"Lo nggak apa-apa emang jalan ke luar lingkungan rumah sakit gini?" Aksa memandang Nadin bingung ketika gadis itu mengajaknya makan mi pangsit langganannya sore-sore begini.
"Nggak papa, kok. Gue udah bilang ke dokter yang ngerawat gue. Beliau ngebolehin asal nggak kecapekan banget aja."
"Ya udah, gue pesenin taksi online aja, ya?"
Nadin tersenyum tipis. "Kita naik metromini aja, yuk?"
"Lo nggak repot bawa-bawa infus begitu? Metromini rame jam segini,"
"Gue oke, kok. Tenang aja."
Gadis itu mendahului Aksa yang masih terdiam di sebelah nakas kamar pasien Nadin. Gadis berjaket biru tua itu melengang dengan ringan seakan lupa dengan sakitnya. Meski wajahnya tampak pucat, bagi Aksa ia bersinar. Gemerlap dalam temaramnya dunia yang semakin lama semakin kehilangan sifat aslinya.
Cowok itu tidak punya pilihan selain mengekor Nadin dari belakang, memastikan gadis itu aman dalam pandangannya. Sesekali ia tersenyum melihat Nadin yang masih memakai baju pasien itu menyapa pasien lain—meski Aksa yakin mereka tidak saling kenal. Entah dari mana datangnya hormon endorfin yang mulai menyerangnya.
Sore ini cerah sekali, langkahnya juga terasa ringan, apalagi saat ia merekam lengannya digenggam dengan lembut oleh seorang gadis dengan helai rambut yang beterbangan ditiup semilir angin. Seiring jalanan yang berdesakan, metromini berhenti tepat di depan mereka. Aksa membiarkan Nadin untuk naik lebih dulu. Beruntung masih ada sisa dua bangku kosong untuk mereka. Nadin memilih duduk di dekat jendela, beberapa penumpang memandang Nadin dengan tatapan aneh karena tampilannya. Namun gadis itu tidak menghiraukan mereka, gadis itu ingin kesenangannya tidak dihakimi oleh orang lain yang sebenarnya tidak tau apa-apa.
"Lo tau kenapa gue lebih suka duduk di dekat jendela?" suara riangnya memenuhi rungu Aksa.
Dengan senyum, Aksa menggeleng.
"Karena dengan duduk di dekat jendela, gue jadi bisa merekam tiap sudut kota dengan mata gue sendiri dalam perjalanan. Karena kita nggak tau, kan, kapan kita akan pergi." senyumnya terlihat merekah namun tidak bisa menutupi seberkas kekhawatiran.
Aksa hanya diam membisu dalam netranya yang tenggelam di manik Nadin Anggitania.
Sebenernya lo sakit apa, sih, Nad? Gue takut ... gue takut kalo misalkan gue nggak bisa nemuin lo lagi, sama kayak dua belas tahun lalu.
.
.
.Matahari yang masih terik kala sore hari menerangi langkah dua anak manusia itu. Yang satu tampak lusuh dengan seragam sekolah yang belum juga dilepas kala bel pulang berbunyi, yang satu tampak pias dan lemah dengan balutan baju pasien dan tabung infus. Meski begitu, raut wajah keduanya tampak senang menyusuri trotoar dengan tangan saling menggenggam dan bibir tersenyum lebar.
Tidak ada hari yang lebih bahagia ketimbang sore hari berjalan bersama dengan disorot pendar senja. Nadin tidak henti-henti memudarkan semburat senyum di bibir pucatnya.
Langkahnya ringan, namun mengerem mendadak saat melihat sebuah kios yang ingin dikunjunginya tertutup rapat dengan sebuah kertas yang tertempel di pintunya.
Melihat raut wajah Nadin yang berubah seratus delapan puluh derajat, Aksa mengikuti arah pandang Nadin. Ia mengembuskan napas pelan.
"Tutup, Nad. Gimana, dong? Mau mi pangsit yang lain?"
Nadin masih terdiam di tempatnya. Ia langsung berselonjor di trotoar. "Sialan."
"Gue udah lama banget nggak makan ini, eh, sekalinya ke sini malah tutup. Nggak ada akhlak banget!" Nadin masih memaki. Gadis itu, sekalinya ada rencana yang gagal pasti kesalnya minta ampun!
Aksa hanya terdiam sambil mengulum senyum. "Ya udah, kita cari yang lain, yuk?"
Jawabannya adalah sebuah gelengan.
"Kenapa?"
"Gue maunya ini. Besok kita bisa balik ke sini lagi, nggak?"
Aksa mereguk ludah. Untuk beberapa detik, dibiarkannya dedaunan kering berjatuhan tanpa sepatah kata yang keluar.
"Gue besok, kan, udah berangkat ke Aussie, Nad."
Nadin tertegun, binar gadis itu seketika meredup. Namun sepersekian detik kemudian senyumnya merekah. "Ya udah, kita makan kalo lo balik lagi ke Indo."
Aksa menoleh cepat, ditatapnya bingung gadis itu. Namun bukannya menjelaskan apa-apa, Nadin malah menepuk-nepuk punggung Aksa. "Enggak apa-apa." katanya.
"Lo mau nunggu gue, Nad?"
"Kenapa enggak?"
"Lo serius?"
"Dua rius." jeda. "Pulang yuk?"
Anggukan pelan menjadi jawabnya. Segera ia genggam lengan Nadin lembut dan mengajaknya ke menunggu di halte.
Beberapa meter kaki mereka melangkah, napas Nadin terengah, cairan merah mengalir dari hidungnya, tubuhnya melemah. Ia hampir jatuh jika tidak didekap Aksa. Wajahnya tambah memucat, keringat dingin mengucur dari dahi dan lehernya.
Aksa panik bukan kepalang, "kenapa, Nad?"
Tidak ada jawaban selain napas yang pendek. Tabung infus yang digenggam gadis itu membentur aspal, beberapa orang mengerubungi mereka dan mencoba menolong namun Nadin telanjur tidak sadarkan diri di dada Aksa. Membuat cowok itu terus-menerus mengucapkan doa dalam hati.
"Nad?!" ditepuknya pipi Nadin namun tidak ada reaksi. Akhirnya ia dan beberapa orang yang mau menolong membawa Nadin ke rumah sakit semula. []
tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,kata
KAMU SEDANG MEMBACA
H I D D E N
Подростковая литератураBertahun-tahun tahun lalu, Nadin dan Aksa adalah teman sepermainan. Tinggal bersebelahan membuat mereka akrab satu sama lain. Aksa sering sekali mengajak Nadin bermain sepulang sekolah. Hingga pada suatu sore, mereka bermain petak umpet dan Aksa tid...