chapter seven

56 7 0
                                    

"Lo gimana sih, Nad?" Klea mencebik, piyama kebesaran membalut tubuhnya yang ramping serta rambut acak menambah kesannya seperti orang gila--menurut Nadin. "Katanya abis pulang sekolah langsung ke sini, ini gue nungguin berapa jam, coba? Jahat beut lu,"

"Dih, lebay lu." mulutnya melahap makanan yang diberikan ibu Klea tadi. Hingga sampai pada suatu sekon, Nadin meletakkan mangkuk berisi nasi dan sayur itu ke nakas di sebelah ranjang Klea. Dia ingat sesuatu, "Lo tau, Kle? Ini gila! Sumpah, ini gila!"

Yeah, apalagi yang akan Nadin ceritakan pada Klea jika bukan seorang Aksa?

"Ah, yang bener lo? Lagian Aksa juga nggak ingat sama temen kecilnya, gitu? Fiks, Aksa kakak kelas kita yang ngajar lo les itu bukan Aksa temen lo waktu kecil, plis deh, Nad!" ujar Klea sangsi.

Dia sungguh bingung, kenapa Nadin begitu bersikeras jika Aksa adalah teman masa kecilnya? Klea hanya tidak paham, sepenting apa, sih, teman masa kecilnya? Klea bahkan punya banyak teman semasa kecil, tapi dia sudah melupakan semuanya seakan memori itu memang patut dilupakan. Tapi kenapa sahabatnya ini berusaha mati-matian untuk mencari teman masa kecilnya? Apa ada barang milik Nadin yang belum dikembalikan makanya dia memburu Aksa--teman masa kecilnya untuk mengembalikan barang Nadin yang mungkin saja dipinjam?

Netra kelam Nadin tertanam pada langit-langit kamar. Ia masih bungkam. Dilema menyelimuti dirinya. Embusan napas mengudara dari bibirnya. Kepalanya menggeleng perlahan. "Argh! Kenapa otak gue cuma bisa nyimpen memori kayak gitu sih?!" cewek itu mengerang frustasi dan menjambak rambutnya sendiri. "Kenapa gue bisa ingat memori kayak gitu tapi ngehafal materi pelajaran aja susahnya minta ampun?!"

"KENAPA?!" ia kini menyorot Klea dan termangu dengan sebuah apel di tangannya.

"Dih, ngegas lagi, lo."

"Serah dah, capek gue. Duh, gue berharap jadwal les gue sama Aksa yang cuma dua minggu bisa cepet selesai." Nadin mengembuskan napas berat.

Kursi belajar yang dia duduki kini kosong, Nadin telah beranjak. "Gue pulang dulu, ya? Capek."

"Serah, tiati. Ntar kalo udah sampe rumah kabarin gue," ditepuknya pelan pipi Nadin, memberi semangat pada gadis belia dengan raga gontai itu. Kelopak matanya sayu, sepertinya ia benar-benar lelah.

"Kuota gue abis,"

.
.
.

Helaan napas terdengar dari ujung kelas paling belakang. Tampak seorang gadis sedang menopang sebelah pipi sambil bersandar di tembok. Sorot matanya sayu dan kosong--tampak tidak bersemangat.

"Argh! Gue mau belajar, Kle." keluh Nadin.

Klea yang sedang sibuk memoles bibir pucatnya dengan liptint itu perlahan menoleh, menatapnya aneh. "Belajar ya tinggal belajar aja, kali." gadis itu sudah sembuh dari sakitnya meski wajahnya masih sedikit pucat.

"Tapi tiap liat materi pelajaran rasanya mual." dibungkamnya mulut sendiri dengan telapak tangan.

Sebuah dengusan lolos dari bibir Klea. Ditatapnya lagi pantulan wajahnya dari cermin yang disandarkan pada bagian belakang kursi di depannya. Jarinya sibuk memoles bibir ranum yang kini berwarna merah hanya pada sekitar tengahnya--model lipstik masa kini.

Ditatapnya sahabat di sebelahnya ini dengan sorot memicing. Rasanya, Nadin sudah khatam dengan sikap Klea yang seringkali acuh tak acuh. "Pantes ya nggak punya pacar,"

"Hah?"

"Gimana mau dapet pacar kalo cuek bebek begini?"

"Sori ya, lo lupa sama mantan gue waktu SMP?"

"Lah, emang pernah punya?"

"Kalo dari sononya pikun, sampe kapanpun tetap pikun."

"Kenapa bel masuk nggak bunyi-bunyi, sih?!" seru Nadin frustasi.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang