chapter seventeen

42 6 0
                                    

Langit menunjukkan kebahagiaannya hari ini. Mentari yang tidak malu-malu di belakang payoda. Sepoi angin yang memanjakan penjuru muka. Suasana hangat melingkupi anak-anak SMA yang sedang menikmati jam istirahat tersebut.

"Nad, bagi dong!"

Nadin belum menyetujuinya namun Klea sudah menyomot roti isi dari wadah bekal milik gadis itu. Nadin hanya mendecak pelan. Menerima kenyataan bahwa cewek rakus ini adalah sahabatnya.

"Tapi, Kle. Gue mulai ragu, deh, kalo Aksa itu teman masa kecil gue."

"Nah, kan. Orang yang namanya Aksa itu banyak, Nad. Kebetulan aja lo dipertemukan lagi sama cowok yang namanya Aksa. Tapi belum tentu juga, kan, si cowok itu adalah temen lo?"

"Iya."

"Terus?"

Nadin menoleh, "Eh, tapi ... waktu gue di UKS, dia tanya sama gue. Apa gue ini Tinkerbell masa kecilnya?"

Kunyahannya perlahan terhenti. Klea membelalak. Sedetik kemudian batinnya menunjuk arah yang berlawanan dan stigmanya barusan. "Berarti dia beneran temen lo, Nad! Argh, selamat, yaaaa ..." gadis itu sontak memeluk Nadin yang belum bisa mencerna perkataannya.

Matanya menerawang ke langit yang berwarna biru cerah. Batinnya menerka-nerka. Semesta, apa memang benar?

.
.
.

Bel pulang sekolah berdenging nyaring. Membuat beberapa anak yang sudah menantikannya langsung berhamburan keluar sembari menyandang tas mereka masing-masing. Begitu pula dengan Klea, namun gadis itu tidak langsung pergi ke luar kelas kala mendapati sohibnya masih sibuk mencatat.

"Ayo pulang," rengeknya.

"Bentar lagi," sahut Nadin tanpa menoleh.

Mendengar itu, Klea mendecak kemudian kembali duduk lagi pada kursinya. "Dih, rajin banget lo sekarang?"

"Emang kenapa, sih, nggak boleh?" gadis itu menutup buku dan memasukkan penanya ke kotak pensil. "Sombong amat!"

"Nyolot lagi lo." ditariknya pelan lengan kurus nan pucat itu. "Ayo!"

Kedua gadis itu ke luar kelas dengan langkah lebar dan sesekali melompat riang. Menarik beberapa atensi orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Namun mereka hanya bergeming, mereka tidak butuh pendapat orang lain untuk menentukan kebahagiaan mereka.

Kaki-kaki mereka melintasi lapangan rumput yang lembut, namun sebuah suara menghentikan pergerakan mereka yang riang. Keduanya menoleh, dan keduanya sama-sama membelalak.

"Hai, sori. Kalian mau pulang bareng, ya?"

Aksa mendekat dengan senyum cerahnya. Membuat Nadin menahan napas, dan Klea yang memandang mereka bergantian.

"Kenapa, Kak? Lo mau ngajak Nadin pulang bareng?"

Nadin segera menyenggol pelan siku Klea. Gadis itu mengaduh.

"Um, iya, sih ..."

"Oh ya udah! Lo pulang bareng Kak Aksa, gih!"

Didorongnya pelan punggung gadis itu, Klea hanya cengengesan dengan wajah tanpa dosa lalu berlalu pergi. Meninggalkan geraman Nadin yang merasa kalah. Cewek itu memang suka seenaknya sendiri.

"Lo udah makan, Nad?"

Kini pandangannya beralih dari jejak kaki Klea. Netra itu menatap orang yang bertanya kepadanya.

"Udah sih ..."

Suara dari perutnya membungkam pernyataan yang baru saja dilontarkannya. Disambut tawa kecil yang keluar dari bibir cowok jangkung itu. Ia mengamit lengan Nadin dan segera mengajaknya ke taman kota yang dekat dengan sekolah mereka.

Jam ini, jalanan penuh sesak dan riuh klakson kendaraan. Oh, jangan lupakan juga udara yang sudah tercemar karbon monoksida yang menguar dari knalpot para pengguna jalan.

Batuk kecil tak tertahankan lagi dari bibir Nadin, ia menutup mulutnya dengan punggung tangan.

Hingga kaki mereka akhirnya menjejak di atas rerumputan yang terawat dan duduk di bangku sebelah lampu taman. Aksa tersenyum sekilas dan mengeluarkan kotak bekal yang akan ia makan dengan gadis di depannya ini.

Nadin hanya menatap gerak-geriknya dengan sesekali tersenyum. Pendar-pendar jingga belum mau memudar, ia malah semakin semangat menyorot surai cokelat cowok manis dan tidak mudah ditebak itu.

Matanya menangkap tutup kotak bekal yang bergambar Tinkerbell, semburat senyumnya perlahan memudar, bertolak belakang dengan sorot senja yang masih semangat berkobar. Nadin tidak mungkin salah, netranya tidak mungkin salah merekam. Kotak bekal itu ... sama seperti miliknya dua belas tahun lalu saat ia menanti Aksa di dalam rumahnya.

Kotak bekal itu sama seperti yang diberikannya kepada teman masa kecilnya di hari kepindahannya.

Napasnya tercekat, bulir-bulir air bersiap terjun dari matanya. Sejenak, ia merasa detik jam melambat, dunia berhenti berputar, dan mata cowok itu ... matanya sama seperti mata Peterpan masa kecilnya yang selalu menatapnya dengan sendu.

"Peterpan?" bibirnya menggumam tanpa ia sadari. Isakannya sudah tidak tertahan lagi. "Lo masih nyimpan kotak bekal dari gue?"

"Hah? Ini ..." Aksa menatap si gadis dan kotak bekalnya bergantian. Ia tertegun, sesaat kemudian ia baru sadar. "Jadi, lo—" tenggorokannya serasa tercekat.

Di detik yang melambat itu, dengan sorot senja yang entah kenapa perlahan memudar, dua anak manusia yang dengan cara semesta dipertemukan kembali ... seakan terlempar ke masa lalu mereka. Masa lalu yang mereka jalani berdua, memori yang tidak akan menghilang direngkuh masa. []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang