36❤ Berlipat ganda

3 0 0
                                    

"Apa..."

Sontak mereka semua menoleh ke belakang, ke asal suara yang sangat mereka kenali, ke orang pemilik suara yang sedang mereka pikirkan bagaimana cara memberi tahunya. Ketiga gadis itu mendekati Jingga yang kian mematung dengan air mata bercucuran. Cobaan apalagi ini, ujian apalagi yang harus Jingga hadapi. Ia hampir kehilangan Langit, dan sekarang Bintang pun bertaruh nyawa di dalam sana. Apa yang harus Jingga katakan pada Dena dan Jaya perihal kondisi anak mereka yang terlibat kecelakaan itu.

"Lo yang sabar ya, Ji. Gue yakin Bintang pasti bisa bertahan."

"Iya, Bintang akan bertahan demi kita semua."

Tak ada satu pun semangat dari teman-temannya yang Jingga tanggapi. Bukan tak ingin, tapi ia tak mampu berucap apa pun lagi walaupun hanya sepatah kata. Untuk yang kedua kalinya, di waktu yang sama ia merasakan dua orang yang berharga dalam hidupnya sedang bertaruh nyawa dan bertahan dengan penyakit mereka masing-masing.

Tangis Jingga semakin pecah, kala dokter keluar dan mengatakan bahwa Bintang sedang berada di kondisi kritis dan secepatnya butuh penanganan ekstra untuk menyelamatkan nyawanya. Pupus harapan mereka saat dokter berkata bahwa rumah sakit ini tidak mempunyai alat lengkap untuk penyembuhan Bintang.

"Sebaiknya, Bintang di bawa ke rumah sakit di Jakarta untuk penanganan lebih lanjut. Saya akan merujuknya ke rumah sakit Citra Medika Husada."

"Terimakasih, Dok." ucap Doni mewakili yang lainnya. Saat ini, mereka tidak bisa berpikir jernih. Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 dini hari, mereka bahkan belum ada yang memejamkan mata untuk sekedar menjernihkan pikiran.

Jingga mulai menetralkan detak jantungnya, ia tidak boleh lemah. Ada dua nyawa manusia yang harus segera di selamatkan. Dengan sisa kekuatannya, Jingga menghapus jejak air mata yang bahkan tidak berhenti mengalir. Ia berusaha untuk kuat agar semuanya bisa di jalani dengan baik. Bintang dan Langit butuh kekuatan bukan kelemahan.

"Ayo, kita harus pulang ke Jakarta pagi ini juga. Juna, tolong lo pesenin tiket untuk 10 orang ya." ucap Jingga yang disetujui mereka. Juna langsung mengambil ponselnya untuk memesan tiket secara online, walaupun ia belum tau untuk siapa dua tiket lagi, tapi Juna enggan bertanya karna tak ingin membebani pikiran Jingga.

"Kalian uda beresin barang-barang kita kan?" tanya Jingga kepada ketiga sahabat nya itu.

Mereka mengangguk."Tapi barang bokap lo, belum kita beresin." jawab Rania tak enak hati.

Tersenyum sekilas, Jingga bahkan sampai melupakan Papanya yang belum ia beri kabar sama sekali, bahkan Indra sudah meneleponnya berkali-kali, tapi dengan pikiran yang kacau Jingga tak mengangkat satu pun pangilan itu.

"Don, gue minta tolong telepon bokap gue ya. Lo jelasin semuanya, dan bilang gue akan baik-baik aja." pinta Jingga.

Doni mengangguk, ia tak punya alasan untuk menolak permintaan Jingga yang ia yakini pikirannya sudah bercabang. Cobaan dan masalah yang di terimanya tak pernah habis, silih berganti. Hebatnya, Jingga tetap menjadi seorang yang baik dan kuat, bahkan ia selalu mencoba tenang dan tersenyum di setiap keadaan untuk menutupi lukanya. Benar kata orang, 'yang selalu tersenyum, belum tentu yang paling bahagia, bisa jadi dia orang yang paling banyak memendam luka' Doni percaya itu, karna Jingga pun sedang melakukan hal yang sama. Gadis ini, benar-benar gadis yang kuat.

"Dika sama Rara, gue minta tolong lo buat temuin Kak Bima di ruangan Melati nomor 17. Terus, minta alamat rumah tempat mereka nginap, beresin barang-barang mereka."

Rania mengernyit, ia sedikit heran namun enggan bertanya karna situasi tidak memungkinkan untuk Jingga meladeni pertanyaannya yang akan terjawab sendiri nanti. Rania juga tau kondisi dimana dia harus diam dan menurut, dan dimana dia harus berkomentar.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang