8 ❤Dimarahin

6 1 0
                                    

Setelah Bintang mengantar Jingga pulang, Jingga langsung masuk ke kamar, mengerjakan tugas yang sudah menantinya selama dua hari ini. Untungnya Mamanya tak ada di rumah, mungkin sedang arisan atau belanja ke Mall menghabiskan uang Papa. Ia sudah biasa melihat Mama dan Adiknya pulang dengan membawa barang-barang ber Merk mahal yang harganya mencapai puluhan bahkan ratusan juta.
Jingga mengambil satu demi satu pakaian yang harus ia setrika, mungkin asisten rumah tangga di rumahnya pun kasihan dengannya yang harus menyetrika baju sebanyak ini. Sebenarnya Bi Minah sering sekali masuk ke kamar Jingga hanya untuk membantu Jingga mengerjakan pekerjaannya. Namun, karna pernah ketauan dan akibatnya sangat fatal Jingga tidak lagi meminta bantuan pada Bi Minah. Paling, ia meminta bantuan kalau sudah lelah dan biasanya akan diam-diam ia beri kepada Bi Minah ke kamarnya agar tak ketauan.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar, Jingga bergerak untuk membuka pintu. Ia membuka knop pintu kamarnya dan sedikit terkejut melihat Nayla berada di depan kamarnya bersama sang Mama dengan ekspresi kesal dan marah. Jingga mengernyit. Apa lagi salahnya sehingga Adik dan Mamanya ini terlihat begitu sangat marah padanya.
Jingga memberanikan diri untuk menatap dua wanita di depannya ini dengan ekspresi biasa saja.

"Ada apa?" Tanya Jingga akhirnya.

"Enak ya, jalan sama cowok orang." Ucap Nayla sinis.

"Maksud lo?" Tanya Jingga tak mengerti.

"Halah, gak usah pura-pura deh. Lo abis jalan kan, sama Bintang? Lo jalan sama cowok gue. Iya kan?" Jawab Nayla menggebu-gebu.

Jingga terkejut bukan main, darimana Nayla tau soal ini? Apa ia juga tau bahwa dirinya menginap di rumah Bintang semalam? Jingga tak ambil pusing, ia rasa inilah saatnya untuk menyadarkan Nayla soal halusinasinya mengakui Bintang sebagai pacarnya.

Jingga tertawa sinis, ia menatap Nayla sengit dengan senyum meremehkan lalu berkata."Kalo jalan sama Bintang. Iya gue jalan sama dia." Jingga berhenti sejenak lalu melanjutkan kata-katanya."Tapi, kalo lo bilang Bintang itu pacar lo, kayaknya lo halu deh. Soalnya Bintang sama sekali bukan pacar lo, dan lo gak berhak marah kalo gue jalan sama Bintang, oke." Lanjutnya kemudian menutup pintu kamarnya namun dengan cepat Nia menahannya.

"Jingga, keterlaluan sekali kamu ini. Kamu harus menjauhi pacar adik kamu, cari cowok lain." Timpal Nia emosi pada Jingga.
Jingga membuka lebar pintu kamarnya, ia mencoba mengatur emosinya agar tak tersulut.

"Ma, Bintang itu bukan cowok Nayla, Ma. Mereka gak ada hubungan apa-apa." Sergah Jingga berusaha tenang.

Plak

Satu tamparan mendarat di pipi kiri Jingga. Kini, lengkap susah memar di area wajah Jingga akibat bekas tamparan orang yang sama dan perihal yang sama. Tapi, Jingga bukanlah gadis lemah yang gampang menangis, ia akan berusaha sekuat tenaga agar ia tak menangis untuk yang kedua kalinya di depan Mama dan Adiknya.

Jingga mengangkat kepalanya, menatap sendu sang Mama yang kembali menatapnya sengit penuh permusuhan.
"Mama selalu aja belain Nayla, kenapa, Ma? Kenapa Mama selalu bersikap seolah yang anak Mama itu cuma, Nayla. Bintang sama Nayla emang gak punya hubungan apa-apa. Harusnya Mama nasehatin Nayla supaya gak berhalusinasi dengan bilang kalo Bintang itu pacarnya." Jingga berucap, mengeluarkan semua unek-uneknya selama ini. Dia tak bisa lagi terus-terusan mengalah dengan Nayla yang tak ada habisnya menyakitinya.

"Kurang ajar kamu ya, uda berani kamu bentak-bentak Mama, uda bisa kamu urus diri kamu sendiri? Uda bisa? Ha? Uda bisa?" Balas Nia tak kalah menggebu. Ia mengangkat tangannya untuk menampar Jingga lagi." Apa, Ma? Mama mau tampar aku lagi, tampat Ma tampar. Aku terima, karna selama hidup aku, cuma tamparan Mama yang aku dapat, jadi tampar Ma tampar." Tutur Jingga penuh emosi. Ia ikhlas jika harus menerima tamparan menyakitkan yang sudah biasa ia terima oleh Ibunya sendiri.

JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang