleh sampai membasahi kaki gadis itu. Pening itu kembali terasa. Nadin tahu, tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Namun ia bungkam dengan orang-orang di dekatnya. Merasa dirinya bisa mengatasi ini sendirian.

Sekarang, ia membawa stok tisu lebih banyak dari biasanya. Di kamar, kamar mandi, tas sekolah, bahkan tempat pensil. Takut kalau-kalau darah ini menetes di mana saja.

Apa gue check up aja? Gumamnya.

Baru saja otaknya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, darah kembali mengalir layaknya aliran sungai yang entah bermuara ke mana. []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang