chapter twenty

68 6 0
                                        

Langkahnya pelan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Malam telah semakin larut namun seragam sekolahnya masih bertengger di tubuhnya yang mungil. Gadis berambut bob itu hanya menatap kosong pada lantai-lantai rumah sakit yang dingin, sedingin udara di luar yang juga diguyur tangisan sang angkasa. Kertas di tangannya tidak langsung ia simpan melainkan ia pandangi terus menerus. Sebuah surat berisi keterangan tentang kondisi kesehatannya.

dr. Andra, dokter yang memeriksanya, mendiagnosis bahwa Nadin terkena penyakit leukimia stadium awal. Ia tidak tahu, penyakit itu sukar disembuhkan, bahkan kemungkinan besar tidak bisa. Ia tersenyum masam, mungkin memang seperti ini garis takdirnya.

Suara gemuruh semakin memperkeruh batinnya yang dilema. Ia tidak ingin berkata apa-apa kepada siapa-siapa tentang penyakitnya karena ... yeah, itu hanya mengundang rasa kasihan. Nadin tidak ingin orang lain berbuat baik kepadanya hanya sebab sebatas rasa kasihan karena hidupnya sewaktu-waktu bisa berakhir.

Ujian Akhir Semester 2 sudah selesai, dan Nadin memang masuk peringkat tiga besar sekolah. Nadin senang akan hal itu, tapi kesehatannya malah memburuk akhir-akhir ini. Aksa juga sering mengunjunginya dan sepertinya ia menyadari jika Nadin sering sekali mimisan. Tak lupa juga tubuhnya yang mudah lelah dan tulangnya yang serasa remuk.

Langit masih menumpahkan kesedihannya, ia mengembuskan napas pelan. Berdiri di depan rumah sakit sambil menunggu hujan reda karena ia tidak membawa payung.

"Lah, kita pernah ketemu, kan?"

Gadis dengan binar yang meredup itu menoleh, menangkap seorang laki-laki tinggi yang tidak asing. Tapi siapa?

Nadin tidak bereaksi.

"Lo yang nabrak gue di koridor, kan?"

Seketika memorinya memutar saat di mana ia menabrak seseorang yang menjulang di koridor beberapa bulan lalu. Nadin menghela napas pelan.

"Iya, maaf."

"Dan tunggu-tunggu. Kayaknya kita juga udah pernah ketemu, deh, sebelum itu. Iya, kan?" Arvin mengusap dagu. "Oh iya, lo yang nganterin pesanan bokap gue!"

Hening.

"Iya. Terus kenapa?"

"Ya nggak papa, sih."

"Omong-omong, lo ngapain di sini? Jenguk orang atau ..."

"Sori, gue duluan." Nadin menunduk sekilas dan melangkah pergi.

Hujan berangsur reda tepat ketika kakinya ingin melangkah. Gadis itu tidak membawa payung, jadilah ia menutupi kepalanya dengan kupluk sweater yang dikenakannya. Berjalan di renggangnya gerimis malam itu. Dengan sebuah kertas yang masih ia genggam, tidak peduli basah terhujam rinai hujan, bahkan ia berharap ... penyakitnya juga akan luntur seiring dengan basuhan tangisan langit. Meski tidak mungkin, memang.

.
.
.

Sebelum masa liburan diadakan, sekolah mereka masih masuk seperti biasanya hanya saja kegiatan belajar mengajar tidak dilaksanakan. Klea dan Nadin tentu senang bukan main dengan hal itu, mereka bisa bermain ponsel sepuasnya dengan menumpang Wi-Fi kelas, bisa tidur dengan telinga yang disumpal earphone, juga bisa duduk sambil bengong saja tanpa perlu memikirkan tugas yang akan datang silih berganti.

Siang itu, di udara yang menyengat kulit, membuka pori-pori dan memaksa keringat keluar, Klea berlari tergopoh-gopoh dari luar kelas. Nadin yang sedang berleha-leha dengan kipas portabel di tangan hanya bisa menatapnya bingung.

Tanpa ditanya, Klea berujar, "Kak Aksa! Kak Aksa!" sambil menepuk-nepuk bahu Nadin.

Suaranya yang menggema mengambil sebagian atensi anak-anak di kelas. Segera ditariknya Klea yang masih berdiri, dan disuruhnya bicara pelan-pelan.

"Kenapa, sih?!" desis Nadin.

"Aksa, ternyata dia mau kuliah di luar negeri!"

Di detik itu, kipas portabel yang menyejukkan tidak terasa lagi embusan anginnya. Detak jam dinding seakan sudah kehilangan suaranya. Anak-anak kelas yang semula riuh seakan tidak ada lagi ributnya.

Tanpa sepatah kata, Nadin beranjak dari duduknya dan berlari mencari figur Aksara Bagaskara. Langkahnya cepat melintasi koridor, menaiki tangga dan berbelok ke kiri.

Dari ujung lorong, ia menemukannya. Aksa.

Langkah kecilnya cepat menghampiri cowok itu dan mematung di tempat.

"Aksa!"

"Kenapa, Nad? Lo ... nangis?"

"Lo mau ke luar negeri?"

Pertanyaan dari gadis itu membuat lidahnya serasa kelu, hatinya serasa diremas kuat. Tangis yang menguar dari matanya membuat Aksa merasa seperti menjadi orang paling jahat di dunia. Dua belas tahun lalu ia meninggalkan Nadin di balik semak-semak, sekarang bahkan ia hendak meninggalkan Nadin lagi.

"Ya gimana ..." Aksa mengembuskan napas. "Gue ... gue udah daftar ke universitas itu. Dan keterima."

"Gue juga nggak mau ninggalin lagi, Nad." lanjutnya.

"Tapi kenapa lo nggak cerita sama gue? Kenapa gue harus tau dari Klea?"

Dahi Aksa berkerut. Klea? Seingatnya ia tidak bicara apa-apa dengan cewek itu. Apa mungkin ...? Oh, saat ia berbincang dengan kawannya tadi, mungkin Klea mendengar tatkala gadis itu melewati dirinya dan sang kawan.

"Gue mau cerita sama elo, Nad. Cuma—"

"Takut gue sedih? Takut gue ngerasa ditinggalin lagi?!" manik basahnya menerawang milik Aksa dalam. "Apa bedanya sama sekarang?! Gue sama-sama sakit,"

Melihat wajahnya yang semakin basah, tangan Aksa terulur mengusap sejelemit air mata di pipinya. "Gue pasti balik, kok. Dan gue nggak akan ngelupain lo, lagi." []

tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,

kata

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang