Nadin menghitung satu persatu tetes air infus dari atas ranjangnya. Tubuhnya merebah lemah, sudah beberapa hari ini ia dirawat karena kesehatannya yang semakin menurun juga raganya yang serasa remuk.
Bosan? Tidak perlu ditanya lagi, berhari-hari sendirian di ruangan polos dengan semerbak aroma obat-obatan memang agak membuat perutnya bergejolak mual. Ibunya hampir setiap hari mengunjunginya, Nadin agak tidak kesepian, namun terkadang sang ibu harus kembali ke rumah untuk membuat pesanan roti isi.
Tinggallah Nadin sendiri, sampai pintu kamarnya didobrak. Bagai jin, munculah figur Kleandra di ambang pintu dengan jinjingan paperbag berisi makanan.
"Hai gurls! Kangen gue, kan?"
"Dih. Udah pulang sekolah, lo?"
"Wahai kawanku yang sekarang pinter tapi begonya nggak ilang ... ya jelas udah, lah, orang gue juga udah berdiri di sini."
Gadis itu mendekat dan meletakkan barangnya di nakas sebelah ranjang Nadin. Dirapikannya sekilas poni tipis Nadin, senyumnya terlihat sendu.
"Lo kenapa main rahasia-rahasiaan, sih, Nad?"
Nadin berpikir, memutar bola mata. "Karena seru,"
"Plis, deh. Main rahasia-rahasiaan soal penyakit sama sekali nggak lucu." air mukanya berubah serius kali ini. Klea menggenggam tangan kawannya, mencoba memberi kekuatan meski tak kasat mata.
"Gue nggak pengen mamak gue tau, terus berhenti kerja demi ngerawat gue." gadis yang tangannya terhubung dengan selang infus itu bergidik. "Makanya gue ngaku ke nyokap kalo gue cuma tifus, gue juga udah bilang sama dokter yang ngerawat gue supaya kalo ada apa-apa bilangnya ke elo, bukan ke nyokap. Thanks, Kleeee!"
"Terus lo nyaman gitu ngasih tau gue soal penyakit lo ini?"
"Iya, biar lo sedikit ada akhlak gitu."
"Nad ..."
"Hm?"
"Sakit, ya?"
Nadin terdiam sejenak. Mencerna pertanyaan Klea. "Enggak." sahutnya riang.
"Lo kenapa suka bohong, sih?" gadis itu merapikan baju pasien yang dikenakan Nadin sekilas. "Gue tau selama ini lo pura-pura kuat dengan bisa menghadapi segalanya padahal lo itu juga udah capek. Kadang, istirahat sebentar juga nggak papa, kok. Nggak perlu maksain diri demi bikin seneng orang lain, kasian tubuh lo, Nad."
Pulasan senyum lebar di bibirnya perlahan menipis. Nadin tersenyum kecut. "Sebenarnya ini, sih yang bikin gue lama ngerahasiain penyakit gue. Gue cuma nggak pengen dikasihani. Gue mau buktikan ke orang-orang kalo otak gue lemah, bukan berarti tubuh gue juga lemah. Gue cuma pengen ngasih tau ke mereka kalo gue ini masih kuat, dan mampu buat ngejalanin idup."
Ia beringsut dan beranjak dari ranjangnya dengan tabung infus yang dibawanya. Ia berjalan tertatih-tatih, keluar kamar pasien. Meninggalkan Klea yang berbaur dengan aroma etanol. Dari belakang, gadis itu hanya menatap sendu ke arah sahabatnya yang sudah sirna dari ambang pintu. Nadin memang keras kepala.
.
.
."Kenapa, sih, dunia nggak adil? Kenapa gue harus sakit? Kenapa gue cuma punya kelemahan?" Nadin menggumam di sepanjang langkahnya. Berjalan mengitari lingkungan rumah sakit tanpa tujuan yang jelas dengan rambut kusut, langkah ringkih, dan wajahnya yang pucat pasi membuat sebagian orang yang berlalu lalang menoleh sekejap mata. Nadin tidak peduli dengan hal itu. Ia sedikit kesal dengan Klea, ia tidak ingin kelepasan berkata yang lebih kasar jika masih ada di dalam kamar.
Hitung-hitung, mencari udara segar juga perlu setelah seharian berkutat dengan aroma obat dan etanol yang memuakkan.
"Anjir, capek juga gue."
Matanya menangkap sebuah bangku kosong beberapa meter di depannya. Kaki kecilnya mendekati bangku kosong berwarna cokelat itu dan duduk di sana. Ia mengambil ponsel dari saku baju pasiennya dan mengetik beberapa kata di sebuah aplikasi perpesanan.
Sori, Kle. Gue kelepasan, abisnya lo ngeselin banget. Maapin gue, yak<3 btw gue lagi jalan-jalan di sekitar RS, lo kalo mau ganti baju dulu gapapa, kok. See ya!
Nadin mengembuskan napas dan menyimpan kembali ponselnya. Matanya menyapu keadaan sekitar taman rumah sakit, beberapa orang termasuk pasien yang sedang mencari udara segar juga tampak ceria. Meski langkah mereka tertatih, dibantu tongkat, atau bahkan hanya duduk di kursi roda. Namun wajah mereka berseri, seakan sakit yang dirasakannya sudah sirna. Nadin tersenyum simpul.
Memang, terkadang rasa sakit diciptakan agar kita bisa lebih bersyukur.
"Sejuk, ya?"
Nadin tersentak. "Omo!"
Ia menepuk dadanya lega tatkala mengetahui bahwa seseorang yang duduk di sebelahnya adalah Aksa. Iya, Aksara Bagaskara. Masih dengan seragam sekolah yang kusut juga wajahnya yang letih. Pasti ia belajar mati-matian beberapa minggu ini.
"Udah baikan, Nad?"
Demi Tuhan, Nadin rasanya ingin mengucapkan syukur berulang kali karena dihadapkan dengan senyum sehangat mentari pagi pada hari pertama musim semi. Dadanya serasa berdesir dan ia kehilangan pikirannya, sejenak.
Aksa memalingkan wajahnya, "tiga hari lagi gue bakal berangkat ke Aussie. Jaga diri baik-baik, ya, selama gue nggak di sini."
Kehangatan yang dirasakan Nadin seakan berubah menjadi kilatan petir yang menyambar hatinya dan hujan deras yang turun di pelupuk matanya.
tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,kata
KAMU SEDANG MEMBACA
H I D D E N
Novela JuvenilBertahun-tahun tahun lalu, Nadin dan Aksa adalah teman sepermainan. Tinggal bersebelahan membuat mereka akrab satu sama lain. Aksa sering sekali mengajak Nadin bermain sepulang sekolah. Hingga pada suatu sore, mereka bermain petak umpet dan Aksa tid...