Karna jengah dengan Nagita yang terlalu mencampuri urusannya, Langit memilih untuk pergi ke kantin belakang, ia sedang menunggu Bima disini, karna tadi Bima memberi pesan bahwa ia akan menemui Langit di kantin belakang tempat mereka biasanya.
"Woi, Fallyno Langit Natan." panggil seseorang yang Langit yakini pelakunya adalah Bima.
Langit menoleh, Bima menepuk pundaknya kemudian duduk di depan Langit, ia membawa dua botol minuman dingin yang langsung di minum oleh Langit hingga habis setengah.
"Santai, Lang. Keselek tau rasa lo." tegur Bima setelah meminum minuman yang belum di buka.
"Kenapa tuh muka di tekuk? Kayak gak dapat gaji setahun lo." lanjutnya diakhiri tawa.
"Lo dari mana aja sih? Tumben banget ilang gak jelas." Tanya Langit tanpa menjawab pertanyaan Bima.
"Ada urusan sama pak Rojak, ribet emang tuh dosen satu. Lo kenapa sih?"
"Kelewat kesel sama si Nagita, kepo banget orang nya."
Bima tertawa, baru kali ini ia melihat Langit menunjukkan ekspresi kesalnya secara terang-terangan. Dan menurutnya ini lucu. "Kenapa lo ketawa?"
"Lucu aja, lo baru pertama kalinya tunjukin ekpresi perasaan lo secara terang-terangan begini."
Langit tak menjawab, ia kembali menyeruput sisa minumannya. Teringat pada Jingga yang ada disana tadi. Apa Jingga mendengar pembicaraan mereka? Sepertinya tidak, karna jarak mereka dengan Jingga bisa dikatakan cukup jauh.
Sibuk dengan lamunannya, Langit tak menyadari ada yang berdiri di samping nya, bahkan Bima sudah berulang kali memanggil namanya namun ia tak menggubris sama sekali.
"Kak Langit."
Hanya dengan satu panggilan, Langit tersadar, ia berusaha mengenali suara yang barusan memanggil namanya, tidak mau salah sangka lagi seperti tempo hari karna terlalu memikirkan Jingga. Sebut saja Langit sedang berhalusinasi karna sudah beberapa minggu ini ia tidak mendekati Jingga se gencar kemarin. Bukan karna Nagita, tapi karna ia tak ingin memancing keributan antara dirinya dan Bintang karna mendekati Jingga.
"Kak Langit."
Suara itu berhasil membuat Langit menoleh ke samping kanannya, ia terpaku di tempat. Ternyata ia tidak salah dengar apalagi berhalusinasi. Memang benar, suara yang sudah dua kali memanggil nya adalah suara wanita yang sedang menari-nari di kepalanya.
Tersadar, Langit menormalkan ekspresi nya kembali, lalu alisnya terangkat satu sambil berkata. "Apa?"
Bukannya menjawab, Jingga malah memejamkan mata, sedang mengontrol perasaannya yang belakangan ini aneh, ia merindukan Langit dan gombalan recehnnya yang tak ia dengar dua minggu ini. Mungkin, ia akan bertanya kenapa Langit seolah berhenti untuk mendekati nya, walau pun konyol tapi tak apa, bukan kah keganjalan di hati harus di ungkapkan?
"Gue minta maaf." ucapnya dengan satu tarikan napas.
"Buat apa?"
Pertanyaan ini yang membuat Jingga bingung harus menjawab apa, bukan kah telah disampaikan bahwa ia hanya ingin menyampaikan kejanggalan hati, namun ia sendiri pun bingung jawaban apa yang akan ia beri atas pertanyaan Langit itu.
"Gak tau, pokoknya gue minta maaf aja."
"Aneh lo, Dek." sahutan itu berasal dari Bima. Entah kenapa dia suka memanggil Jingga dengan embel-embel 'Dek' padahal umur mereka hanya terpaut dua tahun, tak terlalu muda untuk Jingga di panggil Dek olehnya.
"Uda gue maafin, pergi sana. Entar cowok lo ngehajar gue."
Skakmat, Jingga terdiam dengan penuturan Langit, apakah ini maksudnya Langit mengusirnya secara terang-terangan? Apa ada yang salah dari permintaan maaf Jingga yang entah untuk apa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
Teen Fiction"Karna walaupun kamu sudah tak menemaniku lagi, hatiku akan tetap mencintaimu, Bintang Mahendra." ~Alisya Jinggana Renggama~ "Jaga dia, jangan pernah menyakitinya. Hatiku akan tetap hidup bersamanya, bersama seseorang yang aku percaya akan mencintai...