32 ❤Welcome Solo

1 0 0
                                    

Perjalanan yang cukup panjang membuat ke depalan anak muda serta satu orang tua itu hampir saja kelelahan, namun itu tak menjadi alasan mereka untuk bermalas-malasan di kota Solo yang penuh kenangan untuk seorang Jingga.
Mereka sudah sampai di rumah lama Jingga ini sekitar setengah jam yang lalu. Sekarang mereka sedang bersantai menikmati pemandangan di gazebo rumah Jingga yang di depannya terdapat pepohonan yang hijau, menyejukkan mata bila memandangnya.

"Kita mau kemana nih besok?" Arini membuka percakapan, berusaha mengalihkan para lelaki itu dari gawai mereka. Arini hanya heran pada mereka yang seperti menyia-nyiakan kesempatan untuk memandang pemandangan menyejukkan dan lebih memilih menatap gawai yang bisa merusak mata, bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan pun mereka masih fokus dengan gawai mereka dan tidak mengalihkan pandangan sedikitpun.

Sepertinya pancingan Arini untuk bertanya itu berhasil, karena mereka sudah meletakkan gawai mereka di saku masing-masing dan mengalihkan pandangan ke Arini."Tempat yang enak deh, pantai atau laut." jawab Juna sang pacar.

"Lo ada rekomendasi tempat yang bagus gak, Ji?" tanya Doni. Mereka melihat Jingga yang tampak acuh, seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu. Bisa di tebak bahwa Jingga masih memikirkan perusahaan yang tidak sengaja di sebutkan Indra semalam, sangat menjengkelkan baginya.

Jingga hanya mengedikkan bahu, entah tidak tau atau malas mengingat tempat wisata yang ada di kota yang disebutnya sebagai kota pelarian ini. Mengapa disebut sebagai kota pelarian? Karna Jingga kesini hanya sementara, untuk menyembuhkan nya dari amnesia akibat kecelakaan sembilan tahun yang lalu itu. Entah kenapa, Jingga merasa merindukan sesuatu disini, seperti banyak kenangan dan kejadian yang tersimpan.

"Tanya aja Papa, gue tak tau."

Jawaban yang sudah jelas maksudnya, bahwa Jingga sedang berada di Mood yang kurang baik. Sangat kentara, ketika sampai disini ia sama sekali tak berbicara banyak. Hanya seperlunya, ketika di tanya ia menjawab.

"Bokap lo kemana?" pertanyaan Rania pun sama, hanya dibalas kedikan bahu olehnya. Bukan tak mau menjawab, ia memang tidak tau dimana rimba Papa nya itu, sejak sampai, ia sudah tidak melihat Papa nya itu.

"Tadi bilang sama gue mau ke kantor katanya." jawaban itu berasal dari Bintang yang tampaknya juga sedang berada di mood yang tidak baik. Bagaimana tidak? Kalau dengan diamnya Jingga sudah pasti berdampak besar pada Bintang, wanita itu tidak meladeni Bintang sama sekali.

"Kok Papa bilang nya ke kamu?" kali ini, Jingga mengalihkan pandangannya menjadi ke arah Bintang.

"Tadi aku ketemu di pagar, kamu lagi di kamar mandi tadi kan." jawab Bintang menjelaskan.

Jingga tak menanggapi, sibuk memikirkan tentang perusahaan papanya yang tak perlu ia pikirkan sebenarnya.

•••••••

Begitu banyak hal bermanfaat yang bisa dilakukan oleh dua orang ini, tapi mereka lebih memilih mendatangi perusahaan yang pemiliknya adalah ayahnya sebelum ayahnya meninggal. Entah apa yang akan mereka lakukan disini. Bukankah tujuan mereka menyambangi kota Solo ini memang untuk memecahkan semua teka-teki yang mereka dapatkan beberapa minggu lalu. Langit, sudah terlalu jauh mencintai Jingga, ia harus tau apa hubungan wanita itu dengan almarhum ayahnya sehingga lukisan wajah Jingga dapat ayahnya lukis.

"Permisi, Mbak." Bima bersuara kepada seorang resepsionis yang sedang menulis sesuatu di atas buku.

Resepsionis itu mendongak, ia tersenyum sangat manis pada Bima. Seketika, Bima terdiam, terpana pada wajah wanita di depannya ini, dia berhijab tapi tetap modis dengan pashmina hitamnya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis yang ber name tage Aulia itu.

Merasa tak ada jawaban, Aulia melayangkan tangannya ke depan wajah Bima. Sementara Langit, dia sama sekali tak melihat ke arah resepsionis itu."Mas. Ada yang bisa saya bantu."

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang