chapter ten

51 7 0
                                    

Napasnya berembus teratur. Aroma kopi dari jaket yang masih ia kenakan menembus ke dalam indra penciumannya. Merasakan hatinya tenang, setenang manik bak lautan milik Aksa yang menghanyutkan. Tatapan teduhnya seakan mendekap Nadin yang berbalut jaket berwarna biru tua yang sedikit basah tersebut.

Memorinya masih memutar saat di mana mereka berjalan bersisian di bawah rintik hujan. Aksa yang mengantar Nadin pulang sampai depan rumahnya, merelakan dirinya sendiri pulang terlambat malam ini, tanpa jaket maupun payung yang melindungi raganya dari hujaman tangisan langit.

Semburat sunggingan merekah di bibir piasnya. Kilatan manik itu menunjukkan kekagumannya pada Aksa yang semula bak es di Antartika namun bisa menjelma menjadi mentari yang hangat di musim semi.

Di tempat yang berbeda, Aksa baru bisa menjejakkan langkahnya di beranda rumah. Mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah sepenuhnya. Netranya menyelami rumah yang dahulu hangat itu, rumah yang kini kehilangan kehangatannya seakan hanyut bersama genangan hujan. Bibirnya tersenyum masam, di waktu bersamaan ia melangkah masuk. Gelap. Sepi.

Gemuruh meriuh di angkasa. Rungunya tidak mendengar apa-apa lagi selain guruh dan tetesan hujan yang ramai. Matanya tidak menangkap apapun selain perabotan yang diam membisu ditelan temaramnya lampu.

Ia ingat, sang ibunda telah lama tinggal di rumah yang akan merawat kejiwaannya dengan lebih baik. Kini, sepi itu menjadi nyata. Sang ayah telah tiada, dan ibu yang ia harap akan menemaninya, juga telah pergi ke tempat lain. Aksa ... tenggelam di temaramnya lampu dan kesendiriannya.

.
.
.

Nadin berulang kali melongok ke depan kelas. Di genggamannya terdapat jaket biru tua yang kemarin dipinjamkan Aksa kepadanya. Gadis itu menarik perhatian Klea yang duduk termangu di kursi guru. Matanya menerawang ekspresi Nadin yang berseri-seri.

"Ngapain, Nad?" suaranya menggelegar di seluruh penjuru kelas.

Yang ditanya hanya menoleh dan mengedipkan sebelah mata. Membuat rasa penasaran Klea semakin meronta-ronta dan membuat sepasang kakinya melangkah mendekati sang sahabat. Disenggolnya pelan bahu Nadin.

"Gue nungguin Aksa, mau balikin nih." Nadin menyahut sambil mengangkat sekilas jaket itu.

Klea manggut-manggut dan ikut menunggu di balik pintu. Sudah sepuluh menit mereka berdiri tapi raga yang dinanti tidak kunjung lewat.

"Samperin aja ke kelasnya," usul Klea.

Nadin terdiam sejenak. Benar juga. Ia kembali menengok ke luar kelas, Aksa tidak juga melintas. Akhirnya, ia memutuskan untuk menuju ke kelas sang guru les privatnya itu. Langkahnya pelan, kadang rasa ragu mulai menyergap, namun gadis itu tetap membulatkan tekad.

"Permisi, Kak. Kak Aksa-nya ada?" gadis itu bertanya ada seorang perempuan bermata sipit yang sedang berdiri di depan kelas.

Kakak angkatan Nadin mulai celingak-celinguk ke dalam kelas, mencari Aksa. Sepersekian sekon kemudian ia menggeleng. "Oh, tadi di UKS deh, kayaknya."

Sejenak, Nadin tertegun. Aksa di UKS? Apa dia sakit? Setelah mengucap terima kasih dan pamit, tapak kakinya mengarah pada ruang kesehatan sekolah.

Ia masuk dan mendapati Aksa merebah dengan kelopak mata yang saling mendekap. Nadin berusaha agar gerak-geriknya tidak menimbulkan suara. Mulai dari kaki yang berjinjit saat melangkah, dan mulut yang membungkam. Ia memutuskan keluar karena tidak ingin mengganggu istirahat Aksa. Mungkin saja ... ia sakit karena kemarin kehujanan saat mengantar Nadin pulang. Ia yang bodoh juga, kenapa ia tidak menawari cowok itu payung? Sial. Bisa-bisa, Aksa melihatnya sebagai perempuan tidak tahu diri dan kurang peka. Padahal, Nadin hanya tidak tahu harus berbuat apa lagi kala surainya diusap oleh tangan hangat cowok itu selain jantungnya yang berjoget ria.

H I D D E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang