Lampu belajar masih menyorot tangan gadis itu yang masih menggenggam pena di sela-sela jarinya. Menorehkan beberapa kata di atas kertas sepucat pualam, sesekali bibirnya komat-kamit menghafal apa yang dibacanya. Meski malam sudah semakin larut, hening semakin menyingsing, gadis itu tetap bersikeras melahap bacaannya. Sudah hampir satu minggu lebih ia berkutat dengan suara jangkrik ataupun cicak dari dalam kamarnya. Bergumul dengan kertas-kertas bertuliskan beberapa huruf dan terkadang angka dan rumus. Bergelut dengan pena yang ia habiskan berulangkali.
Ia hanya akan terpejam jika otaknya sudah bisa menghafal setidaknya satu materi.
Pagi ini, ia terbangun dengan kantung mata yang besar dan sedikit menghitam, raut wajah lelahnya tak bisa menipu seberapa keras perjuangannya demi meraih peringkat satu pada kuis beberapa hari lagi. Langkahnya gontai saat melintasi koridor yang riuh dengan hiruk-pikuk ocehan para anak-anak SMA yang labil. Sapaan Klea bahkan tidak digubrisnya. Ia memilih segera meletakkan bokongnya di atas kursi dan menelungkupkan wajahnya ke tumpukan lengan.
"Nad? Nad?"
Hening.
"Nadin? Lo kenapa astaga, jadi vampir?"
"Gila lo! Sekate-kate aja kalo ngomong!" sentak Nadin.
Gadis itu mendongak lalu menelungkupkan kepalanya lagi. Tatapan kagum tidak terlepas dari mata Klea, gadis itu menganga mendapati sikap temannya yang ia rasa berbeda sekali dengan keseharian gadis itu.
"Lo pe-em-es, ya?"
"Emang kenapa?"
"Jadi galak."
.
.
.Jam biologi dilaluinya dengan terkantuk-kantuk. Hampir sebagian besar jam pelajaran tersebut ia habiskan dengan menopang pipi dan sesekali memejam. Tibalah saatnya sang guru legend ini mulai bercerita tentang kehidupan pribadinya: tentang anaknya bungsunya yang diterima di universitas negeri terbaik di Indonesia, anak keduanya yang lulus diterima bekerja di Badan Usaha Milik Negara, anak pertamanya yang akan menikah dengan pengusaha kaya raya, juga tak lupa ia dan suaminya yang akan berangkat menunaikan ibadah haji beberapa tahun lagi.
Mayoritas seisi kelas memilih meletakkan kepalanya di atas meja. Mengabaikan guru yang mengoceh tiada hentinya. Nadin menguap, ia melirik Klea di sampingnya, gadis itu sudah terlebih dulu bertemu pangerannya di alam mimpi. Ia memutuskan untuk mencoret-coret bagian belakang buku catatannya. Terlihat abstrak, dan tidak memiliki makna.
Nadin sibuk menggambar seekor induk bebek dan anak-anaknya. Sampai ia mendapati sebuah cairan merah menetes di kertas putihnya. Satu tetes, dua tetes, Nadin menyadari sesuatu keluar dari hidungnya. Ia segera meraup selembar tisu dari kolong meja, menyumbat lubang hidungnya agar darah tidak menetes lagi. Gadis itu enggan izin kepada guru pengampu karena sang guru kadang tidak mengizinkan siswa-siswinya pergi pada jam pelajarannya.
Maka, Nadin memilih untuk berkutat dengan gumpalan tisu yang mulai basah dan berwarna merah. Sesekali ia mengambil lebih banyak lembar tisu untuk menyumbat mimisannya.
Saat jam istirahat berdenging dengan nyaring, Nadin langsung menemukan dirinya di depan wastafel. Dengan bibir pias dan rupa yang sayu. Ia membasuh wajahnya berulang kali, kepalanya pening.
Apa mungkin ia anemia? Ah, sepulang sekolah Nadin hendak membeli obat tambah darah di apotek yang biasa ia lewati. Mungkin ia hanya kelelahan, pikirnya.
Setelah membasuh wajahnya dengan air mengalir, Nadin keluar dari toilet dan melangkah lunglai menuju ruang kelasnya. Klea pasti sudah mencak-mencak saat ini karena ditinggal pergi begitu saja. Ia melintasi koridor dengan sempoyongan, sesekali langkahnya terhenti dengan tangan yang menyentuk tembok—menahan tubuhnya agar tidak ambruk sewaktu-waktu.
Tepat di persimpangan koridor, langkahnya bertumbuk dengan sepasang kaki ramping milik Klea. Gadis berambut gelombang tampak khawatir dengan keadaan Nadin yang tiba-tiba drop itu.
"Nad? Nad? Lo sakit?" tangannya langsung mengamit kedua bahu Nadin dan membantunya berjalan.
"Enggak,"
"Muka lo pucet,"
"Gue lupa pake lipbalm aja tadi," bohong Nadin.
"Tapi ..."
"Gue nggak apa-apa. Kuis antarkelas kan diadain besok, gue nggak mungkin sakit, lah," ia tertawa kecil sembari menahan pening di kepalanya yang semakin menjadi-jadi.
Tatapan sendu itu mengarah pada gadis ringkih yang selalu ingin terlihat kuat, yang selalu bersikap positif di balik kekurangan yang ada pada dirinya.
.
.
."Lah, Kak, ini udah gue hitung sama kayak di rumus tapi kok tetap nggak ada jawabannya di pilihan ganda?" tanya Nadin, tangannya menyodorkan buku yang membawanya pada materi baru untuk mempersiapkan diri pada esok hari.
Mata kelam itu menyelami buku beserta rumus-rumusnya. Sesekali matanya beralih dari sana untuk menghitung dan menerka-nerka jawaban. Bagi Aksa, belajar matematika memang paling asyik.
"Oh, lo ternyata agak keliru. Yang ini harusnya lo kali sama yang ini, dan kalo udah semua baru di bagi. Yang sejenis dijadiin satu, ya."
Anggukan kecil timbul pada kepala Nadin. Segera ia menggenggam pensil dan mencoret-coret kertas lagi. Entah kenapa, ia sekarang lebih mudah dalam mencerna materi pelajaran berkat bimbingan Aksa. Nadin tidak tahu lagi harus berkata apa selain terima kasih, ia tidak tahu lagi ada kata seindah apa selain terima kasih.
Kala tangannya masih asyik menorehkan goresan angka pada kertas buku tulis yang putih, setetes cairan merah kembali membasahinya. Nadin segera menutupi hidungnya agar Aksa tidak melihatnya. Ia segera beranjak dan pergi ke toilet yang ada di perpustakaan umum itu.
Aksa yang melihat si gadis berlari itu hanya menatapnya dari belakang. Benaknya memang dipenuhi tanda tanya, namun ia bisa menanyakannya nanti ketika Nadin sudah kembali.
Iseng, cowok itu melihat hasil kerja Nadin. Ditariknya buku tulis yang terbuka di hadapannya. Cairan merah itu tidak bisa disembunyikan lagi, netra Aksa sudah telanjur merekamnya. Pandangannya kembali ia buang pada jejak gadis itu yang tak berbekas. Nadin kenapa? Apa dia kecapekan? Atau ada hal lain yang tidak Aksa ketahui? []
tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,kata
KAMU SEDANG MEMBACA
H I D D E N
Teen FictionBertahun-tahun tahun lalu, Nadin dan Aksa adalah teman sepermainan. Tinggal bersebelahan membuat mereka akrab satu sama lain. Aksa sering sekali mengajak Nadin bermain sepulang sekolah. Hingga pada suatu sore, mereka bermain petak umpet dan Aksa tid...