Ia termenung di meja belajarnya. Di tangannya sudah ada satu tablet penambah darah dan segelas air putih. Netra sayu itu menerawang ke depan, ke tempelan sticky note yang bertuliskan kata-kata penyemangat. Senyum tipis terpulas di bibirnya yang pias. Sedetik kemudian tablet penambah darah di tangannya sirna, Nadin meneguk air putihnya. Setelah itu ia membenamkan wajahnya ke tumpukan lengan. Makan malam yang diantar ibunya ke dalam kamar juga belum ia sentuh. Nafsu makannya hilang, perutnya bergejolak tiap kali ia menyantap sesuatu yang memaksanya mengeluarkan kembali makanan di dalam mulutnya.
Dering ponsel memecah keheningan malam itu. Nadin meraupnya dan sebuah panggilan dari Aksa masuk. Beberapa detik pertama, ia hanya menatap layar yang bertuliskan nama cowok itu dalam diam.
"Halo?"
[ Nad? Lo baik, kan?" ]
"Iya ... emang kenapa?"
[ Nggak apa-apa, sih. Cuma kayaknya tadi gue lihat lo pucat. ]
"Gue oke, kok, Kak." Nadin tersenyum tipis.
Beberapa detik mereka lewati dengan keheningan yang melingkupi keduanya. Hingga Nadin pamit untuk lanjut belajar, menutup telepon secara sepihak dan membuka buku pelajarannya lagi. Matanya mengarah pada materi namun otaknya berkelana ke ruang ilusi.
Kenapa ia tiba-tiba mimisan? Kenapa ia sering pusing? Kenapa akhir-akhir ini nafsu makannya turun? Ia juga sering merasa lelah padahal tidak melakukan sesuatu yang berat.
Pertanyaan seperti itu meletup-letup di dalam benaknya.
Apa gue terlalu keras sama diri gue sendiri? Tapi ini juga, kan, demi kelas. Gue nggak mau anak-anak kelas selalu dicap bodoh sama para guru. Gue cuma mau bantu mereka, biar mereka nggak dipandang sebelah mata lagi cuma gara-gara peringkat.
Tuhan, jika Engkau hendak memberikanku sakit, kumohon ... jangan dulu untuk saat ini. Namun jika memang sudah kehendak-Mu, aku bisa apa? Satu-satunya yang hendak kuminta, Tuhan, berkatilah usahaku selama ini.
.
.
.Riuh redam penghuni sekolah membaur dengan embusan angin yang melanglang buana. Beberapa meja sudah tertata rapi di halaman sekolah. Teduhnya dedaunan lebat yang menghalau sinar matahari membuat pihak sekolah tidak perlu menyewa tenda untuk melindungi dari terik sang baskara.
Beberapa wali kelas juga sedang menyemangati perwakilan dari kelas yang dipimpinnya.
Klea, menyemangati Nadin dengan membawa pom-pom yang berhasil ia pinjam dari anak ekskul pemandu sorak. Gadis itu bersorak sesekali melompat, meraup atensi orang-orang yang hilir mudik di sekitarnya. Nadin hanya bisa mendengus melihat kelakuan sohibnya itu.
"Lebay beut gila, gue malu, tahu!" seloroh Nadin sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Namun Klea tetap tidak menggubris perkataannya dan malah semakin riang bersorak di pinggir halaman.
"Ya elah pake malu-malu segala. Udah, ini tuh ritual biar lo menang! SE-MA-NGAT!"
Nadin membuang pandang ke sembarang arah, sekilas matanya merekam sesosok raga yang tidak asing baginya. Menyadari itu, si gadis langsung mencari sosok tersebut. Aksa, berdiri di sudut lapangan. Nadin tau, cowok itu sedang menatapnya. Namun tidak ada seulaspun senyum yang disunggingkan. Aksa hanya menatap gadis itu dalam diam.
"Gue ke sana dulu, Kle."
Langkahnya menjauhi Klea dan mulai mengarah ke Aksa. Namun baru beberapa meter kaki gadis itu melangkah, seseorang yang hendak dihampirinya sudah berlalu pergi. Meninggalkan Nadin dengan sejuta kata tanya yang tercipta di benaknya.
Entah kenapa rasa kecewa meletup di hatinya. Aksa kenapa? Dengan sekuat tenaga ia memutar kembali langkahnya. Beberapa menit lagi kuis akan dimulai, ia harus berkonsentrasi.
Bising mulai memekakkan telinga. Persaingan ketat antarkandidat tidak bisa dihindari lagi. Bunyi lonceng dari berbagai penjuru menambah geregetan bagi orang-orang yang menontonnya. Berebut untuk menjawab pertanyaan membuat degupan jantung para peserta berlomba.
Nadin berhasil menjawab beberapa soal dan menapaki skor tertinggi kedua. Ia masuk ke babak final melawan seorang gadis yang diketahui menempati kelas sepuluh MIPA satu. Ia bahkan tidak percaya dengan kemampuan dirinya sendiri yang berhasil masuk ke babak final ini. Argh, dia harus menang!
"Soal terakhir ... " seorang guru perempuan setengah baya itu menatap Nadin dan kompetitornya secara bergantian. Menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya, "Siapa nama penemu fiber optik?"
Nadin sontak membunyikan loncengnya. Setidaknya, jika ia menjawab soal dengan benar kali ini, skornya dengan kompetitor bisa seri. Berpuluh-puluh pasang mata menatap dirinya. Nadin sedikit gugup, namun dengan mantap ia membuka mulut.
Belum sempat ia bersuara, kepalanya serasa dicengkeram kuat. Ia meringis menahan sakit, matanya tiba-tiba berat, darah keluar dari hidungnya. Nadin langsung mencengkeram erat lonceng yang digenggamnya. Keseimbangan tubuhnya tidak bisa dijaga, ia ambruk sebelum berhasil menyamakan kedudukan.
.
.
.Aksa segera berlari menuju UKS kala mendengar riuh anak-anak yang membicarakan Nadin. Gadis itu pingsan saat hendak menjawab soal terakhir.
Raut khawatirnya tidak bisa disembunyikan lagi. Cowok itu tahu Nadin sedang tidak baik-baik saja. Mungkin gadis itu terlalu berlebihan dalam memforsir tubuhnya.
Lalu lalang petugas UKS bersama beberapa pasien lainnya membuat Aksa agak susah mencari keberadaan Nadin. Dibukanya satu persatu bilik yang ditutupi tirai itu, ia bernapas lega ketika menemukan Nadin yang terbaring lunglai di bilik nomor delapan.
Tatapannya sendu mengiringi alunan napas Nadin yang teratur. Bibirnya pias, wajahnya pucat seperti pualam. Helaan napas mengudara bersama aroma obat-obatan yang menusuk hidung.
Aksa duduk di kursi samping ranjang, menunggu gadis itu siuman. Entah kenapa ... Aksa tidak bisa melihat Nadin yang lemah dan menahan sakit. []
tolong koreksi ejaan saya semisal ada yang salah, sankyou 🌙
xoxo,kata
KAMU SEDANG MEMBACA
H I D D E N
Teen FictionBertahun-tahun tahun lalu, Nadin dan Aksa adalah teman sepermainan. Tinggal bersebelahan membuat mereka akrab satu sama lain. Aksa sering sekali mengajak Nadin bermain sepulang sekolah. Hingga pada suatu sore, mereka bermain petak umpet dan Aksa tid...