Langkahnya lebar menapaki satu demi satu anak tangga. Pe-er yang masih kosong melompong membuat Nadin ingin buru-buru sampai ke kelas dan meminjam catatan milik temannya.
Sebenarnya matanya masih terasa berat, rasa kantuk membuat kelopak matanya ingin sekali saling mendekap. Namun, demi generasi penerus yang mumpuni juga sumber daya manusia yang maju, Nadin rela melawan itu semua demi sampai ke sekolah lebih awal. Meski pe-er saja masih meminjam milik teman sekelasnya, setidaknya Nadin tidak pernah ikut andil dalam tawuran atau semacamnya.
Kiranya, meminjam pe-er milik teman lain sudah terdengar amat biasa dikalangan siswa-siswi Indonesia.
Baru saja kakinya menapaki anak tangga yang kesekian, sepasang kaki menghadang langkah Nadin. Ia mendongak karena seseorang di depannya jauh lebih tinggi dari dirinya.
Mata lebarnya semakin membesar, napasnya tertahan. Seseorang itu hanya menatap Nadin dingin dan bersuara.
"Sori,"
Lalu lelaki itu berlalu mendahului Nadin yang masih mematung di tempatnya berdiri. Diketuk-ketuknya kepala sendiri, mampus, itu Aksa.
Tangannya mendekap dadanya sendiri, degupan itu tidak bisa dihindari. Semakin lama semakin cepat, seiring dengan langkah Aksa yang semakin jauh. Menghilang ditelan koridor.
Mata Nadin bertumpu pada lantai keramik di anak tangga yang dipijaknya. "Gila." maniknya kini naik menatap langkah Aksa yang bahkan tidak berjejak. "Nggak mungkin! Nggak mungkin!"
.
.
.Tatapan matanya kosong menerawang salah satu titik di sudut kelas. Sohibnya yang duduk menyangga pipi di sebelahnya hanya mendengus pelan serta memutar bola mata, malas. Sebenarnya, Klea tidak tahu apa yang menyebabkan Nadin berubah sikap 180 derajat seperti ini.
Gadis itu biasanya riang, ceria, dan petakilan. Kenapa saat ini sikapnya hampir seperti Putri Keraton? Apa yang salah dengan dirinya?
Klea memukul meja. "Ya!" itu adalah sebutan 'hei' dalam bahasa Korea.
Tak ada sahutan dari yang diajak bicara. Entah sudah keberapa kali Klea mengusap dahinya sendiri. Gini, nih, kalo temannya yang dulu nggak pernah cinta-cintaan sekarang jadi bucin. Susah dah, sumpah. Lagian, dulu waktu Klea menangis karena patah hati diputusin mantannya, Nadin hanya membalas sekenanya.
"Nad, lo sariawan apa gimana, sih?"
"Nad? Kenapa diem mulu, sih?"
"Nad, laper, nggak?"
"Nad, lama-lama gue ngerasa kek ngomong sama tembok, tau nggak!"Klea mencebik. "Lo mau cerita apaan?" ujarnya akhirnya.
Mendengar penuturan itu, Nadin langsung menoleh ke arah Klea dengan cepat. Matanya berbinar, entah apa yang membuatnya seperti itu. "Aksa! Bener-bener Aksa!"
"Iya, terus? Terus kenapa?"
"Peterpan gue akhirnya ketemu!"
"Emang dia ingat sama lo?"
"Ingat mungkin,"
"Masih mungkin, kan?"
"Semoga ingat,"
"Kalo enggak?"
"Ya udah."
"Ya udah gimana?"
"Berarti dia bukan Peterpan gue. Masa iya, sih, Peterpan bisa lupa sama Tinkerbell?"
Klea memalingkan wajahnya sambil mendengus. Gadis berambut gelombang sepinggang dengan jepit di poni sebelah kirinya itu memang kelewat realistis. Ia tidak akan percaya dengan apa yang namanya keajaiban. Baginya, semua yang terjadi itu memang sudah ditakdirkan, atau mungkin hanya sebuah kebetulan.
![](https://img.wattpad.com/cover/224487175-288-k155681.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
H I D D E N
Teen FictionBertahun-tahun tahun lalu, Nadin dan Aksa adalah teman sepermainan. Tinggal bersebelahan membuat mereka akrab satu sama lain. Aksa sering sekali mengajak Nadin bermain sepulang sekolah. Hingga pada suatu sore, mereka bermain petak umpet dan Aksa tid...