prolog

240 17 4
                                    

2004

"Aksa udah makan belum?" tanya gadis kecil berambut kuncir dua yang memiliki pipi gembul seperti mochi.

Ya, dia adalah Nadin. Seorang anak perempuan yang manis dan penurut. Di genggamannya, terdapat satu kotak makan yang akan ia berikan pada temannya, Aksa.

Aksa menggeleng perlahan. Ia menatap lembut Nadin yang duduk di ayunan sebelahnya.

"Jadi, Aksa pulang sekolah langsung ajak Nadin main?"

"Iya. Emang kenapa, Nad? Nadin nggak mau main sama aku?"

Nadin segera menggeleng cepat. "Bukan gitu ... Tapi, apa Aksa nggak lapar?" ia menyerahkan kotak bekal berisi beberapa tangkup roti isi yang ia ambil dari meja makan. "Ini buat Aksa, dimakan, ya."

Ditatapnya kotak bekal bergambar Tinkerbell itu dan Nadin bergantian. "Beneran, Nad?"

"Iya."

Baru saja Nadin ingin beranjak dari ayunannya dan melangkah ke arah Aksa, namun kaki kecilnya tidak mampu meraih keseimbangan hingga tubuhnya oleng dan terhuyung. Aksa segera bangkit dan meraih tubuh mungil Nadin, anak laki-laki berusia enam tahun itu terjatuh dan menjadi tumpuan Nadin.

Tangannya lecet, sikunya sedikit tergores, dan .... lututnya berdarah karena terantuk batu tajam. Aksa meringis kesakitan. Ia meniup siku dan lututnya bergantian. Yang dapat ia rasakan saat ini hanyalah perih.

Melihat Aksa yang terjatuh dan berdarah karena berusaha menolongnya, Nadin menangis sesenggukan. Kotak bekalnya juga ikut jatuh, roti isi tersebut kini berceceran di mana-mana.

"Nad? Nadin kenapa? Kan yang luka aku, kenapa Nadin yang nangis? Tangan sama kaki Nadin sakit juga?" tanya Aksa. Melupakan rasa perih di tangan dan kakinya. Kini ia fokus pada Nadin yang terisak sambil menatapnya.

"Maafin Nadin, Aksa. Harusnya Nadin enggak jatuh." Nadin menyeka air matanya sendiri. "Roti isinya juga jatuh, Aksa jadi nggak bisa makan ... Aksa maafin Nadin, Aksa maafin Nadin ..." rengeknya.

"Enggak apa-apa, Nad. Lain kali hati-hati, ya?" anak laki-laki itu menjelma menjadi orang dewasa di mata Nadin. Ia seperti bukan anak berusia enam tahun.

Tangis Nadin perlahan mereda. Kini netranya menatap luka di lutut, siku, dan telapak tangan Aksa. Banyak sekali lukanya, Nadin sampai ikut meringis membayangkan betapa perih yang dirasakan Aksa saat ini.

"Sakit banget, ya?" tanya Nadin polos.

"Perih, sih."

"Maafin Nadin, Aksa."

"Iya, Nad."

"Aksa enggak benci Nadin, kan? Aksa masih mau main sama Nadin, kan? Aksa nggak akan ninggalin Nadin sendirian, kan?" cerocos Nadin. Ia khawatir jika Aksa akan membencinya dan menjauhi dirinya selamanya.

Baginya, Aksa adalah teman terbaik. Aksa selalu mengalah, Aksa sering membelikan Nadin es krim dan permen, Aksa selalu melindungi Nadin, Aksa selalu punya cerita seru untuk Nadin, Aksa yang baik, Aksa yang ramah, Aksa yang hangat.

Mendengar pertanyaan Nadin yang polos, Aksa hanya tersenyum tipis. "Enggak. Aku nggak akan tinggalin Nadin sendiri. Kita harus sama-sama selamanya."

Nadin hanya menatap Aksa polos. Namun sepersekian detik kemudian, senyumnya merekah. Menciptakan lesung pipit di pipinya yang merona.

"Janji?" tanya Nadin sambil menyodorkan jari kelingkingnya.

Aksa mengangguk pelan sambil tersenyum lebar. "Janji." ia lalu menautkan kelingkingnya bersama dengan Nadin.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang