Lelah, satu hal yang menggambarkan Langit hari ini, ia memilih pulang ke rumahnya untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Ada yang belum ia selesaikan, dan ia tidak mau kelelahan dengan pikiran dan masalahnya. Langit bersama Bima tengah menikmati semilir angin yang menyapa kulit mereka di teras rumah Langit. Mereka sudah berada disini lima belas menit, dengan keadaan hening karna sibuk menikmati pikiran masing-masing.
Langit mengajak Bima masuk karna merasa lapar, ia tidak memakan nasi sedikit pun dari tadi pagi karna terlanjur kesal dengan Nagita yang menyebalkan, membuat nafsu makannya hilang.
Langit dan Bima menghentikan langkahnya tepat di depan kamar sang Bunda yang pintunya sedikit terbuka. Samar-samar Langit mendengar percakapan bundanya dengan seseorang melalui telepon.
"Aku gak mau tau, Mas. Gimana bisa kamu berpikiran ingin menjual perusahaan yang diberi suamiku untuk almarhumah Rima. Kamu harus melanjutkan itu, setidaknya sampai anakmu tau tentang hubungan Mas Bian dan Mamanya. Bahkan sampai sekarang, kamu belum kasi tau dia tentang Mamanya yang sudah meninggal kan?"
Dahi Langit berkerut, perusahaan mana yang Bundanya maksud? Apa perusahaan yang dokumennya ia temukan di ruang kerja almarhum ayahnya waktu itu? Siapa Rima? Apakah Rima adalah wanita yang berada di foto itu dan bayi perempuan itu adalah anaknya. Tapi Rima sudah meninggal, lalu di pegang oleh siapa perusahaan itu sekarang?
Langit tersadar dari pikirannya, ia menarik tangan Bima agar mengikutinya menuju ruang kerja ayahnya. Sepertinya, masih banyak teka-teki yang harus dia tau.
"Kenapa kesini, Lang?" tanya Bima dengan heran. Ia juga sebenarnya bingung dengan cerita hidup Langit yang menurutnya terlalu banyak rahasia. Menarik, ia bisa membantu Langit untuk menyelesaikan teka-teki berhadiah ini.
"Gue yakin masih ada rahasia lain di ruangan ini."
Bima mengangguk, ia membantu Langit mencari di rak buku yang sudah berdebu, mungkin akan sulit ditemukan ketika sebagian dari buku dan dokumen ini sudah dipenuhi oleh debu, ruangan ini benar-benar tidak terawat.
Merasa ada yang mengganjal dari rak buku yang satu ini, Bima mencoba melakukan hal lain, ia menemukan celah yang terpancar cahaya dari sana, seperti sebuah ruangan. Dengan pelan Bima menolak rak buku itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat di belakang rak buku itu ternyata tersimpan ruangan tersembunyi, ruangan terang yang cukup bersih untuk seorang pengusaha yang sudah meninggal. Bima memanggil Langit untuk mengikuti nya masuk ke ruangan kecil itu. Dengan kebingungan yang melanda, Langit mengikuti langkah Bima, di ruangan ini terdapat beberapa lukisan karya ayah Langit, ada juga lukisan karya Langit yang mungkin sengaja disimpan untuk koleksi.
"Gue gak tau ada ruangan ini sebelumnya. Ayah benar-benar menyimpan rapat tempat ini."
Bima tak menggubris, perhatiannya tertuju pada sebuah lukisan yang hampir mirip seperti lukisan mata milik Langit. Bedanya, lukisan ini terdapat juga lukisan hidung dan rambut, seperti lukisan yang belum jadi.
"Lang, liat nih."
Langit mendekat, ekspresinya sama dengan Bima, bingung. Lukisan setengah jadi ini cukup menjadi referensi Langit untuk melanjutkannya. Ia duduk di kursi khusus lukis yang biasa digunakan ayahnya, mengambil beberapa cat warna yang masih lengkap tak berdebu sedikit pun. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu tangannya mulai menari-nari di atas kanvas itu. Semakin jadi lukisan itu, semakin terlihat jelas siapa pemilik mata dan hidung itu. Langit memberhentikan kegiatannya setelah lukisan itu sudah jadi, ia menemukan titik terang, tersadar dengan lukisan yang ia rangkai ini.
"Jingga..." ucap Langit dan Bima bersamaan. Langit masih tidak percaya, ini mirip dengan Jingga, bisa di tarik kesimpulan bahwa lukisan ini adalah Jingga ketika ia masih remaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jingga
Roman pour Adolescents"Karna walaupun kamu sudah tak menemaniku lagi, hatiku akan tetap mencintaimu, Bintang Mahendra." ~Alisya Jinggana Renggama~ "Jaga dia, jangan pernah menyakitinya. Hatiku akan tetap hidup bersamanya, bersama seseorang yang aku percaya akan mencintai...